NOTIFIKASI pesan WhatsApp mencuat di layar ponsel waktu bus TransJakarta baru naik jalur Flyover Pesing, Sabtu siang kemarin. Kirain ngajak ketemuan, ternyata bukan.
Lebih menarik, malahan.
Sebagai seorang Tionghoa, yang kebetulan juga antusias terhadap tulisan Cina, permintaan teman dari Samarinda tadi terasa menggoda untuk ditindaklanjuti. Bisa dengan mengamati aksaranya satu demi satu, mencari kesamaannya, kemudian menyusun dan mencoba membacanya.
Sempat lihat pesan WhatsApp-nya sekali lagi, dan tertahan di bagian ini.
Terpikirkan sesuatu, dan merasa sudah bersikap sok tahu.
…
Tidak pernah mengambil pendidikan bahasa Tionghoa atau belajar secara formal, pengetahuan dan pemahaman saya mengenai topik tersebut tentu tidak sekomprehensif adiknya si teman, yang jelas-jelas telah bersekolah di sana sampai mendapat gelar sarjana.
Dengan demikian pula, kebisingan saya tentang tulisan Cina selama ini boleh-boleh saja dibilang sekadar pencitraan.
Melalui media sosial, blog, termasuk di Linimasa ini, saya mencitrakan diri seolah-olah cukup tahu dan berilmu. Padahal ketika melafalkan atau diajak bercakap-cakap dalam bahasa Tionghoa, saya belum tentu bisa. Intonasinya keliru, perbendaharaan kata yang sedikit, tetapi lumayan luwes menulis aksaranya lantaran gemar coret-coret sejak kecil.
Orang Indonesia pun terbiasa menanggapinya pakai celetukan: “Halaaah… Kamu tahu apa sih?”
…
Kapasitas personal, dan validasi kemampuan. Dua konsep ini yang dijadikan standar kepantasan seseorang dalam berpendapat dan bertindak. Sri Mulyani, misalnya. Dia mempunyai legitimasi berbicara perkara kondisi ekonomi negara karena kapasitasnya adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia (RI). Jabatan dan rekam jejaknya sejauh ini pun bisa digunakan memvalidasi argumentasi-argumentasinya.
Wajar bila Sri Mulyani diberi podium-podium untuk berbicara tentang ekonomi. Pernyataannya bisa dikutip dan disebarluaskan ke publik, maupun didiskusikan selepasnya.
Di samping itu, semua orang memang berhak untuk bersepakat atau justru menolak pernyataannya. Namun, tatkala ketidaksetujuan muncul, maka seyogianya tetap dilandasi dasar dan alasan yang konkret. Mengingat tentangan itu disasarkan kepada kapasitas dan ketokohannya. Baik sebagai menteri, atau pun sebagai pakar ekonomi.
Fair, kan?

Di sisi lain, bolehkah Sugeng, seorang tengkulak bawang (nama dan pekerjaan cuma reka-reka) berbicara tentang kondisi ekonomi Tanah Air? Boleh! Dia bebas berbicara sampai sejauh topik kebijakan fiskal dan moneter Indonesia kalau mau, tetapi kerangka referensi yang dipakai Sugeng tentu berbeda dibanding ibu menteri. Kapasitasnya sebatas masyarakat awam yang tetap patut didengarkan, tetapi bukan penyusun kebijakan.
Sri Mulyani dan Sugeng sama-sama warga negara, memiliki kesetaraan hukum dan kesempatan berbicara yang sejajar. Hanya saja, mengacu pada kapasitas personal dan validasi kemampuan di bidang ekonomi, sangat wajar apabila respons dan jawaban Sri Mulyani untuk banyak pertanyaan bisa lebih dipertanggungjawabkan.
Masalahnya, orang-orang yang memiliki kapasitas personal dan tervalidasi, sepertinya malah irit bicara.
…
Lalu, bagaimana dengan contoh kasus saya di atas? Apakah saya terus saja berbicara dan menawarkan pandangan tentang tulisan Cina tadi, atau sebaiknya menyerahkan pembahasan kepada ahlinya (bila ada)? Toh, saya sendiri pun belum mampu menjamin bebas dari kekeliruan, dan bebas dari potensi informasi bohong.
Ini baru soal tulisan Cina, yang dampaknya barangkali bisa dihitung minim. Belum lagi masalah Buddhisme dan konsep-konsepnya (saya bukan Pandita atau Dhammaduta); budaya Tionghoa dan teori-teorinya (saya bukan pakar budaya atau sarjana antropologi budaya); kehidupan masyarakat di Samarinda (saya hanya warga biasa, bukan figur tokoh); topik-topik sosial dan humanistis; serta bahasan lain yang kerap saya angkat via media sosial dan blog.
Di sinilah pentingnya kecermatan mendengar, kejelian mencerna informasi, kritis dan cakap membangun landasan berpikir, berani berdiskusi—bukan berdebat, serta mampu dan mau bersikap adil.
Siapa yang berhak berbicara? Siapa saja. Dibarengi kewajiban berlaku patut; tidak berdusta, tidak berniat menjatuhkan atau mencelakakan, tidak menghina dan merendahkan, tidak sombong dan berbesar hati apabila sanggup, serta menjawab sebenar-benarnya ketika ditanya.
Selanjutnya, para pendengar pun berhak setuju atau tidak dengan yang disampaikan oleh orang lain, atau bahkan tidak peduli sama sekali. Asal tetap dibarengi kewajiban berlaku patut; tidak mengada-ada (ikut-ikutan reaktif padahal belum mendengar sendiri), tidak menghina dan merendahkan pendapat yang berbeda, serta selalu memiliki alasan atau dasar yang jelas. Tidak membabi-buta, dan mau bertanya, bukan asal menyimpulkan atau berasumsi.
Kan, lebih enak kalau bisa saling bicara… Ngobrol, ya ngobrol aja…
[]
Itu dia, prinsip berlaku patut, menjadi satu kewajiban ketika berpendapat atau menerima pendapat. Jika tidak menerapkan prinsip itu, habis sudah nasib mereka yang keliru tentang pendapatnya.
SukaSuka
Kalau pendapatnya benar, tidak jemawa. Kalau pendapatnya salah, menerima masukan dan legowo.
SukaSuka
bossque….:3
SukaSuka