Salah satu kenangan masa kecil yang masih terpatri di ingatan saya adalah pergi ke pasar tradisional. Bersama ibu, saya pergi ke pasar tradisional di pagi hari untuk menemaninya berbelanja. Biasanya aktivitas ini kami lakukan di hari Minggu pagi atau hari libur, karena dari Senin sampai Sabtu saya pergi ke sekolah.
Tidak banyak yang saya lakukan, kecuali membawakan barang belanjaannya. Itu pun tidak terlalu banyak, karena waktu itu saya masih kecil. Padahal untuk ukuran anak di bawah 10 tahun, waktu itu berat badan saya di atas rata-rata. Toh tetap saja, karena masih dianggap anak kecil, jadi barang bawaannya tidak terlalu banyak.
Paling saya hanya mengamati ibu saya melakukan proses tawar menawar saat membeli bahan-bahan makanan atau kebutuhan pokok lainnya. Menawar tidak melulu membuat harga lebih murah. Bisa juga menawar artinya membayar dengan harga yang sama, lalu menambahkan kuantitas atau jenis bahan lain sebagai bonus.
Misalnya, ibu membeli bahan-bahan membuat sup ayam seharga lima ribu rupiah, lalu oleh penjual diberi tambahan kacang kedelai seperempat kilo. Meskipun kacang kedelai tersebut tidak masuk ke dalam bahan sup ayam, toh bisa digunakan untuk jenis makanan lainnya.
Demikian pula saat ibu memutuskan untuk membeli tahu dengan uang yang sama, bisa jadi irisan yang diberikan penjual lebih tebal dari biasanya. Tentu saja ini terjadi setelah proses tawar menawar.
Sebagai imbalan atas menemani beliau, biasanya sebelum kami mengakhiri semua proses berbelanja ini, ibu akan mengajak saya ke toko kue di dalam pasar. Itu pun setelah diwanti-wanti oleh beliau, “Jangan ke toko yang di sebelah situ. Yang di sini saja. Rasanya sama saja, tapi harganya lebih murah. Yang di sana menang merek.”
Atau bisa juga setelah itu dia menyuruh saya membeli beberapa bungkus nasi pecel untuk dimakan bersama-sama di rumah. Meskipun beberapa kali saya memilih makan di tempat, karena sudah terlalu lapar.
Selain ke pasar yang menjual bahan masakan dan makanan, ibu saya juga pernah berdagang batik. Yang selalu saya ingat adalah betapa giatnya ibu saya menembus berbagai lorong Pasar Klewer di Solo yang gelap dan membingungkan, untuk sekedar mencari batik dengan kualitas terbaik dan harga yang murah. Kalau sudah begitu, ibu tidak mau ditemani. Baginya malah semakin repot mengurusi anak kecil yang mudah lapar karena kepanasan di dalam pasar.
Solusinya? Saya “dititipkan” di pedagang di pasar tersebut. Waktu itu ada salah satu tempat penjual majalah bekas di sebuah sudut di pasar ini. Letaknya di depan toko emas. Majalah yang dijual sangat banyak. Setiap ibu akan mulai menjalani aktifitasnya mencari batik, ibu selalu berkata, “Kamu di sini saja ya. Nanti dijemput satu jam lagi. Paling lama 1,5 jam.” Saya mengangguk. Waktu itu belum ada ponsel atau pager, sehingga kami saling percaya saja terhadap satu sama lain.
Lalu saya mulai membaca majalah-majalah yang ada. Kalau bosan, saya mengobrol dengan penjualnya. Kadang ikut merapikan dagangannya. Kalau dia perlu ke kamar kecil, saya ikut menjaga tempat jualan majalah itu. Setelah satu atau 1,5 jam, ibu akan menghampiri saya, lalu membayar majalah-majalah yang mau saya beli. Biasanya bapak penjual akan memberi bonus satu majalah tambahan.
Pasar Klewer sudah berubah saat saya berkunjung ke sana tahun lalu. Tidak ada lagi tempat penjual majalah bekas. Demikian pula pasar tradisional di kota kelahiran saya. Bentuknya sudah lebih modern. Ibu masih pergi ke pasar, sementara saya hanya mengunjungi pasar tradisional kalau pergi ke luar kota yang, menurut saya, pasar tradisionalnya masih menarik untuk dikunjungi.
Yang membuat saya selalu kangen dan ingin pergi ke pasar adalah proses interaksi langsung antara sesama manusia. Secara langsung, ibu saya mengajari the art of persuasion saat melakukan tawar menawar. Mulai pura-pura pergi menjauh saat harga yang kita ajukan ditolak dulu, lalu mendekat lagi saat penjual setuju dengan harga yang kita mau, sampai mendapatkan lebih dari apa yang kita perlu. Pergi ke pasar juga melatih kita menganalisa manusia. Mana penjual yang jujur, mana penjual yang suka menipu. Mana pembeli yang mau membeli, mana pembeli yang sekedar melihat-lihat saja.
Tentu saja sekarang kita sangat dimudahkan dengan bertransaksi tanpa harus bertemu muka. Lebih cepat, lebih praktis, lebih efisien. Hanya saja kita perlu ingat, bahwa selalu ada manusia lain di balik akun penjual di mana kita melakukan transaksi. Thus, we shall never forget that we need to communicate with them just like how we talk to fellow people.
Dan kalau di sekitar Anda ada pasar, pergilah ke sana. Mungkin kita sedang tidak perlu banyak barang saat pergi ke sana. Tapi, siapa bilang kalau pergi ke pasar hanya membeli barang saja?
Go, and experience the wonders.
Untung hiatusnya gak lama ya Mas. Hahaha
Terima kasih byk sudah berbagi ttg hal sederhana tapi tetap ttg “perlu lebih banyak hati”.
Penasaran itu foto-fotonya memang sengaja bentuknya begitu Mas :))
SukaSuka
Masih semi-hiatus ini, hihihi. Foto-foto itu emang saya ambil dalam format vertical. Tadinya mau buat di Instagram, tapi kayaknya lebih pas sama tulisan ini.
SukaSuka