Mom-ster

Aku dimarahi Ibuku di depan anak dan istriku. Katanya aku seperti anak kecil. Tidak mau menemui Ibuku dan lama tak mau menyapa dirinya. Aku dimarahi habis-habisan. Suaranya bagai halilintar. Agak bergetar. Tanda amarahnya belum usai. 

Aku bertanya-tanya dalam hati kapan aku dimalinkundangkan. Dikutuk menjadi batu. Gara-gara melukai hati seorang Ibu. Sekaligus aku mengingat-ingat, waktu Ibu Malinkundang menjadi seorang yang terluka, apakah suaminya masih ada. Karena agak berbeda antara Malinkundang dan aku. Mungkin saat itu dia sudah berstatus yatim. Kali ini Ayah saya masih ada dan menjadi pemandu sorak ibuku untuk terus semangat memarahi aku. “Betul Bu, hajar terus Bu”.

Mungkin cara masturbasi orang tua dan anak muda memang sedikit agak beda. Kita-kita, para lelaki, masih dengan bantuan oli, sedikit sabun, atau lotion buat body. Ortu masa kini bermasturbasi dengan cara yang baru aku ketahui malam ini. Sedikit pulsa atau bantuan wifi, nyalakan video call, lalu tak peduli apakah anak-anaknya sedang enak suasana hatinya, sedang makan malam keluarga, atau sedang berbahagia bersama keluarga kecilnya. 

Untungnya aku tahu masturbasi itu sama dengan onani. Kalau kentang, pasti rasanya tak senang. Maka ketika sibuk memarahiku, aku menerapkan strategi Abu Bakar Baasyir ketika ditanya Penyidik Densus 88: Diam. Apapun yang dikatakan Ibuku, aku diam.

Kamu cengeng. Kamu tak pantas. Kamu-kamu-kamu-kamu.”, entah ada berapa kamu yang disampaikan kepadaku. Aku tetap diam. Aku kembali meneruskan makan mi goreng yang sebetulnya dipesan buat anakku. Aku habiskan saja. Anakku menangis. Bukan karena melihat bapaknya dimarahi neneknya, melainkan karena bapaknya menghabiskan mi goreng kesayangannya.

Bagaimana nasib istriku. Dia tak kuat melihat suaminya dimarahi lewat video call. Dia meringkuk sendiri di pojok ruang. Sembari nyetel Youtub Baim Wong sibuk membagi-bagi uang kepada orang kecil dan berharap dapat uang dari Yutub. Wah keren!, aku sempat berpikir di sela kesibukanku dimarahi ibu.

Aku sudah banyak makan buku. Aku mengingat-ingat apakah selain kisah Malinkundang ada kisah lain tokoh jagoan yang selamat ketika dimarahi Ibu. Aku ingat seorang Rasul memerintahkan untuk hormati Ibu, Ibu dan Ibu. Aku agak menyesal tak pernah mengikuti kisah Dewi Kunti, atau kisah Drupadi, dan kisah-kisah epos semacam itu. Bisa jadi ada sedikit celah buatku untuk merehabilitasi diri bahwa dimarahi Ibu itu biasa saja. Aku ingin segera menghibur diri. Aku sudah takut akan menjadi batu.

Tak berhasil. Ibuku masih memarahiku. Kalimatnya deras melebihi debit arus kata Jason Ranti dalam lagu Doa Sejuta Umat. Maknanya makin jelas. Kata-katanya makin pedas.

Aku semakin merawat memoriku. Aku mencari folder apa saja kesalahanku selama ini. Belum juga ditemukan. Apakah masuk recycle bin ingatan? Seharusnya tidak. Aku tidak pernah menghapus ingatan. Bahaya, tak perlu dirawat, otak dan jalanpikirku seharusnya diruwat.

“Ya Tuhan, lindungi aku selalu. Ya Tuhan, jagalah aku selalu, dari nabi-nabi palsu. Jualan yang menipu. Isi ceramah yang jauh. Karena Gusti ada di hati. Kurasa Gusti tinggal di hati. Yeah!”

Surga ada di kaki Ibu. Maka sepertinya harapan masuk surgaku habis sudah. Aku berencana jika telah usai video call ini, aku mencari orang dalam yang bisa tahu seperti apa wujud neraka. Persiapan apapun percuma, kata orang-orang yang beragama timur tengah, neraka tak bisa dibayangkan. Isinya buruk semua. Kamu disiksa, tersiksa. Kamu tak akan kuat menahan derita. Kamu baru akan merasakan amarah Tuhan. Neraka adalah Maha-Tempat-Derita.

Ibuku terus berbicara. Aku melihat waktu. Sudah lebih dari 15 menit. Aku masih sibuk dalam diam. Mulutku terkunci. Anakku masih asyik makan mi goreng sisa. Istriku entah kemana, sepertinya pergi ke balkon dan menenangkan diri.

“KOK DIAM? KAMU KIRA IBU RADIO BODOL KAIN ROMBENG LAP PEL CUCI MOBIL KANEBO KERING..ING..ING..”

Aku tak sempat bertanya-tanya lagi dalam hati, eh Ibuku mematikan video callnya tiba-tiba.

Aku ternganga tiba-tiba hening telepon adalah sesuatu yang begitu asing. Aku keluar kamar. Mencari istriku. Dia masih terdiam, namun bukan lagi di pojokan.

Aku menyalakan rokok sebatang dan menghisapnya dalam-dalam.

Kupandangi wajahnya lalu berkata lirih: “Enak ya kamu, Ibumu telah lama mati..

2 respons untuk ‘Mom-ster

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s