Siapa sangka, cara menonton film pada akhirnya adalah berlangganan via internet. Bahkan sekelas bioskop yang menjadi tumpuan utama laris-tidaknya sebuah film dirilis harus mempercantik toilet dengan lampu sorot yang membuat kita para lelaki merasa 50% pipis dan setengahnya lagi merasa sedang konser tunggal. Juga mau ndak mau pengelola bioskop berjualan penganan ringan, kudapan dan pernak-perik film demi menambah pemasukan. Sebelum film dimulai, iklan juga bertaburan di layar perak. Sehingga bioskop bukan saja sebagai tempat pemutaran film, namun juga semi restoran, tempat hiburan, dan media iklan. Dulu, saat saya masih berseragam merah putih, nonton filem juga dapat dilakukan melalui pemutar vidio dalam ukuran betamax. Kemudian ada versi VHS. Saat saya bertandang ke rumah Pakdhe di Jakarta saya disuguhi film dalam format Laser Disk. Ini menarik karena jaman itu kalimat semacam “laser disk ndak bisa disensor“, adalah kalimat indah bagi telinga bocah lelaki nanggung yang sepadan dengan para pekerja yang mendengar kalimat “duit gajiannya uda masuk“. Bagi saya yang menyukai penyewaan kaset vidio karena disana ada pahlawan jagoan seperti Gaban, Sarivan, dan Lion Man serta dimana sendal bertebaran di dekat keset welcome menandakan ada pemutaran film paling anyar di dalam rumah, maka munculnya netflix di era kekinian adalah suatu anugrah. Kita disuguhi semua film, termasuk kategori yang telah rapi ditata. Nonton sebentar, bosan, boleh pilih film lain. Bedakan dengan nonton bioskop. Bosan sedikit mau kemana? Juga bedakan dengan sewa kaset betamax. Bosan, harus tukar dan itu perlu jarak dan waktu tempuh. Zaman betamax, kalau kasetnya sudah dipinjam orang lain, kita kudu antre. Bedakan dengan era streaming. Mau yang nonton jutaan orang secara bersamaan, tak ada masalah. Selain kemudahan menonton dan kurasi film yang cukup mumpuni, Netflix juga menyajikan film dokumenter yang menakjubkan. Mana mungkin kita menonton film dokumenter di bioskop, kecuali film G30SPKI atau pada saat digelarnya festival film. Beberapa sajian film dalam layar internet juga diberikan oleh Viu dan beberapa situs indi yang memanjakan para penggemar drama korea, termasuk istri saya. namun tak ada film dokumenter disana. Bisa jadi ada, tapi jarang. Saya sungguh menikmati film dokumenter. Apalagi film dokumenter yang bercerita soal kehidupan pesohor namun dari kacamata lain. Kisah Nina Simone dalam film “What Happened, Miss Simone?” dari kacamata respon atas tindakan opresi negara atas perbedaan warna kulit di masanya. Hal ini sama-sekali tidak ditemui dalam kisah Quincy Jones dalam film “Quincy“. Nina Simone merasa hitam dan sadar atas kehitamannya dia banyak menderita dan menerima pil pahit. Hal ini berbeda dengan Quincy. Ia justru menaklukan perbedaan warna kulit. Ketiga istrinya adalah “white”. Satu perempuan Swedia dan dua lainnya warga Amerika. Rupanya bagi sesama kulit hitam pun perbedaan isu warna kulit tidak sama rata dirasa. Bahkan Quincy memimpin orkestra bagi Sinatra. Siapa sih kulit hitam yang senang orkestra? Mungkin banyak. Tapi siapa yang berhasil memimpin orkestra, dan menaklukan dunia musik Amerika? Inilah sejatinya persoalan hidup. Satu peristiwa besar sekalipun belum tentu dirasakan hal yang sama oleh setiap manusia. Gempa Bali, bagi yang tidur di hotel bintang lima di Surabaya, maka gempa itu adalah sekadar goyangan belaka. Gempa ini bisa jadi bahan perbincangan baginya saat kembali bekerja di Jakarta. Sedangkan bagi seorang pria yang tewas di Madura karena tertimpa rumahnya yang roboh, gempa Bali bukan hanya goyangan, tapi berhasil mencabut nyawanya. satu peritiwa, gempa, namun berbeda rasa. Banyak perspektif dalam setiap peristiwa. Inilah sejatinya kehidupan paralel yang sesungguhnya. Banyak kotak hikmah. Tinggal pilih mau pilih kotak yang mana. Bagi Rothschild, waktu krisis ekonomi adalah waktunya panen raya, karena pada saat itulah dirinya yang memiliki simpanan uang dan emas bisa dengan leluasa membeli properti dengan harga murah. Tapi bagi orang lain, krisis adalah hilangnya pekerjaan dan perubahan nasib ke arah yang lebih buruk. Sama halnya seperti macetnya kota Bandung. Bagi warga lokal, ada yang menganggapnya sebagai fenomena buruk dari serbuan warga Jakarta yang cari hiburan di Bandung. Bagi sebagian lain, macetnya Bandung yang diserbu warga Jakarta adalah kesempatan ekonomi untuk menawarkan sesuatu. Penginapan, makanan atau hal lain yang bernilai ekonomis. Tuhan itu satu, agama saja yang membuatnya berbeda. Sama halnya dengan peristiwa. Dia pun hanya satu, namun tinggal bagimana kita meresponnya. Kesempatan pun bisa jadi tidak akan datang dua kali, karena mungkin setiap hari datang. Namun, kitanya saja yang tak menyadari.
salam anget,
QuincyRoy