“Kalo mau lulus ujian Bahasa Indonesia, banyakin isi TTS.”
Itulah pesan Bapak suatu kali ketika saya menghadapi ujian Bahasa Indonesia. Pesan yang hingga saat ini sering saya lakukan tiap Kamis dan Minggu. Maklum saja, pada hari-hari itu, beberapa media cetak seperti koran selalu menghadirkan TTS di satu halaman.
Mulanya, TTS atau yang sering biasa disebut Teka-Teki Silang hadir karena pada tahun 1913 sebuah perusahaan di Amerika Serikat membutuhkan permainan yang membuat karyawannya bahagia. Sebab, direktur itu menilai karyawannya banyak yang suntuk bahkan tidak fokus dalam menyelesaikan pekerjaan.
Arthur Wynne adalah pemuda brilian yang menciptakan permainan itu. Dia ditunjuk oleh direkturnya membuat permainan yang unik. Kemudian, ia merancang sebuah permainan. Permainan seperti teka-teki. Mengisi dalam beberapa kotak. Ada yang tersusun secara menurun dan ada yang mendatar. Dia berhasil membuat para karyawan bahagia. Lalu, permainan itu populer.
Akhirnya, salah satu media cetak ternama di Amerika Serikat, New York Times menduplikasikan permainan itu ke halaman khusus. Rubrik TTS. Mereka membuat tatanan baku. Minimal harus ada tiga huruf yang terisi pada kotak.
Seiring berjalannya waktu, tidak harus tiga. Bahkan, dua huruf pun boleh. Dan itu bisa kita lihat pada TTS di media cetak hari ini.
Mulanya, saya hanya melihat kesibukan Bapak menyelesaikan TTS saban Minggu siang. Mengisi dan menyusun kata demi kata agar bisa tersusun dengan baik. Saya pun nimbrung.
Melihat saya yang sepertinya ingin mencoba mengisi TTS, Bapak langsung memberikan koran itu kepada saya. Memberikan satu kata. Kotak berjumlah lima. Dengan kotak ketiga berhuruf T.
Petunjuknya, tiga mendatar. MATA. Saya berpikir keras. Apa ini maksudnya? Lima huruf yang ada hubungannya dengan mata dan ada huruf T di kota ketiga.
Karena saat itu belum zaman bertanya kepada Mbah Google, saya mencoba mencari di tumpukan koran yang berada di meja. Ketika saya akan meraihnya, bapak menahan tangan saya.
“Gak boleh, kamu harus berpikir. Coba, kira-kira kata apa yang berhubungan dengan mata.”
Saya berpikir. Cukup lama. Wong, hampir lebih dari 15 menit. Dan hasilnya nihil. Saya pun tak bisa mengisi kotak itu.
Bapak hanya tersenyum. Kemudian berkata,
“Makanya banyak baca. Apa pun itu. Ga hanya baca koran atau buku. Ga semua yang ada di situ, bisa membantu kamu mengisi TTS. Bisa aja dari kertas di botol obat atau dari iklan di tiang listrik, kamu bisa menemukan kata yang jarang terdengar.”
Saya termenung. Hanya bisa menundukkan kepala. Kemudian, Bapak mengambil pulpen dan mengisi kotak yang saya pikirkan.
NETRA.
Brilian! Saya kagum sekaligus heran. Kok ya saya ndak kepikiran dengan kata itu. Dalam pikiran saya, mata berhubungan dengan bulu, lensa, atau kelopak. Ga pernah terpikir untuk menyebut kata netra.
Padahal netra dari kata tuna netra. Orang yang tidak bisa melihat. Dan itu identik dengan mata.
Semenjak itu, agar mahir dan menguasai banyak kata, saya selalu mencoba mengisi TTS. Walaupun tentu saja, kalo ada kata-kata yang tidak mengerti, saya akan bertanya kepada Bapak. Sebab, bagi saya, Bapak adalah kamus berjalan. Sepertinya segala kata pun, dia paham. Macam Ivan Lanin, kalo era sekarang.
Selain TTS di koran, kadang saya juga mengisi TTS di buku yang berkaver mbak-mbak seksi nan semlohay. Saya ga tahu sejak kapan buku TTS di Indonesia identik dengan kaver yang seperti itu.
Yang jelas, pertama kali membelinya di kios daerah Terban. Dekat dengan tempat saya melanjutkan pendidikan di esempe. Sayangnya, kios itu kini tutup. Sudah beralih menjadi ruko.
Waktu itu, harganya cukup murah. Dengan embel-embel “Berhadiah”, saya membeli dengan harapan tinggi. Mengisinya hingga tuntas kemudian dapat hadiah. Minimal sepeda. Saya sih berharap kalo TTS ini sepertinya lebih mudah daripada di koran.
Ternyata nggak juga. Susah, mylov~
Ada 10-15 TTS. Dan sebagian besar pertanyaannya berbeda. Saya kira seharusnya kita patut memberikan apresiasi tinggi kepada pembuat TTS ini.
Gak mudah lo membuat TTS. Menurut saya, pembuatnya harus memiliki cakrawala pengetahuan yang luas. Sebab, tak mudah membuat 20-30 pertanyaan. Mendatar dan menurun. Kemudian bisa jadi satu kesatuan.
Saya pun hanya dua kali dari puluhan buku dan koran untuk menyelesaikan sebuah TTS. Cukup menyedihkan. Dan mengisi TTS adalah pelajaran melelahkan.
Fakta itu bisa jadi benar untuk saya. Tapi tidak untuk Keira Knightley dalam film Imitation Game. Dia adalah salah satu orang dan satu-satunya wanita yang berhasil menyelesaikan tantangan dari Benedict Cumberbatch. Luar biasa, salah satu ujian untuk menjadi pendamping si Benedict adalah mengisi TTS! Film yang diadaptasi dari buku berjudul The Enigma: Alan Turing ini, saya kira sungguh brilian.
Dan saya selalu percaya, jika orang yang pandai mengisi TTS, pasti pintar bahasa Indonesia karena mampu menguasai banyak kata. Itu juga seperti yang Bapak katakan, “mampu mengisi TTS, maka mudah mengerjakan ujian Bahasa Indonesia.”
Selain itu, andai mengisi TTS adalah salah satu ujian dalam CPNS, barangkali tak banyak pemuda-pemudi Indonesia yang mau mendaftarkan diri jadi PNS~
Dan bisa jadi, yang diterima adalah orang-orang yang cakap, cakrawala pengetahuan luas, dan tepat dalam pengambilan keputusan.
Setujukah kalian jika TTS dimasukkan dalam ujian CPNS?