BILA mengacu pada tulisan saya sebelumnya, entah, apakah saya masih kompeten dan berhak berbicara tentang topik yang satu ini, atau sebaiknya menelan semua unek-unek dan diam saja. Pasalnya, ini tentang praktik jurnalisme arus utama (mainstream) di Indonesia, serta risiko terjadinya persepsi bias. Soalnya, saya bukan lagi seorang jurnalis, pun bukan pekerja di bidang ini.
Urusan LGBTIQ dan jurnalisme. Mulai definisi dan batasannya, spektrumnya dalam pandangan psikologi, sampai kepada orang-orang yang berkenaan dengannya, baik para pemilik preferensi seksual tersebut maupun para heteroseksual simpatisan. Barulah kemudian pemberitaan yang dilakukan berpijak pada pemahaman-pemahaman itu, demi menghindari bias dan pengarahan persepsi massa ke kekeliruan.
Tulisan ini tidak mengarahkan pada pembelaan atau penolakan LGBTIQ, atau kembali menanyakan apakah LGBTIQ itu salah atau tidak salah, beserta semua alasannya. Namun, lebih fokus pada praktik jurnalisme yang berbobot dan berwawasan, bebas bias, profesional, dan manusiawi.
Berawal dari sini.
Seorang wartawan di Balikpapan—atau barangkali Samarinda—salah mengutip pernyataan narasumbernya yang pegiat hak-hak perempuan, dan termasuk advokasi LGBTIQ. Intinya, wartawan menulis bahwa sang narasumber seolah-olah mengidentikkan praktik pedofilia dengan homoseksualitas. Padahal, tidak.
Meskipun akhirnya diralat, kesalahan pengutipan ini tetaplah sesuatu yang tak sepantasnya terjadi dalam praktik jurnalisme. Baik secara tidak sengaja—karena tidak teliti membaca, menyimpulkan dengan asumsi, keliru konteks, atau memang minim referensi—apalagi kalau disengaja, dan melibatkan peran redaktur sebagai penyunting isi sebelum publikasi.
Kesalahan pengutipan adalah satu hal. Sedangkan isi artikel berita itu sendiri—sinyalemen bahwa homoseksualitas harus ditindak hukum supaya menghindarkan terjadinya pedofilia; yang secara tak langsung membentuk asumsi bahwa pedofilia selalu dilakukan oleh homoseksual—tentunya merupakan hal yang berbeda. Semestinya dibahas terpisah.
Salah Kutip
Pengumpulan dan pengolahan data, hingga penyajiannya dalam bentuk berita berada di aspek teknis. Bisa dilatih, ditingkatkan, dan dipertajam sampai membentuk karakter individu yang khas. Demi menghindari kesalahan kontekstual, para pewarta pun menggunakan notes dan perekam yang dipegang olehnya sendiri. Dalam kasus di atas, syukurnya wawancara tercatat oleh kedua belah pihak lewat percakapan digital. Narasumber bisa menunjukkan pesan yang ia sampaikan di awal, di sebelah hasil tulisan. Lazimnya, si pewarta harus disanksi, dan untuk kembali belajar kemampuan dasar jurnalistik. Redakturnya pun bisa ditegur, agar lebih mendalami tulisan dan poin yang disampaikan, tak sekadar memperbaiki tipo dan tata bahasa.
Asumsi Tindak Pedofilia
Di sisi lain, berkenaan dengan konten yang disampaikan dalam berita itu sendiri. Artikel di atas membicarakan tentang kejahatan seksual dan prosedur hukum sebagai alternatif penanganannya, tetapi menempatkan pedofilia dan homoseksualitas sama-sama sebagai tindak kriminal.
Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia yang konservatif, tidak ada yang keliru dengan kalimat di atas. Pedofilia dan homoseksualitas beserta seluruh komponen LGBTIQ ialah kesalahan, jadi seharusnya ditindak. Titik. Sentimen ini menjadi opini populer, diiyakan oleh banyak orang melalui beragam sudut pandang. Terutama narasi agama. Berita keliru kutip di atas pun tetap dapat diterima oleh mayoritas pembacanya dengan baik, tanpa kritik maupun penolakan.
Selebihnya, setiap pendapat yang berseberangan pun akan dianggap sama salahnya; “Pokoknya, kalau kamu tidak anti dan menolak LGBT, berarti kamu mendukung mereka, dan jadi bagian dari mereka.” Dengan tulisan ini, misalnya, bisa saja Linimasa dianggap sebagai blog yang mendukung aktif LGBTIQ. Saya pun mungkin dikira atau diduga seorang homoseksual. Pandangan monokromatik semata.
