PERTAMA kali bekerja saat masih kuliah semester 3, ada satu nasihat—barangkali sebuah teguran—dari bos waktu itu. Lumayan bikin bingung.
“Kamu jangan terlalu akrab sama anak buah. Kerja yang betul.”
Sempat bertanya-tanya. Apa hubungannya antara bersikap akrab di lingkungan kerja—khususnya kepada bawahan—dan bekerja yang baik dan benar?
Apakah bergaul akrab bisa membuat seseorang tidak dapat bekerja dengan baik?
Apakah berpengaruh terhadap efektivitas dan efisiensi pekerjaan?
Apakah bisa menghambat pencapaian target?
Apakah berpengaruh negatif terhadap KPI?
Apakah merugikan perusahaan?
Mulanya, kesan yang tertangkap dari nasihat di atas adalah prasangka, kecurigaan, dan ketidakpercayaan dalam hubungan sosial. Kendati bersifat negatif dan seyogianya dihindari, semua orang tetap berhak bersikap demikian sampai berubah pikiran sendiri. “Namanya juga si bos. Mungkin dia memang begitu orangnya,” saya membatin.
Seiring waktu dan beberapa kali berganti pekerjaan, nasihat tadi makin terasa ada benarnya. Walaupun tidak berlaku mutlak, ada kalanya kita mesti menyadari situasi dan bertindak tepat agar tetap fokus menjalankan tanggung jawab yang diemban. Termasuk dengan membatasi diri dari keakraban yang melenakan, atau bahkan menghambat pekerjaan.
Hal ini cukup pelik. Mengingat setiap orang punya perangai yang berbeda. Begitu pula ketika bekerja. Baik sebagai pemimpin maupun yang dipimpin tentu memiliki gaya dan preferensi masing-masing. Ada pemimpin yang hanya tahu memberi perintah dan memarahi, ada yang suka berdiskusi dan mendengar masukan dari bawahannya, ada yang tegas tetapi tidak arogan, dan sebagainya.
Tak sedikit contohnya seseorang yang terkenal tidak luwes, tidak bisa ditawar-tawar, bersikap masa bodoh dengan keadaan orang lain dalam hal pekerjaan, tetapi selalu berhasil memberikan kualitas yang terbaik. Yang kemudian justru membuat banyak orang beranggapan bahwa ketegasan dan ketidakluwesan adalah ciri khas profesionalnya. Tentu saja selama masih dalam batas kewajaran.
Di sisi lain, ada pula bawahan yang harus selalu diarahkan, ada yang harus selalu diingatkan supaya disiplin, ada yang perlu diberi ruang berinisiatif demi memaksimalkan kemampuannya, ada juga yang manipulatif dan cenderung memanfaatkan situasi. Kalau begini, setiap orang memerlukan perlakuan berbeda-beda terkait profesionalismenya. Ada yang cocok diakrabi seperti teman sendiri, ada juga yang lebih baik dihadapi seperlunya saja biar tidak berpotensi mengganggu.
Akan selalu muncul pertanyaan, apakah memang sebaiknya begitu? Menciptakan jarak sosial dengan para pekerja secara sengaja dan konsisten, demi menjaga suasana profesional dan menghindari penurunan efektivitas kerja. Lagi-lagi, jawaban akan tergantung siapa penanyanya, serta apa yang telah dialaminya.
Mereka yang suka bergaul, supel, outgoing, dan berjiwa sosial tinggi, bisa saja agak kesulitan untuk bersikap atau mencitrakan diri sebagai individu yang dingin dan kaku. Sementara sebaliknya, orang-orang berpembawaan tak acuh, tanpa basa basi, dan efisien, bisa menciptakan jarak sosial dengan mudah.
Untuk pertanyaan yang satu ini, entah sudah ada berapa banyak konsep dan teori manajemen yang bisa diterapkan. Namun, satu hal yang pasti, bahwa setiap orang memiliki perangai, pembawaan, dan penerimaan yang beragam. Tidak menutup kemungkinan pula, ada sekelompok orang yang memiliki etos kerja tinggi, tetapi ada pula yang cenderung oportunis dan mau enaknya sendiri. Dari dua kategori ini, kelompok pertama relatif memahami arti profesionalisme dalam bekerja, sedangkan mereka di kelompok kedua malah berusaha untuk memanfaatkan celah pada pimpinannya, atau sebut saja … memanfaatkannya.
Sangat tipis dan riskan jeblos. Sikap ramah dan bersahabat, atau mudah berakrab-akrab ria antara pemimpin dan pekerjanya bisa berujung tak sesuai bayangan awal. Keramahan, keterbukaan, tenggang rasa dan toleransi, serta sikap mau kurang lebih membuat si pemimpin seolah-olah kehilangan cakar. Dia dianggap sepele oleh pekerjanya, benar-benar diperlakukan layaknya kawan bermain, sehingga ada profesionalisme dan etos kerja yang menurun. Jika sudah begini, dan sang pimpinan bersikap tegas kembali, para anak buah pun menganggapnya sebagai bentuk arogansi dan ketersinggungan. Dari yang sebelumnya asyik, berubah jadi ribet dan menyusahkan.
Dilema?
Pada akhirnya, silakan dipilih: reputasi sosial, atau reputasi profesional.
[]
Kalo buat saya lebih penting dikenal memiliki reputasi profesional. Berpotensi dapat kesempatan kerja yang lebih baik.
Bisa friendly dengan bawahan, provided para bawahan ini self-starter dan cukup dewasa untuk memilah antara pertemanan dan urusan kerja.
Tapi ya… mending cari teman di luar kantor saja lah. Lumayan kan, buat variasi?
SukaSuka
Pengin banget belajar, atau bisa menjadi seseorang yang profesional, tetapi tetap friendly dan asyik di lingkungan kerja. Cuma, ya kembali lagi, kita tidak bisa menyenangkan semua orang sekaligus, kan? Hehe.
Terima kasih.
SukaSuka