SUARA berkecap (bukan kécap), yaitu ketika seseorang mengunyah makanan dengan antusias tanpa mengatupkan bibir, alias dengan mulut terbuka. Suara itu muncul ketika lidah–yang basah–terlepas dari langit-langit mulut. Terdengar berulang, dan tentu saja nyaring.
Suara berserdawa. Setelah makan, gas terdorong keluar beserta aromanya. Dalam beberapa komunitas budaya, berserdawa adalah tanda kepuasan, kenikmatan dari bersantap, sekaligus ekspresi terima kasih kepada si pemberi makanan (karena sudah memberikan hidangan senikmat itu). Namun, ada sejumlah komunitas lain yang berpendapat sebaliknya. Begitu pula dengan suara menyeruput minuman.
Suara berdecak, tetapi bukan decak kagum, melainkan ekspresi rasa kesal. Kita pasti tahu bahwa seseorang sedang kesal, atau merasa tidak suka terhadap sesuatu jika dia berdecak. Tak hanya dari orang lain, kita sendiri pun bisa saja mengeluarkan suara tersebut tanpa sadar … dan membuat suasana jadi kurang nyaman.
Suara berdengus, yaitu ketika seseorang berusaha mengembuskan napas lewat hidung dengan keras dan kencang, seolah-olah ingin mengenyahkan sesuatu karena merasa gatal atau tidak nyaman. Bisa debu, rambut hidung rontok, upil, ingus, serangga, dan sebagainya.
Suara berludah dan mendahak. Tahu sendiri, kan, ya. Suara yang dihasilkan ketika seseorang berusaha mendorong sesuatu–lendir–dari area pangkal lidahnya. Tak ada yang salah dari aktivitas ini, selama tidak dilakukan secara terbuka di depan umum lengkap dengan hasil akhirnya.
Suara menyedot udara dari sela atau lubang gigi. Biasanya dilakukan setelah makan, ketika ada serat daging atau secuil sayuran kasar tersangkut di celah-celah gigi. Aktivitas ini dilakukan untuk mencopot potongan makanan tersebut dari posisi awalnya.
Suara mengembuskan napas lewat mulut untuk menyuruh diam, tidak berisik. Karena bertujuan untuk menghentikan kebisingan, suara “ssst…” tersebut justru terdengar lebih nyaring, dan justru menambah keributan. Makin keras embusan napasnya, makin kencang suaranya.
Bagi kita yang kerap terganggu dengan bunyi-bunyian tersebut, selalu timbul perasaan tidak nyaman yang sulit dijelaskan. Pokoknya tidak suka, saja. Apabila sudah tak tertahankan, kita pun bisa memberikan respons yang tak kalah negatifnya. Mulai dari ekspresi wajah, sekadar raut muka, sampai menegur yang bersangkutan.
Pertanyaan pertama: Mengapa kita terganggu?
Ada yang mengaitkannya dengan standar nilai dan kepatutan sosial, lantaran bunyi-bunyian tersebut dibuat dan didengar di ruang umum. Bagi pelaku, bunyi-bunyian tadi mungkin dianggap wajar karena begitulah kebiasaan yang terjadi di lingkungannya. Sebaliknya, bagi orang lain yang terpaksa harus mendengar, tindakan tersebut dinilai tidak sopan dan mengusik.
Sayangnya, penilaian yang demikian berpotensi menarik masalah lebih jauh; memunculkan ilusi derajat. Dalam lingkungan pergaulan modern masa kini, si pelaku bisa saja dianggap kampungan, tidak terdidik, berperilaku miring, berkelakuan jorok, beretiket rendah, dan menjadi cibiran lebih lanjut. Padahal, si pelaku mungkin tidak tahu bahwa kebiasaannya tersebut bukanlah sesuatu yang lazim bagi orang lain. Dia tak sepenuhnya salah dalam ketidaktahuannya tersebut.
Lalu, pertanyaan kedua: Bagaimana menyikapi perasaan terganggu itu?
Orang lain yang mengeluarkan suara, tetapi kita yang merasa terganggu dan merasa tidak nyaman. Wajar bila kita merasa sebagai korban, sebagai yang tertimpa dan berada di situasi tidak menyenangkan. Kita dibuat susah oleh suara, sementara si pemilik suara tersebut tetap bersikap biasa-biasa saja.
Apakah perasaan terganggu itu sedemikian penting untuk diperhatikan? Idealnya, akan lebih baik bila waktu, tenaga, dan perhatian yang kita miliki saat itu diarahkan kepada hal-hal produktif serta bermanfaat. Kalau tidak bisa, ya tidak apa-apa. Silakan beranjak, menyingkir dari situ. Sebab pada dasarnya kita tidak memiliki tanggung jawab moral untuk mendidik orang lain begitu saja. Lagipula, apa hak kita memberikan pengajaran kesopanan di depan umum?
