SENDIRIAN di salah satu meja Starbucks depan halte Harmoni, pandangannya menerawang. Jelas, ia tak sedang menatap etalase gelas dan botol-botol minum yang terpajang di samping pintu, sebab pikiran dan kesadarannya sedang tak berada di situ.
Sama sekali tak terusik dengan orang yang berlalu lalang di depannya; yang menggeser-geser meja dan kursi di sebelahnya; yang naik dan turun tangga di sudut ruangan. Ia sepenuhnya tercerap dalam benaknya sendiri.
“Enaknya menulis tentang apa?” Ia membatin. Jelas tak mengharapkan munculnya jawaban seketika.
Lagu-lagu berbahasa Inggris soal Natal diputar sebagai latar. Maklum, sudah bulan Desember. Itu sebabnya pula, koleksi gelas dan botol-botol minum yang dijual di sana berhias ornamen setema. Sesekali menarik perhatian pengunjung, membuat mereka berdiri dan mengamati untuk beberapa lama. Ada beberapa di antaranya yang langsung membeli, ada juga yang harus pakai acara berdiskusi.
“Kamu ngapain beli? Buat apa?“
“Ya buat dipakai. Buat minum.“
“Kan tumbler-mu sudah banyak di rumah, masih bagus-bagus. Ngapain beli lagi?“
“Ini kan lucu. Edisi Christmas 2018.“
“Terus kenapa? Kenapa mesti beli?“
“Pengen punya.“
…
Mendengar potongan percakapan itu, dia berpikir bahwa adalah hak setiap orang untuk membeli apa pun yang ia inginkan. Asalkan punya uang yang cukup, dan barang tersebut memang tersedia dan memang dijual. Tak ada yang aneh dari realitas tersebut.
Namun, bagaimana dengan kegunaannya? Kadar manfaat dan pemanfaatannya, apa pun benda yang dibeli. Bagaimana dengan perihal kesia-siaan, kemubaziran, dan kekurang-bergunaan yang biasanya baru disadari belakangan? Bagaimana bila justru saking tidak bergunanya barang yang dibeli tadi, ujung-ujungnya malah menjadi sampah, rongsokan, yang bukan hanya membuang-buang uang, tetapi juga menyita tempat penyimpanannya, dan bahkan berpotensi menjadi limbah yang meracuni air, merusak lingkungan, sukar terurai.
Apakah seseorang bisa lepas dari tanggung jawab tersebut? Tanggung jawab atas apa yang ia beli, apa yang ia pergunakan, apa yang tak ia pergunakan, termasuk apa yang ia buang.
Apakah juga merupakan hak setiap orang untuk lalai dalam pengeluaran dan pengaturan keuangan? Jika demikian, seseorang semestinya juga hanya berhak untuk menyesali dan menyalahkan dirinya sendiri ketika tengah mengalami kekeringan finansial atau kurang uang.
Ia teringat akan ungkapan:
Membeli karena butuh, bukan sekadar ingin.
Ada guna, berguna, dan kegunaan di dalamnya.
Antara kebutuhan dan keinginan. Mustahil untuk dapat membahasnya dalam poin-poin kesimpulan yang sumir. Setiap orang memiliki segudang pertimbangan berbeda dalam mengkategorisasi hal-hal yang ia butuhkan, dan yang dia inginkan. Kendati di sisi lain, tak menutup kemungkinan ada orang-orang yang malah belum tahu atau belum mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Wajar saja, tak semua orang memiliki pemahaman, latar belakang sosial ekonomi, serta perilaku ekonomi yang sama. Apa yang dinilai penting bagi seseorang, belum tentu sepenting itu pula bagi seseorang lainnya. Hal ini memberi dampak pada pengalaman kehidupannya masing-masing. Kenyamanan dan keleluasaan, kesusahan dan kesempitan tentu dialami secara perorangan. Ada banyak faktor yang memengaruhinya pula.
Terlepas dari semua itu, terdapat beberapa hal yang disepakati bersama. Kita perlu uang untuk membeli sebagian besar barang keseharian; kita memperoleh uang lewat berbagai cara, termasuk bekerja maupun mendapatkan pemberian; dengan memiliki simpanan, kita cenderung leluasa untuk melakukan pembelian. Maka, saat kita membeli apa pun, itu artinya kita mempergunakan uang yang barangkali telah didapatkan dan kumpulkan lewat usaha.Tak elok bersikap kikir dan melekat, akan tetapi boleh-boleh saja untuk bersikap cermat. Orang Jawa menyebutnya dengan sikap éman-éman~ sayang. Seyogianya dipergunakan sebagaimana mestinya.
Di sisi lain, ada ungkapan berbeda yang terlintas:
We’re creating the demand. We make people buy things they don’t need.
Keberhasilan eksistensial sebuah perusahaan tergambarkan lewat omzet, aset, capaian, dan raihan. Semua diukur secara progresif, artinya selalu meningkat dari waktu ke waktu. Terus memberikan angka yang positif dan surplus, menghindari angka yang negatif dan minus. Lihat saja, angka target pasti selalu bertambah, setidaknya berupa persentase.
Begitupun dengan para pekerjanya. Seorang pemasar, atau tim pemasar yang baik, adalah yang mampu mendorong terjadinya peningkatan penghasilan. Tentu saja lewat peningkatan penjualan. Menggunakan berbagai cara, sudut pandang, dan pendekatan, mereka membuat orang menjadi ingin; mereka mengubah keinginan seolah-olah menjadi kebutuhan; mereka mendorong terjadinya penjualan. Itulah gambaran dasar dari sebuah kesuksesan profesional. Silakan refleksikan pada pekerjaan Anda saat ini.
Semua pekerjaan sejatinya adalah jual beli. Tak hanya barang serta benda-benda fisik, tenaga, suara, komunikasi, pemikiran, sampai identitas, dan jati diri. Selalu ada yang dipertukarkan. Seorang abdi menjual kepatuhan dan dedikasinya kepada sang tuan. Sang tuan membelinya dengan kepercayaan dan sejumlah imbalan.
Sama halnya dengan Anda dan perusahaan tempat Anda bekerja. Anda memang menjual produk dan jasa kepada orang lain, tetapi Anda pun sebenarnya menjual komitmen dan kemampuan kepada perusahaan, demi karier dan penghasilan rutin. Lihatlah secara netral dan apa adanya; apakah itu yang Anda butuhkan, atau inginkan?
…
“Jangan sampai terjebak dilema,” ia bicara dalam hati. Kemudian bersiap pergi. Dia lapar.
Selamat berbelanja.
[]