SAMA seperti menguap‒ketika kita tak kuasa menahan dorongan untuk membuka mulut lebar-lebar, menghirup udara sebanyak-banyaknya‒tertawa itu menular, secara besar-besaran pula. Apalagi kalau suara tawanya begitu renyah, bebas, lepas, atau terdengar lucu dan menggemaskan, selucu dan semenggemaskan balita yang melakukannya, yang tanpa sadar membuat hati kecil kita agak iri: “Aku mau dong bisa segembira itu juga…”
Begitu kita mendengar dan terpapar nuansa tawa tersebut, kita setidaknya bakal ikut tersenyum. Spontan dan alamiah, seakan-akan turut menikmati berkah keceriaan yang sejatinya ditumpahkan kepada orang lain. Saking spontannya, kita seringkali ikut tertawa kecil tanpa (perlu) tahu apa penyebabnya. Yang terasa hanyalah suatu hal yang menggelikan bergejolak dalam dada, yang susah kita tahan berlama-lama.
Untungnya, selain kemampuan merasa geli dan tertawa, kita juga telah dianugerahi dengan kemampuan berpikir. Itu sebabnya kita bisa mengenali tawa seperti apa yang berasal dari kegembiraan, dan yang justru merupakan tanda kekejaman serta kekejian seseorang. Untuk urusan yang satu ini, manusia sudah mahir semahir-mahirnya dengan kemampuan yang tumbuh dan terus berkembang seiring pertambahan usia.

Terakhir, dan sekaligus yang terpenting, tertawa sanggup meringankan atau bahkan mengangkat beban batin maupun pikiran yang sedang mendera kita. Hanya saja tidak mudah. Tertawa itu sejatinya gampang dan sederhana. Namun, makin berat masalah yang kita hadapi, kita makin sukar untuk berpikir sederhana. Ngarahnya ke yang njelimet–njelimeeet melulu… Jangankan tertawa, menyadari bahwa kehidupannya terus bergulir saja mungkin agak susah. Tahu-tahu waktu sudah jauh berlalu, dan membuat makin bingung, makin tertekan, makin tak tahu harus melakukan apa.
Bisa jadi benar kiranya, orang-orang yang mudah dibuat tertawa sungguhan, bukan tertawa palsu demi adab sosial, adalah mereka yang mudah pula dibuat merasa bahagia. Perasaan bahagia di tingkat paling dasar. Ibarat bayi yang terpingkal-pingkal saat melihat dan mendengar kertas dirobek.
“Greseeek…”
“Ehehehehehehehehehe…”
~~~ Tak usahlah menirukan suaranya di dalam hati; cukup dibayangkan saja suaranya. Pejamkan mata, bila perlu. Pasti pernah dengar suara bayi tertawa, kan? Tertawa yang saking kencangnya, sampai-sampai bikin mereka tertawa sambil menghela napas. Kelelahan. Sesuatu yang melelahkan, tetapi terasa menyenangkan.
Ngomong-ngomong, kapan terakhir kalinya kamu‒yang sudah dewasa‒tertawa terpingkal-pingkal seperti balita yang kamu bayangkan tadi? Apa waktu hari raya atau libur panjang kemarin? Asal tertawa yang benar-benar lepas, lho, ya, bukan tertawa yang nyaring doang bareng teman satu geng setelah ngomongin orang. Tertawa yang cuma berisik, tetapi di hati malah berasa kosong dan palsu kemudian.
Ya… whatever. Itu tadi tentang orang-orang yang mudah dibuat tertawa, yang konon katanya paling sulit untuk direkrut menjadi pelaku terorisme. Lagipula, buat apa menjadi pelaku terorisme, kalau dalam kehidupan kesehariannya sudah dipenuhi kegembiraan yang bikin raut wajahnya selalu kencang, dan memancarkan aura kegembiraan. Aura yang biasanya bertahan hingga seseorang tua, lanjut usia, parasnya meneduhkan. Cuma, kebetulan saja kalau ybs sudah tua, giginya sudah ompong juga. Menjadikan wajah senyumnya makin lucu… dan lagi-lagi, kita pun bisa ikut-ikutan tersenyum hanya dengan membayangkannya.
Kendati sebaliknya, seseorang yang mudah membuat orang lain tertawa malah belum tentu berbahagia. Tahu, kan, perbedaannya. Dibuat dan membuat; yang melakukan atau yang memunculkan penyebabnya, dan yang mengalami dampaknya.

Seandainya memang begini adanya, puji syukur ke hadirat tuhan yang mahalucu, humoris, dan mahabesar hati sampai-sampai sudi menciptakan manusia dengan kemampuan tertawa sedemikian rupa, serta mahabaik untuk bisa bersama-sama menertawakan semesta beserta seisinya. Termasuk dirinya sendiri.
Maka, tertawalah.
Jikalau tidak bisa, cobalah untuk mulai tertawa kembali.
Asal jangan sampai lupa caranya.
Kita, tampaknya, tidak butuh nyimeng untuk bisa geli cekikikan sendiri saat melihat yang ada di sekeliling kita.
[]
Puji syukur pada Tuhan yang telah menciptakan rasa humor sehingga ciptaannya yang bernama manusia bisa tertawa. Menertawai diri sendiri, menertawai hal-hal lucu di sekeliling, atau sekedar tertawa menikmati hidup yang bahagia. Bayangkan kalau kita tak bisa tertawa.
SukaSuka
Betul. Sungguh sebuah kesia-siaan dalam hidup jika tidak bisa tertawa.
SukaSuka
Barusan saya ketawa ini mas, ngeliat adik, acil & sepupu main2 banjir di rumah yang tenggelam separoh di Samarinda, untung jua kita ini urang lawas di Samarinda lain urang hanyar … 😅
SukaSuka
Hahaha… Bukan perkara urang lawas urang hanyar, pang. Justru kan kalau urang lawas, logikanya selain terbiasa dan tahan banting, juga sudah melewati cukup waktu untuk memikirkan solusinya. Meolah mauk, haur banjir tarus.
Sudah surut, kan?
SukaSuka