Menjadi “Perfeksionis” Itu Melelahkan

APALAGI yang terjadi di luar kendali dalam kehidupan sehari-hari, dan terasa amat sukar untuk diatasi.

Misalnya seperti beberapa kejadian berikut ini.

Pernahkah kamu mengalami ini? Sebelum berangkat pergi, kamu mengunci pintu kamar kos, pintu rumah atau apartemen dengan secermat mungkin. Kamu sudah tahu bahwa kunci pintu tersebut bisa diputar searah jarum jam maksimal dua kali.

Ctak! Ctak!” Penguncinya sudah mentok, dan anak kunci sudah tidak bisa diputar lagi.

Namun, untuk lebih memastikan lagi, kamu mencoba menekan-putar anak kunci, seolah-olah ingin memastikan kunciannya sudah betul-betul rapat.

Sekali, mentok.
Dua kali, mentok.
Tiga kali, mentok.
Oke, ini pasti sudah terkunci.

Kamu pun mulai berjalan. Entah ke garasi, ke tempat parkir, ke muka gang, atau ke ambang pintu eskalator. Siap bepergian, menjalankan agenda dan rencana yang sudah disusun sebelumnya.

Anehnya, belum seberapa jauh, mendadak sebuah keraguan menyeruak dalam benakmu. Seakan-akan ada yang mempertanyakan:

Eh, itu pintu tadi sudah dikunci belum, sih?

Tanpa memiliki masalah dengan ingatan atau kesadaran saat melakukan sesuatu, pertanyaan ini terus mengusik pikiran. Membuat perasaan tidak nyaman.

Benar, enggak, sih, tadi sudah dikunci rapat?”

Sungguh beruntung mereka yang tidak pernah mengalami keadaan seperti ini. Ketenangan dan ketenteraman sebagai berkah. Mereka tahu apa yang telah mereka alami, apa yang telah mereka lakukan, dan yakin bahwa semuanya sudah berjalan seperti yang telah terjadi.

Sedangkan bagi yang akhirnya kalah dengan kekhawatiran dan keragu-raguan–seringnya terkombinasi dengan rasa takut–tersebut, bisa bela-belain untuk putar balik, kembali ke depan pintu yang sama, dan mengulang ritual penguncian pintu tersebut. Bahkan seringkali ditambah dengan beberapa gerakan lainnya, yang bisa menyisakan sensasi fisik, yang niat awalnya berfungsi sebagai penanda bahwa apa yang telah terjadi memang benar-benar terjadi, bukan mimpi, atau halusinasi. Jika pintu telah dikunci, maka telah dikuncilah pintu itu. Tak perlu takut mendapatkan gambaran fiksi.

Tak hanya itu, dalam beberapa kasus “ritual” tambahan tadi harus berjalan dengan “sempurna”. Gerakannya harus mulus, tanpa interupsi yang menyela. Contohnya, pada saat pintu diayunkan menutup, tetapi tiba-tiba sempat tersandung sandal yang kebetulan diletakkan di dekat pintu, maka pintu akan kembali diayun membuka, dan “prosesi” mengayun menutup diulang sekali lagi. Lalu, setelah bunyi “klik“, anak kunci kembali diputar dua kali, dan lagi-lagi, mencoba untuk diputar mentok sampai tiga kali. Bisa juga diakhiri dengan menjentikkan jari, layaknya sebuah sentuhan penutup.

Aduh. Capek.

Mengganggu, melelahkan, dan terkadang bikin frustasi. Mengapa harus seperfeksionis itu?

Dengan termakan umpan rasa takut tersebut, ada waktu, tenaga, perhatian yang terbuang percuma. Menyita beberapa belas menit, ketika seharusnya sudah berada di tengah-tengah jalan raya, malah dihabiskan untuk kembali ke tempat semula, sebelum perjalanan dimulakan.

Itu baru pintu depan. Bagian paling akhir yang disentuh sebelum bepergian. Perasaan ragu, khawatir, dan takut serupa juga bisa menimpa pada segala aspek di dalam rumah atau tempat kerja.

Jendela kamar, pintu balkon, steker lampu, kompor (untuk yang satu ini memang harus ekstra hati-hati, sih), bahkan sampai posisi bantal dan guling setelah ditinggal bangun.

(GIF: Petra Švajger)
Kurang lebih seperti ini, dengan tempo lebih lamban. Foto: Konbini

Pada contoh lainnya–dan saya alami sendiri–ialah ketika mengetik. Termasuk saat menulis buat Linimasa kali ini.

Manakala salah mengetik, apakah itu kurang huruf, posisi huruf terbalik, terpencet, kesalahan karena mengetik terlalu cepat, atau sekalian ingin membalik posisi kata dalam sebuah kalimat, seseorang normalnya akan mengarahkan tanda kursor berkedip-kedip ke bagian yang ingin diperbaiki. Sementara saya, menghapus (menekan tuts backspace) kata yang salah tersebut beserta satu kata sebelumnya. Alih-alih memperbaiki huruf yang salah, saya justru mengetik ulang dua kata tersebut. Berulang-ulang di bagian yang sama. Merasa kurang pas sedikit saja, langsung hapus dua kata atau lebih dan mengetiknya ulang, persis sama kata demi kata. Begitu terus sambil diulangi, dan diulangi, bunyi susunan kata-kata tersebut pun kehilangan makna dan strukturnya.