Apakah sebaiknya kita lampiaskan dengan marah-marah, atau kita tinggalkan saja?
Kembali mengacu pada pandangan di atas, ada tenaga dan waktu yang kita curahkan saat marah-marah. Emosi dan suasana hati pun ikut berubah karenanya. Silakan ditanyakan kembali kepada diri sendiri, apakah hal itu berfaedah?
Meninggalkannya begitu saja merupakan salah satu respons yang alamiah. Sayangnya, hal ini tidak bisa dilakukan ketika Anda sama-sama terjebak dalam satu ruang dengan si pelaku. Beruntung ada earphone, yang bisa membantu kita terhindar dari bunyi-bunyian tersebut. Apabila tidak punya, ya, mohon maaf, saatnya kita mengamati batin kita sendiri.
Apakah kita mampu mengabaikannya? Pertanyaan ini relatif susah dijawab. Kemampuan mengabaikan sesuatu yang mengganggu memiliki beberapa dimensi. Termasuk aspek psikologis, dan kekuatan/kebebalan sendiri.
Dari perspektif psikologi, ketidaknyamanan itu disebut misophonia. Khususnya yang sudah mencapai kadar berat. Secara alamiah, orang-orang dengan misophonia akan mencari cara untuk terhindar dari gangguan bunyi tersebut. Ibarat berusaha melarikan diri, mereka akan merasa gelisah dan bisa saja memilih untuk keluar ruangan, mengenakan pengedap suara, atau mencari cara lain agar terpisahkan dari bunyi-bunyian tersebut berupa pengalihan. Termasuk dengan menutup telinga dan sambil bersenandung sendiri. Semua itu dilakukan sampai bunyi-bunyian berlalu.
Uniknya, para pemilik misophonia hanya terganggu apabila bunyi tersebut berasal dari orang lain. Dia tidak akan seterganggu itu jika bunyi yang sama berasal dari dirinya sendiri. Belum ada studi mendalam lebih lanjut tentang ini, dan misophonia baru dianggap sebagai bentuk sinestesia (tautan indra) antara suara serta perasaan. Kendati demikian, tercatat belum ada penyebab pasti dari munculnya kondisi misophonia tersebut.
Di sisi lain, pendekatan berbeda akan diambil oleh para meditator–orang-orang yang berlatih meditasi. Alih-alih mengalihkan perhatian, atau berkeras hati menahan ketidaknyamanan yang timbul, mereka akan berusaha melalui dan mengamati bunyi-bunyian tersebut. Hanya mengamati, menonton perubahan batin. Tidak semudah kedengarannya, memang, sebab pengamatan dilakukan dengan apa adanya. Tanpa menganalisis, tanpa menilai, tanpa membubuhkan apa-apa. Konon, di level paling halus, sang meditator dapat menyadari kemunculan sesuatu yang asalnya terasa netral, hingga kemudian berangsur-angsur berkembang menjadi perasaan tidak nyaman tersebut. Lewat proses pemahaman yang tepat, batin mereka tak lagi mudah digoyahkan oleh perasaan tak nyaman dari bunyi-bunyian tersebut. Tidak reaktif, tidak meledak-ledak. Kemunculan sampai hilangnya respons batin tersebut terlihat dengan gamblang. Ibarat Neo dari “The Matrix” atau Flash yang mampu menghindari peluru dan membiarkannya lewat tanpa perlu melakukan apa-apa.
Apabila tak lagi terganggu dengan suara–asupan indra pendengaran–tersebut, hidup kita sedikit lebih tenteram. Bukan lantaran menghilangkan sumber suara, atau menghilangkan perasaan maupun kemampuan merasa, melainkan kokoh, tak tergoyahkan. Energi dan perhatian pun bisa dialihkan untuk hal-hal lain yang lebih penting.
[]
“10 Annoying Sounds People Need to Stop Making”
“Mipsohonia: Triggers & Management”
agak penasaran kenapa, kentut ndak dimasukan sebagai bunyi bunyian yg mengganggu, terlebih kentut memiliki 2 faktor gangguan selain bunyi yaitu aroma.. walaupun sebagian orang memiliki “keahlian” meredam bunyinya walau tidak dengan aromanya,he..
SukaSuka
Karena secara alamiah, setiap orang pasti berusaha meredam bunyinya. Kecuali di ranah privat. Jadi, sama-sama sepakat kalau suara tersebut mesti dihindari. Hahahaha.
SukaSuka