“GOD does not play dice with the universe,” kata Einstein.
Namun, if it does so (play dice with the universe), what would you do?
Tuhan tidak berundi dadu untuk semesta. Namun, kalau dia ternyata memang melakukannya, kamu mau apa? Akan bagaimana?
Iya. Saya sengaja menyitat kutipan tersebut secara serampangan dan di luar konteksnya‒fisika kuantum‒karena sedang capek banget sepekan terakhir ini. Capek badan, capek pikiran, dan capek hati. Dan ketiganya terjadi bersamaan, seakan-akan mengeroyok untuk mengisap habis bulir-bulir tenaga yang tersisa. Tenaga (ber)gerak, tenaga (ber)pikir, dan tenaga (me)rasa. Bikin ingin mengambil sejenak jeda dari kekinian, mengindar sebentar agar tak terpapar. Meskipun susah, kayaknya.
Tidak. Tidak semua kecapekan itu bersifat negatif dan bikin menderita, kok. Capeknya badan karena bekerja dan berkegiatan yang tak terhindarkan. Capek yang tersisa masih bisa dibarengi rasa gembira telah melakukan sesuatu, rasa bangga atas keterlibatan, rasa puas telah berperan dalam sesuatu yang lebih besar, rasa berdaya dan bermanfaat bagi sesama, serta rasa pantas sebagai seseorang.
Capek pikiran dan capek hati yang bikin tidak nyaman, dan sekali lagi, tak terhindarkan. Ingin sekali tidak acuh dan tidak peduli, hanya saja, kok agak sulit, ya?
– Hari ini, VK dicari polisi. Dijadikan terduga provokator soal Papua.
– Sekali lagi, perempuan diobjektivikasi, dijadikan objek. Dan karena saya sepakat dengan prinsip “No uterus, no comment!” maka, sudah sepatutnya adu argumentasi perihal tersebut terjadi antara sesama perempuan, atau setidaknya, oleh orang-orang yang layak turut berbicara. Satu hal yang pasti, orang-orang yang menyalahkan korban perkosaan adalah sekumpulan manusia idiot!
– Melihat video seorang bocah SD yang dihajar habis-habisan oleh anak-anak seusianya, dengan berbagai gaya pukulan dan tendangan. Menontonnya, dan mendengarkan tangisan mengaduh sang korban saja sudah bisa bikin sesak napas.
Ketiga hal di atas cukup berhasil menyusahkan pikiran dan hati. Ya, itu tadi, bikin pengin sejenak menjauh dari kekinian; apa yang tengah berlangsung saat ini. Akan tetapi, capek hati paling berat ternyata terjadi dalam lingkar pribadi; kemalangan seorang kerabat dekat.
Mereka adalah pasangan muda yang baru dikaruniai anak, yang saya tidak bisa membayangkan, betapa hancur hati mereka dan bagaimana susah payahnya mereka agar bisa kembali tegar, begitu mengetahui jika anak mereka terlahir dengan sejumlah kondisi serius. Salah satunya, kelainan pada jantung dan saluran paru-paru.
Kedekatan kami selama ini, bahkan sejak kecil, membuat saya susah untuk bersikap biasa-biasa saja terhadap kenyataan itu. Apalagi tindakan yang bisa saya lakukan barangkali nyaris tak ada artinya bagi si kecil dan kedua orang tuanya. Capek hati jadinya.
Tuhan tidak berundi dadu untuk semesta. Namun, kalau dia ternyata memang melakukannya, kamu mau apa? Akan bagaimana?
Pikiran saya meliar, bikin tambah capek.
Apa yang akan saya (dan pasangan) lakukan jika‒amit-amit‒mengalami hal serupa?
Apa yang akan saya (dan pasangan) lakukan jika kondisi tersebut telah diketahui lebih awal, saat masih dalam kandungan? Apakah akan terus menyodorkan kehidupan dan masa depan yang hampir pasti penuh kesulitan dan kesukaran bagi dia? Kemudian, ditambah dengan sebuah keniscayaan bahwa saya, kami, orang tuanya bakal mati suatu saat nanti, dan dia pun akan terus menjalani hidupnya sendiri.
Aduh! Sungguh-sungguh berat di kepala, dan di hati. Saya hanya bisa bertakzim kepada para orang tua kuat, yang mendedikasikan kehidupan mereka saat ini, berusaha sepenuh tenaga menghadirkan kehidupan layak bagi anak-anak dalam kekurangan dan keterbatasannya.
Capek. Saya ingin istirahat dulu.
[]