Pulang ke Ubud

Semua teman dekat gue pasti udah tau, gue jarang jalan-jalan. Kalau pun keluar kota, itu pasti ada urusan kerjaan yang kemungkinan gue perpanjang sehari atau dua hari. Dan mereka juga udah tau ke mana mencari gue saat gue menghilang. Pilihannya cuma ada di dua kota: Jogja dan Ubud. Yang kedua adalah kota yang barusan gue kunjungi.

Begitu sampai di Ubud, ada perasaan selamat datang yang nyaman. Gak ada dorongan untuk ke sana ke sini, belanja ini itu, atau nyobain cafe-cafe baru. Cukup berada di Ubud aja. Makanya kalo ditanya apa rencana di Ubud? Jawabannya akan selalu sama: Gak ada. Paling ada janjian ketemu teman yang memang tinggal di Ubud. Atau mencoba berbagai pengobatan yang tersedia di Ubud. Selebihnya, ke mana kaki melangkah saja. Sehari-hari gue sudah dipenuhi jadwal, gak adil rasanya kalau saat menghilang pun harus dipenuhi jadwal.

“Apa sih enaknya di Ubud?” tanya Shasha, teman dekat gue yang juga seorang travel blogger. Buat Shasha yang eksploratif dan sedikit kontemporer, Ubud bisa jadi kota yang membosankan. Kehidupan kota baru dimulai pukul 10 pagi dan berakhir 10 malam. Tak seperti Seminyak dan Legian yang mungkin jam 10 malam justru baru mulai menggeliat. Di Ubud, jam 10 malam, tak ada yang buka di jalan utama. Kalaupun ada, kemungkinan acara-acara privat.

Seorang teman yang baru pertama kali ke Ubud pun pernah komplen, “Hiiii nyeremin ah Ubud. Horor gitu bawaannya”. Apakah gue pernah mencoba untuk mengubah pandangan orang supaya suka Ubud? Ya enggaklah! Gue gak mau banyak orang yang datang ke Ubud. Gue suka Ubud yang lebih sepi, yang gelap dan horor. Karena di situ gue menemukan banyak kenyamanan. Bukankah hanya di kegelapan gue berani telanjang? Melepas semua atribut yang harus gue kenakan sehari-hari di Ibukota.

Awalnya gue ke Ubud karena ada sepasang suami istri, Cecil dan Atseu, teman yang lebih keluarga dibanding keluarga tinggal di sana. Waktu itu gue datang tanpa harapan, tanpa kehendak. Dan ketika di suatu pagi gue berlari di perbukitan yang bernama Tjampoehan, air mata gue deras mengalir. Untungnya ada angin pagi semilir yang mengeringkan pelan-pelan. Dari mana gue tau kalo hati gue ketinggalan di Ubud? Saat pulang ke Jakarta, batin gue bertanya “what the hell am I doing in this city?”

Sebelum memutuskan untuk ke Ubud kali ini, seseorang terdekat bertanya meyakinkan

“Are you sure? Nanti kalau pulang baperan lagi gimana?”

Gue hanya bisa menjawab sekenanya

“Kayaknya enggak deh, gak tau juga mau ke mana lagi”.

“Sure?”.

“No. But I have my job here, my career, my mother, and yeah…. you are here”. 

Perjumpaan berikutnya dengan Ubud mulai lebih nyaman. Tak intens secara emosional. Tapi bahagianya menetap di dalam hati. Selain Cecil dan Atseu, sekarang ada Peggy yang punya butik Mao-Mao di jalan utama Ubud, Hanoman. Baju-baju santai dari bahan linen, dengan desain klasik dan warna-warna nyaman di mata jadi ciri khas Mao-Mao. Waktu pertama kali dilaunch, Mao-Mao langsung menjadi brand fashion favorit gue.

Melihat koleksinya, Peggy kayaknya makin nyaman dengan desain-desainnya. Aksen kecil sana sini, seperti panjang celana yang asimetris, motif di pundak, dan selendang-selendang kalem bikin butik kecil ini jadi seperti ketenangan tersendiri di keramaian jalan Hanoman. Pilihan warna pun jadi semakin banyak.