Tak percaya? Coba saja cari kalimat pendek, dan baca terus menerus. Bunyinya, meskipun hanya dalam hati, lama-kelamaan akan memudarkan makna. Menjadikan mereka tidak lagi relevan dalam konteks apa pun.

Iya, saya sangat paham bahwa tindakan itu cukup membuang-buang waktu, apalagi saat dikejar tenggat. Hanya saja, kebiasaan itu sulit hilang. Juga termasuk saat menulis ini.

Bukan baru sadar belakangan ini, tetapi sudah berlangsung lama, lebih dari enam atau tujuh tahun lalu, waktu masih berprofesi sebagai wartawan dan redaktur harian di Samarinda. Lantaran acap kali teramat mengganggu, beberapa cara telah dicoba secara sporadis.

Mulai dari mencoba fokus, menempatkan kegiatan mengetik secara sadar (mindful), tetapi malah tercerap mengamati gejolak batin yang timbul; mencoba mengetik lebih perlahan, tetapi ide dan gagasan malah buyar tak beraturan; mencoba mengabaikan kesalahan-kesalahan yang terjadi, dengan pertimbangan nantinya akan melewati proses penyuntingan, tetapi tak bertahan lama. Sikap yang (sok) perfeksionis ini membandel, bertahan sampai sekarang,

Momen-momen bisa mengetik dengan lancar, cepat, dan relatif tepat kian jarang terjadi. Biasanya, setelah berganti tekstur dan keempukan papan kibor; mendapati meja dan kursi dengan sudut yang terasa pas; atau ketika semangat dan inspirasi menulis sedang deras-derasnya.

Saya menyerah sajalah. Yang pasti masih banyak hal-hal penting lain, yang lebih patut diperhatikan dalam menjalani hidup saat ini. Segala ketidaknyamanan dalam berkegiatan tetap bercokol di sana, menjadi benalu tanpa keterangan dan penjelasan. Sampai tanpa sengaja terpapar dengan artikel ini.

Image result for OCD typing animated gif
OCD typing. Foto: articles.aplus.com

Setelah membacanya, saya berusaha tidak ingin gegabah menyebut kebiasaan tersebut adalah gejala Obsessive Compulsive Disorder (OCD) Perfectionism. Kendati, tanda-tandanya kok ada yang bersinggungan?

Sebelumnya, sepertinya ada perbedaan cukup besar antara bersikap perfeksionis dalam konteks aktivitas keseharian ini, dengan bersikap perfeksionis dalam upaya menghasilkan sesuatu.

Bersikap perfeksionis saat memastikan pintu sudah terkunci dengan serapat-rapatnya sebelum pergi, ialah isyarat kepada diri sendiri bahwa: “Semuanya sudah berjalan dengan lancar.” Sedikit atau sesepele apa pun gangguan yang muncul, bisa menjadi pengacau kondisi “lancar” tadi. Begitu pula saat mengetik, yang entah bagaimana, menandakan bahwa otak dan pikiran kita “tidak mau” mempercayai apa yang dilihat mata, dan terbaca dalam hati.

Mengutip artikel tadi.

Unhealthy perfectionism tends to be high if your OCD symptoms revolve around checking. Specifically, if you do not feel you have perfect certainty that you have locked the door or turned off the stove, you might return to check these items over and over again. Tied to this is the excessive fear of making a catastrophic mistake, such as leaving the door open all day or burning down the house by leaving the stove on. Ironically, checking over and over again reinforces the idea that you are not perfect or possibly even “losing your mind.” This can make you feel even worse and less self-confident which, of course, sets you up to do more checking.

Jika kamu juga mengalami situasi yang sama, dan sudah di tingkat mengganggu, satu-satunya cara terbaik adalah dengan memeriksakannya secara proper. Pencarian artikel sebanyak apa pun, baru sebatas memberi pengetahuan baru, atau bias informasi.

Apalagi sejauh ini, penyebab utamanya belum bisa dijelaskan. Pendapat yang disarikan dari riset-riset baru mengklasifikasi faktor pemengaruh OCD. Yakni:

  • faktor genetik,
  • faktor autoimun,
  • faktor hormonal,
  • faktor neurologis atau saraf,
  • faktor kognitif
  • faktor lingkungan dan perilaku

Kalau sudah begini, kembali teringat ungkapan “tak ada yang sempurna“, sebab seberat-beratnya upaya yang dilakukan demi mencapai kesempurnaan tersebut, tetap saja merupakan hal yang rentan. Dicolek sedikit, bubar jalan, mesti diulangi kembali. Padahal, kehidupan ini tidak selalu ringan, lancar, dan mudah untuk dijalani. Jangan menambahkan siksaan.

Semoga kamu tidak mengalaminya, ya.

… dan mudah-mudahan, bisa dipatahkan semudah penjelasan di video ini.

“Debunking the myths of OCD”

[]

2 respons untuk ‘Menjadi “Perfeksionis” Itu Melelahkan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s