Melihat (Kembali)

Setelah riuh rendah Natal berlalu, biasanya kita langsung terpaku. Tak perlu lama-lama, biasanya juga persis sehari sesudah Natal, kita mulai terpaku, termenung atau melamun. Memikirkan apa-apa saja yang sudah terjadi dan berlalu sepanjang tahun. Mumpung malam perayaan tahun baru masih kurang dari seminggu.

Banyak orang bernafas lega bisa survive di tahun 2019. Tahun politik yang gaduh, sangat gaduh sehingga memecah belah persatuan, persaudaraan dan persahabatan banyak orang. Nyatanya, yang dibela mati-matian tetap saja melenggang. Memberikan dampak kecil bagi kehidupan kita.

Banyak juga yang mengaku menyerah, habis-habisan di tahun 2019 ini. Sudah banyak yang dikorbankan untuk urusan bisnis, keluarga, pekerjaan, pasangan hidup, maupun lain-lain yang ternyata tidak membuahkan timbal balik yang sudah dibayangkan atau direncanakan.

Saya memasuki umur baru yang cukup signifikan di tahun 2019 ini. Terus terang, sempat “jiper”. Ketakutan saya tertutupi oleh kesibukan yang kebetulan bertepatan dengan hari umur baru saya dimulai. Maklum, di usia baru, yang sering diimbuhi dengan kata-kata di awal “life begins at …”, membuat saya banyak berpikir, mulai dari “Am I really here?”, sampai “What have I done up to this age that made me proud?”

Jawaban pertanyaan kedua ternyata masih dicari. Dari sekian pemikiran, belum ada yang “ajeg”. Mungkin malah tidak ada pernah ada jawaban yang pas, karena pasti ukuran kepuasan itu selalu berubah-ubah, atau berevolusi mengikuti perkembangan waktu.

Namun perubahan lain yang cukup signifikan yang saya rasakan tahun ini adalah hidup berkecukupan. Tidak, saya tidak mendapatkan kenaikan penghasilan yang melonjak tajam. Untungnya, tidak sampai turun tajam pula. Tapi saya merasa mulai hidup berkecukupan.

Alias, living enough.

Pada akhirnya, mulai tahun ini saya bisa merasa cukup dengan apa yang saya miliki. Terutama dari segi materi. Tidak merasa kurang kalau belum memiliki barang baru, karena yang sudah dipunya masih bisa berfungsi baik. Tidak merasa kurang kalau belum menyiapkan cadangan ekstra, terutama makanan, karena toh tinggal sendiri, sehingga cukup menyediakan makan untuk seorang diri. Tidak perlu buru-buru beli buku yang lagi diskon di Kindle, karena masih banyak buku yang belum sempat dibaca. Tidak perlu buru-buru subscribe streaming platform yang lain, karena pada akhirnya waktu juga yang menghalangi kita untuk menonton banyak film dan serial.

Dan tidak keberatan hidup sendiri, serta pelan-pelan menerima dan mengatasi kesendirian seorang diri.

Sounds simple? Trust me, it is far from simple. It is hard at times, and it is still hard at times.

Saya pun masih berjalan pelan, sangat pelan malah, untuk mulai merasa cukup ini. Kadang-kadang masih muncul keinginan-keinginan untuk memiliki yang sebenarnya we just want to have, not we need the most. Biasanya saya sengaja ambil waktu lama untuk mengambil keputusan, sambil berpikir, “Is it necessary?”

Saya pernah membaca, dan saya lupa pula sumbernya di mana, tentang seorang pengulas gawai terbaru, yang ditanya, “What is the best product you can recommend to anyone right now, honestly?” Lalu dia jawab, “Honestly? The best product you need to have right now is the one you are already using it. If you use what you have on daily basis, you use it well to run your lfe, and it is still working well, then it is enough.

It is enough. This is enough. Itu sudah cukup membuat saya melihat kembali setahun belakangan ini sebagai momen untuk merasa cukup.

Selamat libur akhir tahun.