Joker mungkin adalah film yang paling ditunggu tahun ini oleh sebagian penikmat film superhero atau film pada umumnya. Kenapa? Karena tidak sembarang aktor bisa memerankan peran seperti ini. Terakhir kita sempat punya Heath Ledger yang bermain sangat apik di film The Dark Knight (2008) sehingga diganjar Oscar di kategori Aktor Pendukung Terbaik. Dia tidak sempat menikmati Oscar karena dia meninggal akibat overdosis. Dan tentu saja kematiannya selalu dikaitkan dengan perannya sebagai Joker di The Dark Knight. Sebelumnya, Jack Nicholson, Joker di film Batman (1989) kabarnya dibayar sangat mahal di ukurannya pada saat itu. Film tersebut sukses secara komersial dan Jack Nicholson pun berhasil memerankan Joker versi film Tim Burton. Ada banyak keraguan ketika Heath Ledger akan memerankan Joker di The Dark Knight. Keraguan itu terjawab bahwa Joker versi Heath Ledger itu adalah Joker versi terbaik.
Satu dekade lebih berlalu, Joker difilmkan kembali, setelah sebelumnya Suicide Squad yang juga Joker berada di dalamnya, dianggap film yang gagal. Jared Leto sebagai Joker hanya bermain sebentar dan yang bersinar di film itu malah Margot Robbie yang memerankan Harley Quinn. Kali ini yang memerankan Joker adalah Joaquin Phoenix. Semua berharap cemas. Bisakah Joaquin Phoenix mengimbangi akting Heath Ledger? Ini pertanyaan utamanya. Apakah filmnya akan bagus? Semua bergantung kepada Todd Phillips yang bertindak sebagai sutradara dan juga penulis di film ini.
“if I’m going to have a past, I prefer it to be multiple choice”
Di sini Joaquin berperan sebagai Arthur Fleck, di film ini Todd Phillips berusaha membedah asal muasal kenapa Joker menjadi Joker yang seperti ini. Tidak pernah ada penjelasan di film-film yang sudah saya sebut kenapa Joker bertindak begitu gila. Komik The Killing Joke menjelaskan bahwa Arthur Fleck adalah seorang stand up komik yang gagal. Todd Phillips dan Scott Silver sebagai penulis skenario film ini berusaha mengambil beberapa referensi film dari era 70an dan 80an. Ada dua film yang sangat mempengaruhi jalan cerita film ini. Yang pertama adalah Taxi Driver (1976), dan The King of Comedy (1982). Kedua film ini disutradarai oleh Martin Scorsese dan dibintangi oleh Robert De Niro. Bukan kebetulan Robert De Niro pun di sini bermain sebagai host dari acara semacam Late Night Show yang dipandu oleh David Letterman, Stephen Colbert, atau Johnny Carson lebih tepatnya di era tersebut. Martin Scorsese pun dikabarkan sempat menjadi produser pelaksana film ini tapi di beberapa saat terakhir dia harus lepas untuk lebih fokus menggarap The Irishman, yang sebentar lagi tayang di Netflix.
The King of Comedy (1982) Taxi Driver (1976)
Jika sudah melihat kedua film di atas maka akan sangat terasa pengaruh kedua film tersebut terhadap film Joker. Robert De Niro di dua film itu menjadi seorang yang mentalnya terganggu. Jika di The King of Comedy dia berperan sebagai Rupert Pupkin, seorang stand up komedi yang antusias tapi delusional, dan sangat terobsesi untuk menjadi stand up komedi seperti idolanya, Jerry Langford, yang dibintangi oleh Jerry Lewis. Maka di Taxi Driver, dia menjadi Travis Bickle, seorang veteran perang Vietnam yang mengidap PTSD dan beralih menjadi supir taksi dan melihat New York sebagai kota bermasalah dan perlu dia bereskan dengan caranya sendiri dengan menjadi vigilante, di kota New York. Gotham City di komik Batman adalah representasi dari kota New York.
Karena setting film ini tahun 1981, Todd Phillips berhasil meracik dua film tersebut dengan beberapa film di era 70an dan 80an. Ini adalah sebuah penghargaan dari Todd Phillips terhadap Martin Scorsese dan dua filmnya. Tapi di sini Todd berhasil menciptakan seorang Arthur Fleck, yang hidup bersama ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan. Dia hidup ketika Gotham City sedang dalam kondisi yang kumuh dan banyak masalah dan tingkat kriminalitas tinggi. Sementara orang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin. Arthur Fleck yang bercita-cita menjadi stand up komik masih mencari karirnya dan malah menjadi badut di pinggir jalan. Atau kadang menjadi badut penghibur di rumah sakit anak-anak.
“The worst part of having a mental illness is people expect you to behave as if you don’t.”
Arthur Fleck adalah seorang anak yang datang dari keluarga yang tidak beruntung. Dia tidak tahu bapaknya siapa. Ibunya, Penny Fleck, sudah tua dan sakit-sakitan. Dia harus datang ke psikiater yang dibiayai oleh pemerintah setempat secara berkala dan harus mengkonsumsi tujuh obat yang berbeda agar penyakitnya tidak kambuh. Pekerjaannya sebagai badut pun tidak berjalan lancar. Arthur Fleck adalah produk orang yang termarjinalkan. Dia hanya ingin berbuat baik. Menjalani kehidupan seperti layaknya masyarakat lain. Tapi dia selalu menjadi bahan olok-olok. Dikeroyok oleh sekelompok pemuda. Kehilangan pekerjaan. Dipukuli di stasiun kereta. Semua siksaan itu rupanya menjadi terakumulasi dan puncaknya sisi jahat dari Arthur pun keluar dan berontak. Dia tidak mau begitu tetapi lingkungan keluarga yang membuatnya seperti itu.
“Is it just me or is it getting crazier out there?
Potret Arthur adalah sebetulnya sudah terjadi di banyak belahan dunia, termasuk Indonesia. Kita sedang ada di era di mana per-bully-an (sebetulnya sudah ada perundungan di KBBI) adalah hal yang terjadi sehari-hari di media sosial. Entah itu di Twitter, Instagram, Facebook atau media sosial lainnya. Dengan mudahnya kita menyakiti orang di dunia maya. Entah itu melalui sindiran, makian, doxxing, saling menelanjangi aib masing-masing, ataupun teror. Ada kalanya kita adalah Arthur. Ada kalanya kita juga mengeroyok seorang Arthur. Orang bisa terlihat bahagia di permukaan. Tetapi kita tidak tahu apa sebetulnya yang terjadi di balik senyuman.
Kita semua pernah menjadi Arthur. Kita pernah mengerjakan pekerjaan yang tidak kita sukai. Kita pernah kuliah dan masuk jurusan yang tidak kita minati. Malah ada yang tidak bisa sekolah karena alasan finansial. Kita pernah terpaksa masuk ke lingkungan yang kita merasa asing. Kita pernah ada di keramaian tapi tetap merasa sepi. Kita punya tujuan yang berbeda-beda. Cuma kadar saja yang membedakan. Menjadi waras adalah pekerjaan utama kita. Tapi apapun itu, ingatlah selalu pesan Frank Sinatra seperti yang dinyanyikan Arthur ketika sedang berkonsultasi dengan psikiaternya;
that’s life that’s what people say you’re riding high in April shot down in May but I know I’m gonna change that tune when
I’m back on top, back on top in June .