Sudah satu jam Wahyu dan kawan-kawan sekerjanya berdiskusi di ruang meeting. Saat itu ada 6 orang dari sektor yang berbeda-beda dari toko online mereka yang sedang saling bertukar pendapat. Wahyu dari sektor layanan pelanggan duduk di bagian tengah; persis berdampingan dengan Lina dari bagian pengembangan aplikasi dan Dito dari desain dan produksi. Mereka sedang menimbang sebuah masukkan dari sekitar 800-an pelanggan mereka yang minta Sofa set yang ditawarkan punya opsi untuk ruangan yang relatif kecil. Minimal bisa pilih setengan set-lah.
Dito menyambut positif saran ini dan memastikan kalau Sofa yang dimaksud juga bisa menghasilkan margin lebih banyak dengan menjualnya satuan ketimbang per set. Bahkan, Dito pun menyarankan variasi bahan dan corak untuk memikat lebih banyak pembeli. Lina mencerna semua perubahan itu dan bersiap dengan kerangka waktu yang ia ajukan hingga aplikasi mereka siap.
Proses selanjutnya tentu saja harus diikuti dengan rangkaian hitungan finansial dan rasionalisasi target dari perubahan yang diminta pelanggan tadi. Itulah sebabnya, banyak pihak ikut hadir dalam diskusi. Termasuk Bapak CEO yang terhormat, Ardi, yang baru saja masuk ruangan karena terlambat. Ia segera menyapa semua yang ada dalam ruangan dan menanyakan sampai mana diskusinya.
Belum juga Wahyu selesai menjelaskan, Ardi segera memotong dan memutuskan: “waduh repot lah. Udah, kita tetep jual Sofa seperti biasa dan lebih baik fokus ke Meja Kerja yang penjualannya low banget. Kita akan buat promo Meja Kerja mulai minggu depan. Coba hubungi bank-bank yang bisa memberikan cicilan 0%…”
Seketika diskusi selama 1 jam 15 menit terbuang percuma hanya karena beberapa patah kalimat yang keluar ndak lebih dari 15 detik. Ndak ada yang bisa melawan keputusan Ardi. Analisa Dito dan kawan-kawannya juga ndak lagi diperlukan. Lebih tragis, perusahaan baru saja mengabaikan 800-an suara pelanggan yang ndak ternilai harganya. Ini yang disebut Highest Paid Person’s Opinion (HiPPO) atau Pendapat Seorang Dengan Gaji Tertinggi (Pesangigi?).

Entah berapa banyak waktu meeting di bumi ini yang terbuang sia-sia karena HiPPO. Di beberapa perusahaan, semua keputusan adalah HiPPO. Pegawai lain cuma orang yang menerima perintah tanpa tahu alasannya. Atau, mereka sudah ndak peduli lagi. Yakinlah, HiPPO bahkan dianggap lumrah dan menjadi bagian etika bekerja di banyak perusahaan sekarang ini. Jangankan keputusan perusahaan. Meeting sederhana saja banyaknya hanya jadi bahan pembenaran HiPPO. Jadwal meeting manajerial mingguan sebaiknya diganti jadi “Jadwal Minggunan Mendengarkan Keputusan Pak Direktur.”
Lalu, berapa besar kemungkinannya HiPPO benar? Hasil studi the Rotterdam School of Management menyimpulkan ndak lebih dari 5.2% keputusan tersebut benar dan mencapai target. Artinya, 94.8% HiPPO sok tau! Studi ini juga menjawab kecurigaan kalau kekuasaan dan jabatan membuat orang sewenang-wenang. Studi yang sama menyebutkan bahwa suatu proyek yang dipimpin oleh manajer junior lebih sering sukses ketimbang proyek yang dipimpin langsung oleh pegawai yang lebih senior, karena sang junior leluasa mengutarakan kritik dan mempertanyakan langkah-langkah perusahaan melalui pertimbangan yang jauh lebih matang daripada sekedar intuisi pak bos.
HiPPO adalah penyakit yang melumpuhkan perusahaan. HiPPO juga obat bius yang menjadikan pegawai malas berfikir, apalagi mengambil risiko. HiPPO menomorduakan data dan fakta. Menyangkal kebutuhan yang paling mendasar dari perdagangan: pelanggan.