Dari kasus di atas, tentu akan lebih mengkhawatirkan apabila artikel di atas ternyata dihasilkan oleh pewarta dan redaktur yang berpandangan konservatif, termasuk dalam kelompok masyarakat yang mengelompokkan pedofilia dan homoseksualitas di “kotak” yang sama: kejahatan.
Tak menutup kemungkinan, si pewarta dan redaktur sama-sama beranggapan bahwa sang narasumber—seorang tokoh publik—pasti sependapat dengan mereka dan anggapan kebanyakan orang. Sehingga mereka salah membaca pesan di WhatsApp, serta menganggap ketidakcocokan tadi hanya salah ketik. Atas dugaan ini, wajib dipastikan langsung kepada si pewarta dan redakturnya.
Namanya juga jurnalistik arus utama, yang salah satu prinsipnya adalah fakta serta kondisi apa adanya dengan mempertimbangkan banyak aspek. Contohnya, pedofilia termasuk kriminalitas berupa aksi seksual terhadap anak kecil, dan telah tertera dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sementara homoseksualitas tidak tergolong kejahatan pidana. Sejijik atau setidak suka apa pun si wartawan dan redaktur atas realitas hukum ini, tidak sepatutnya ditumpahkan dalam produk berita mainstream.
Lain halnya jika artikel tersebut dimuat dalam media komunitas, terafiliasi pada agama tertentu, atau pun mengusung tujuan khusus, dan secara terbuka menyatakan sikap menolak LGBTIQ. Contohnya, mustahil bagi penyusun buletin mingguan di gereja, atau redaksi mading di universitas Islam menyuguhkan berita legalisasi pernikahan homoseksual di Taiwan baru-baru ini. Kalaupun dimuat, akan cenderung dibarengi kecaman dan ancaman keagamaan.
Begitu pula gejalanya kala membahas soal agama.

Lalu, apa yang sepatutnya dilakukan guna mencapai praktik jurnalisme bebas bias tentang topik ini?
- Dimulai Dari Atas
Pola kerja dan arahan kepada pewarta maupun redaktur berasal dari pemimpin redaksi, serta dewan senior yang ada di belakangnya. Setiap perusahaan pers dan manajemennya berhak menentukan posisinya terhadap isu LGBTIQ, baik ditinjau dari sisi bisnis maupun idealisme yang diusung.
Berlabel media massa umum dan mainstream, idealnya berlakulah netral dan berupaya menjunjung tinggi profesionalisme dan kemanusiaan. Setidaknya sampai ada pernyataan resmi bahwa perusahaan tersebut anti LGBTIQ. Agak percuma memiliki reporter dan editor yang netral terhadap hal tersebut, bila atasannya bertentangan.
Di manakah posisi Dewan Pers, dan organisasi-organisasi wartawan yang ada? Sejauh ini, Dewan Pers mensyaratkan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sebagai standar profesi. Hanya saja tidak terlalu spesifik, dan selanjutnya bergantung pada kapasitas individu.
- Pemetaan Personel
Pendapat mengenai LGBTIQ masuk di ranah pribadi. Setiap orang berhak menentukan posisinya masing-masing: mendukung, simpatik, netral, menolak, benci. Berkaitan dengan mata pencarian, pemecatan atau dorongan untuk mengundurkan diri terasa kurang elok.
Makanya, akan lebih baik apabila para pemimpin redaksi mengetahui posisi personel-personelnya, dan terhindar dari produk berita berpolemik akibat menugasi orang yang kurang tepat. Lebih baik ditanya langsung, tak perlulah mengintai akun media sosialnya.
- Bimbingan dan Panduan
Perihal LGBTIQ bersifat majemuk. Tak hanya sudut pandang agama, mesti pula memerhatikan ilmu kedokteran, psikiatri, psikologi modern, sosiologi, kriminologi, politik, dan berbagai disiplin ilmu lain saat membahasnya.
Pekerja pers pun berasal dari beragam latar belakang dan kadar pemahaman, sehingga wajar memerlukan pengenalan, dan sosialisasi dari para ahlinya. Bisa pula berlanjut pada proses bertukar pikiran dan berdiskusi untuk berusaha saling memahami, bukan untuk memengaruhi, atau mengelabui. Wartawan harus tahu lebih banyak, sebab dari tangan merekalah informasi menjangkau khalayak.
Tak ada salahnya menyusun panduan peliputan dan pemberitaan tema-tema terkait LGBTIQ. Bukan dijadikan tambahan peraturan, melainkan bahan pengaya hasil warta. Biar makin tahu, dan tidak terperosok dalam kekeliruan berdampak masif. Baik di Jakarta, markasnya media-media massa berprivilese nasional, terlebih lagi di daerah. Ya… seperti contoh kasus di atas tadi.
[]