RINGAN dan enteng. Perasaan yang selalu kita dambakan dalam hidup ini, baik batin maupun jasmani. Siapa saja yang pernah merasakan beban berat dan dibuat susah karenanya, pasti akan bisa menghargai dan mensyukuri keadaan ketika beban tersebut menjadi tiada. Perasaan ringan dan enteng itu kemudian berubah menjadi kelapangan, kelegaan, dan keleluasaan untuk melihat serta bergerak lebih bebas. Menghadirkan kehidupan yang berbeda.
Yang harus kita lakukan seringkali sesederhana pilah lalu tinggalkan, sebab tak semua hal sepenting itu untuk terus dipikul ke mana-mana. Hanya saja, seberat-beratnya beban fisik, lebih berat lagi beban mental. Beban fisik berupa benda; bisa diangkat sendiri atau bersama-sama. Dapat dilihat, dan dapat dinilai oleh orang lain. Jika sudah tidak diperlukan atau dapat ditinggalkan, cukup diletakkan begitu saja. Bahkan bisa saja langsung dibuang sebagaimana mestinya.
Berbeda dengan beban batin yang gaib, tak kasatmata, dan kerap justru lebih membahayakan dibanding benda nyata. Beban batin belum tentu bisa dibagi. Saat ada keinginan untuk membaginya pun, mesti tetap berlaku hati-hati supaya tidak tambah sakit hati. Apabila tidak tepat, beban batin yang niat awalnya ingin dibagi tersebut bukannya menjadi ringan, malah bertambah berat.
Di antara berbagai cara yang biasa kita lakukan untuk membagi dan mengurangi beban batin, salah satu yang paling digemari adalah menyalahkan dan memojokkan diri sendiri. Padahal, beban batin itu bukannya berkurang, melainkan hanya dialihkan ke kompartemen ego yang berbeda. Ada kompartemen yang dipenuhi puja puji, ada pula kompartemen untuk kehinaan diri.
Jikalau orang-orang yang terlalu positif atau terlampau percaya diri selalu mencari—bahkan mirip kecanduan—validasi orang lain atas keberhasilan serta pencapaian-pencapaian dalam hidup mereka, menyalahkan dan memojokkan diri merupakan kebalikannya 180 derajat. Berupa validasi negatif. Mereka ingin diiyakan sebagai seseorang yang paling malang, paling kurang, paling tidak berkualitas, paling tidak berguna, dan sebagainya di seluruh dunia. Seolah-olah ada kenyamanan ego yang mereka peroleh dari validasi negatif tersebut.
Salah satu ciri khasnya adalah kemampuan melihat segala hal secara negatif. Dalam sebesar atau sekecil apa pun suatu kebaikan maupun prestasi yang diperoleh, selalu saja ada nada sumbang yang dilontarkan. Terhadap hal ini, sebenarnya terdapat dua sudut pandang berbeda. Dari si pengucap, dan para pendengar.
Dengan terus berupaya mendapatkan validasi negatif atas apa pun yang telah mereka capai atau lakukan, si pengucap ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak cukup pantas; biasa-biasa saja; atau terkesan berusaha ingin bersikap rendah hati—meskipun kebablasan, dan pada akhirnya malah ditangkap sebagai kesombongan terselubung.
Sedikit banyaknya, kita pernah bersikap begini, atau mungkin terus berlangsung sampai sekarang. Tanpa sadar, dan terus mengakar kuat.
Kembali ke pilah lalu tinggalkan. Tak ada yang benar-benar penting untuk dibopong ke mana-mana. Maka, alami sesuatu, dapatkan pengalaman dan kesannya, kemudian tinggalkan. Tidak perlu disanjung-sanjung maupun direndah-rendahkan sendiri.
Hidup minimalis; hanya mengisi hidup dengan hal-hal yang sungguh penting, dan berguna dalam kurun waktu lama. Dibutuhkan kebijaksanaan dan kedewasaan. Yang tumbuh, bukan muncul begitu saja. Demi kehidupan yang ringan dan enteng, lapang, lega, serta leluasa.
[]
Jadi ingat buku The Subtle Art Of Not Giving A F*ck yang sekarang baru mulai dibaca, sepertinya relevan dengan tulisan Mas Gono ini 🙂
Terima kasih sudah menuliskan ya Mas.
SukaSuka
Ya begitulah… makin usia bertambah, makin repot urusan stamina dan perhatian sosial. Sudah malas capek hati soalnya. Hahahaha.
Kembali kasih.
SukaSuka
suka dan setuju banget sama paragraf terakhirnyaaa
SukaSuka
Sebab pada akhirnya, yg penting adalah hati. Hahaha.
Terima kasih sudah membaca.
SukaSuka