Selain Peggy, adalagi teman yang baru buka restoran bernama MyWarung di jalan utama Ubud. Awalnya gue ke sana ya karena punya teman. Tapi setelah nyobain menu andalannya L’ Entrecôte tak hanya puas di lidah tapi bangga punya teman yang menjual makanan seenak ini. L ’Entrecôte kasarnya adalah steak yang dipotong-potong untuk dimakan dengan pilihan kentang dan salada. Seperti biasa gue pesan tingkat kematangan medium rare. Ketika pesanan datang, melihat dari warna dagingnya saja sudah ketauan benar medium rare. On point!

Bisik-bisik bilang kalo Nasi Babi Sambal Matah juga menjadi jagoannya. Malam terakhir sebelum meninggalkan Ubud, gue sempatkan untuk mampir. Lagi-lagi benar adanya. Puas rasanya kalo makanan di sebuah resto sesuai dengan kabar yang didengar. Makan di restoran milik teman, walau tanpa kehadirannya, bisa bikin bahagia. Serasa jadi saksi kemajuan bisnis teman sendiri. Well done, Juan!

Menginap di mana? Seperti biasa buat gue bayar hotel mahal-mahal di Ubud adalah kesia-siaan. Bahkan paket sarapan pun jarang gue ambil. Buat apa? Tinggal jalan kaki sedikit, ada cafe yang menyediakan sarapan enak. Mau sarapan air kelapa muda? Tinggal tunjuk. Kopi enak, tinggal mangap. Dan sebagian besar waktu gue kalau di Ubud adalah di luar hotel. Makanya pilihan kali ini adalah ke hostel milik seorang teman lagi, namanya Namastay.

Lagi-lagi tanpa harapan, gue datang untuk menikmati hostel yang menamai dirinya sendiri boutique hostel. Begitu masuk langsung merasa seperti di rumah sendiri. Tak ada keistimewaan berlebihan malah bikin Namastay jadi istimewa. Bahkan tak ada air mineral di dalam kamar, tapi disedikan termos yang bisa dibawa ke mana pun selama menginap di Namastay. Tak banyak pelayan yang mondar-mandir bikin suasana jadi tenang. Kamar Namastay yang secukupnya, bikin gue merasa cukup.

Selain kamar satuan, Namastay juga menyediakan area dorm yang berisikan ranjang bertingkat. Ada yang campur untuk laki dan perempuan. Ada yang khusus laki dan khusus perempuan. Seandainya sudah ada sejak gue SMA pasti seru buat jalan bareng-bareng temen. Tapi mungkin, Ubud bukan kota pilihan anak muda kalau ke Bali.

Buat yang pengen ngerasain tidur di bawah langit malam Ubud yang legendaris, juga tersedia tenda ala-ala di rooftop. Kebayang seru sih kalo rame-rame main capsa sambil ngobrol ngalor ngidul sampai melihat matahari terbit.

Namastay terletak kurang lebih 20 langkah saja dari jalan utama, memudahkan akses berbagai kebutuhan. Tadinya, gue berencana mendaki gunung Batur yang sudah diatur oleh pihak Namastay. Sayang, semalaman Ubud hujan deras. Walau kali ini batal, suatu saat nanti gue akan kembali.

Meninggalkan Namastay, gue jadi teringat lagu drama seri Cheers. Sangat mungkin Namastay menjadi hostel di mana pengunjung dan pengurus hostel saling mengenal.

Making your way in the world today
Takes everything you got
Taking a break from all your worries
It sure would help a lot
Wouldn’t you like to get away?
Sometimes you want to go
Where everybody knows your name
And they’re always glad you came
You want to be where you can see
The troubles are all the same
You want to be where everybody knows your name
You want to go where people know
The people are all the same
You want to go where everybody knows your name

Di tengah kemacetan Jakarta, dia bertanya

“Are you here?”

“Iya dong…”

“Baper?”

“Kayaknya enggak”

“Tumben”

“Kali ini Ubudnya yang ngikut”

“Oh I thought you come back for me”

“Gak lah! GILA APAAA???”

2 respons untuk ‘Pulang ke Ubud

  1. aku mrasa tak sendiri mas. sebagai orang yg jarang jalan2, bolak balik kalau butuh liburan udah seneng banget ke 2 tempat itu. iya juga sll bawaannya gundah gulana gimana setelah balik dari sana. Koq kita samaan ya mas.. paling beda perut aja (pegang2 gelambir)

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s