PERNAH suatu ketika selepas sesi ceramah diskusi di satu vihara di utara Jakarta, saya dihampiri salah seorang umat peserta. Siswi SMP, atau barangkali masih awal-awal SMA, yang rupanya punya beberapa pertanyaan, tetapi terlampau malu untuk menyampaikannya saat sesi berlangsung.
“Ko, kalau ada seseorang yang jahat banget sama kita, padahal kita sudah berusaha ngomong baik-baik, tetapi tindakannya semakin tidak menyenangkan, sampai-sampai kita yang tadinya berdoa supaya dia berbahagia biar tidak lagi menyusahkan kehidupan orang lain, doanya berganti menjadi semoga orang tersebut cepat-cepat ‘pergi’, itu kira-kira apakah saya sudah berbuat jahat?”
Mendapatkan pertanyaan yang demikian, jelaslah bahwa kehidupan manusia itu kompleks, rumit, tidak segampang teori-teori yang pernah kita baca. Agak susah untuk tidak menjawabnya secara normatif, atau yang setidaknya masih bisa diterima dari sudut pandang moralitas sosial, yang pada akhirnya hanya kembali berujung pada dualitas kaku benar versus salah.
Kebiasaannya selama ini, tanpa berupaya benar-benar memahami yang terjadi dan menyelidiki lebih jauh, kita langsung mendaratkan tudingan “Kamu salah. Tidak boleh!” Kalaupun bahasanya ingin sedikit diperhalus, paling-paling akan menjadi “Kamu sebaiknya tidak boleh begitu.” Pada intinya, langsung memberikan penilaian akhir. Apalagi bila yang ditanya adalah seseorang yang merasa memiliki reputasi, patut dijadikan tempat bertanya dan meminta solusi.
“Untungnya” saja, pertanyaan tadi ia sampaikan dalam konteks pemahaman Buddhisme, sehingga pandangan dan tanggapan yang saya coba tawarkan relatif lebih mengerucut. Lah wong, saya sendiri masih gampang merasakan kebencian terhadap sesuatu atau seseorang, kok.
“Ko, apakah saya sudah melakukan kamma buruk?”
Lalu, apa pandanganmu terhadap pertanyaan tersebut?
“Bolehkah membenci seseorang yang telah berlaku jahat kepada kita?”
Titik pusatnya ada pada emosi atau perasaan. Anugerah sekaligus kutukan bagi manusia, barangkali bisa disebut begitu. Anugerah, lantaran itulah yang mampu memanusiakan manusia; memampukan manusia menjadi manusia; memberikan rasa.
Kutukan, lantaran perasaan pulalah yang seakan-akan menguasai kita. Terutama untuk segala hal yang tidak menyenangkan, memberatkan hati, menyedihkan, mengecewakan, bahkan yang menderitakan. Termasuk kebencian kita terhadap sesuatu atau seseorang, baik karena perlakuannya, karakteristiknya, maupun hal-hal lain.
Dalam hal ini, perasaan dapat membuat hati kita berkembang sedemikian besar, menjadi gembira atau senang setelahnya. Sebaliknya, perasaan juga bisa memberikan siksaan, yang salah satu bentuknya ialah kebencian. Saking bencinya, membuat kita menginginkan‒berharap‒agar objek kebencian kita tersebut lenyap secepatnya.
Sampai pada poin ini, bolehkah kita membenci?
Kita mustahil agaknya untuk bisa mengenyahkan perasaan sepenuhnya. Sekuat-kuatnya kita, paling kuat hanya mampu membendung rasa terhadap perasaan yang muncul. Namun, kita tak akan bisa menjadi makhluk yang tidak punya perasaan, atau kemampuan merasa, sama sekali. Oleh sebab itu, perasaan benci akan tetap bisa muncul dalam kehidupan kita, menjadi sebuah fenomena mental yang alamiah dan wajar.
Akan tetapi, jauh lebih penting bagi kita untuk mengenali dan mengelolanya. Tak hanya perasaan, manusia memiliki akal budi. Tak hanya merasakan kebencian dan dibuat terombang-ambing olehnya, kita juga memiliki kemampuan mengenali dan menyikapi segala hal terkait kebencian tersebut.
- Mengapa kebencian itu muncul?
- Apa penyebab munculnya kebencian itu?
- Apakah penyebab kebencian tersebut benar-benar sesuatu yang negatif dan merugikan kita, ataukah ada penilaian lain?
- Apakah kebencian yang kita rasakan beralasan, ataukah hanya karena kita tidak suka terhadap keadaan?
- Adakah cara untuk mengatasi atau menyelesaikan masalah yang menjadi akar penyebab kebencian ini?
- Apakah langkah yang aku lakukan untuk menghilangkan kebencian tersebut turut merugikan orang lain?
- Apakah perasaan benci tersebut cukup penting untuk dipedulikan?
Jika ingin membenci, bencilah secukupnya. Setelah itu tinggalkan, dan mulailah urus hal lainnya, yang bisa jadi jauh lebih penting dari rasa benci itu sendiri.
[]
*** Lalu muncul pertanyaan: Seperti apakah “secukupnya” itu?