Dua hari yang lalu saya mendapati salah satu postingan akun twitter yang isinya menyajikan suatu gambar hasil dari print screen tentang penolakan salah satu sanggar make up artist kepada konsumen yang beragama kristen.
“Maaf, sampai saat ini kami hanya melayani umat islam“.
Karena kecewa, calon pengantin yang tidak jadi dirias ini mungkin memposting entah di media apa, namun akhirnya “tertangkap akun twitter”, dan viral.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah sikap dari sanggar tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah perbuatan yang menyinggung SARA?
Baiklah. Dengan anasir yang sama coba kita bayangkan jika yang menolak itu adalah dokter? Tentu saja dapat dibayangkan bahwa dokter tersebut telah melanggar kode etik dengan menolak pasien berlainan agama dengan dirinya.
Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
kemudian:
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.
Dua butir yang menjadi bagian dari kode etik dokter ini menjamin tiadanya penolakan bagi sang dokter kepada pasiennya. Sepenuhnya dalam berpraktek dokter menggunakan azas-azas universal demi manusia, bukan demi umat islam, demi umat kristiani, atau demi orang dayak, atau demi keturunan arab.
Bagaimana dengan rias pengantin? Tentu saja karena profesi ini bukan dianggap profesi khusus yang memerlukan kode etik maka tidak terdapat ketentuan khusus yang mengharuskan setiap pelaku profesi ini menerima setiap orderan.
Menjadi masalah adalah ketika penolakan itu bukan dikarenakan jadual si makeup artist ini penuh sehingga sulit melayani pengguna jasa. Atau batal dikarenakan ketidaksesuaian harga. Penolakan ini dilontarkan secara jelas dikarenakan jadual rias dilakukan dua kali, saat pemberkatan dan saat resepsi.
Pemberkatan diartikan si makeup artist sebagai ritual agama nasrani. Si calon pengguna meluruskan, iya saya kristen. Lalu muncul kalimat dari si makeup artist: Maaf, kami tidak melayani selain umat islam atau kurang lebihnya demikian.
Penolakan itu dilakukan karena perbedaan agama.
Hal itu tentu saja tidak lazim.
Bagaimana rasanya jika kita membawa cucian kotor ke jasa laundry, lalu saat di depan penjaganya kita ditanya apa agamanya. Islam. Wah maaf, kami hanya menerima pakaian dari umat Hindu.
Pantaskah kita marah dan memaksakan kehendak untuk mendapat perlakuan yang sama dengan umat hindu yang biasanya mereka layani?
Apa yang seharusnya dilakukan oleh pelanggan atas penerimaan tidak pantas itu?
Terlalu berlebihan jika si calon pengguna jasa melaporkan penolakan ini menjadi delik perbuatan tidak menyenangkan dengan melaporkannya ke polisi, misalnya merujuk kepada Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP
“Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.”
Menjadi berlebihan karena tidak ada kekerasan yang dilakukan oleh sanggar tersebut. Fakta yang terjadi adalah penolakan secara halus, namun menyakitkan.
Bagaimana jika posisi makeup artist dan calon pengguna dilihat dari kacamata keperdataan. Hubungan hukum antara dua individu/ subyek hukum yang ingin mencapai kata sepakat. Lewat kacamata ini, akan lebih soft ditilik.
Si pemberi jasa ternyata selain mensyaratkan pembayaran atas jasanya, mereka mensyaratkan si pengguna jasa beragama yang sama. Mungkin alasannya karena profesinya adalah bagian dari ibadah. Bahwa dengan membantu pernikahan beda agama dianggap bukan bagian ibadah. Ini soal yang begitu subyektif. Ini semua dalam tataran “mungkin”.
Seharusnya sejak awal si makeup artist ini sudah memberikan keterangan dimanapun: “khusus melayani rias pengantin islam”. Jika ditanya alasannya, lebih baik menjawab karena hanya ahli merias wajah berkerudung.
Atau ketika mengetahui bahwa yang akan dirias bukan beragama islam, dia bisa saja berpura-pura menanyakan kembali jadualnya, dan bilang:
“Oh, maaf, saya keliru lihat tanggal di agenda saya, ternyata tanggal segitu sudah full, maaf.”
Ini sama halnya dengan tukang pijat yang pernah dibayar murah oleh pengguna jasa, maka ketika orderan datang kembali, ia akan menolaknya secara halus dengan mengatakan bahwa jadualnya penuh.
Patut juga disampaikan bahwa pemberi jasa makeup artist ini belum bersikap profesional dan memiliki bibit diskriminatif.
Si pemberi jasa juga punya hak menolak, hanya saja patut disayangkan penolakan yang dilakukan adalah secara jelas berdasarkan perbedaan agama. Ini adalah sikap SARA. Ada baiknya, seorang muslim sejati senantiasa menjaga perasaan orang lain.
Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam pernah bersabda,
إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً فَلَا يَتَنَاجَى رَجُلَانِ دُونَ الْآخَرِ حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ أَجْلَ أَنْ يُحْزِنَهُ
“Jika kalian bertiga maka janganlah dua orang berbicara/berbisik bisik berduaan sementara yang ketiga tidak diajak, sampai kalian bercampur dengan manusia. Karena hal ini bisa membuat orang yang ketiga tadi bersedih” (HR. Bukhari no. 6290 dan Muslim no. 2184).Islam menuntunkan kepada umatnya agar menjaga perasaan orang lain.
Ini pendapat saya. Bagaimana dengan pendapat kamu?