Kurang lebih sekitar dua minggu lalu, saya menonton film Brittany Runs a Marathon di Amazon Prime. Film and aplikasi ini bisa ditonton di Indonesia secara legal. Dan filmnya sendiri memang layak ditonton. Kenapa? Karena kita bisa melihat diri kita di situ.
Filmnya diangkat dari kisah nyata. Ceritanya berpusat pada Brittany, perempuan lajang di New York, yang selalu merasa insecure dengan tubuhnya. Dia berusaha menutupi rasa tidak percaya dirinya lewat pesta, konsumsi makanan dan minuman beralkohol yang berlebihan, serta ketergantungan terhadap obat. Saat dia berusaha mendapatkan ekstra obat dari dokter, Brittany malah disuruh menurunkan berat badan agar terhindar dari penyakit.
Semakin stressed out, akhirnya Brittany memutuskan untuk berolahraga. Mulai dari lari satu blok di sekeliling apartemennya. Berhasil. Lalu dia menambah waktu berlari. Berhasil. Dia berkenalan dengan beberapa orang, termasuk tetangganya. Lalu dia ikut klub lari. Pelan-pelan akhirnya Brittany mengubah gaya hidupnya, dan mengubah pula nasib hidupnya.
Namun Brittany tak pernah lepas dari rasa insecure yang membelenggu dirinya, berpuncak pada rasa sakit yang mengharuskan dia tidak ikut marathon dan harus menunggu setahun. Saat akhirnya Brittany bisa ikut marathon di tahun berikutnya, tanpa sadar kita pun ikut cheering and rooting for her.

Tentu saja formula cerita seperti ini sudah dibuat di banyak karya seni seperti novel dan film. Contohnya karakter Bridget Jones yang sudah menghasilkan tiga film dan beberapa judul buku. Toh kita, maksudnya saya, tak pernah bisa lepas terpaku dan dalam beberapa hal, bisa terpukau, dengan cerita seperti ini.
Demikian pula saat saya menonton Brittany Runs a Marathon ini, saya seperti sempat bertanya ke diri sendiri, “Kenapa ya, saya selalu tertarik dengan cerita seperti ini?”
Lalu saya sadar, “Uh oh. I see myself in these kinds of story.”
Beberapa kali saya pernah tulis di Linimasa, termasuk tulisan ini, bahwa saya pernah ada di fase saat berat badan saya melambung tinggi. Ini terjadi waktu kuliah dulu. Sayangnya dan sialnya, saya berada di lingkungan pertemanan yang kurang sehat, yang malah mem-bully saya dengan berat badan saya yang waktu itu super ekstra.
Ternyata hasil bully-an tersebut diam-diam membekas. Ternyata kita tidak pernah lepas dari hal negatif yang pernah dilontarkan ke kita, meskipun kita sudah overcome our negative thought, meskipun badan kita sudah lebih fit sekarang, meskipun kita sudah berusaha tidak melakukan apa yang pernah orang lain lakukan ke kita. The pain remains, the pain stays, the pain will not go away, we just live with it. Seperti yang pernah saya tulis, deep down, I am still that overweight college guy who thinks himself as ugly duckling.
Akhirnya perasaan ini saya curahkan pada kisah-kisah seperti Brittany ini. Ternyata saya punya soft spot terhadap cerita-cerita seperti ini. Dulu saya mulai membaca dan mengikuti novel Bridget Jones waktu kuliah, dan seperti mendapatkan oase pelampiasan lewat cerita-cerita kocaknya.
Saat ini, saya merasa badan saya sedang gemuk. Lemak di perut mulai susah disamarkan. Olahraga masih jalan terus, demikian pula dengan craving untuk makan. Cuma saya lebih santai menanggapinya. Yang penting masih terus bergerak dan berolahraga, dan berusaha makan sesuai kebutuhan saja.
Mungkin memang perlu waktu untuk bisa menerima keadaan diri kita apa adanya. Brittany juga perlu waktu untuk mengubah gaya hidupnya menjadi seorang pelari. Tentu saja ada naik turun dalam penerimaan ini. Kalau kita sakit, kita perlu beristirahat, sehingga kita tidak bisa berolahraga. Kadang-kadang kita punya bad mood, sehingga kita perlu melakukan self indulgence. Selama tidak berlebihan, it does not do any harm.
Yang penting kita tahu kapan kita perlu merawat dan mencintai diri sendiri, karena saat kita berdiri, the pride we have about ourself will show and glow.
