Manusia Kejam Kepada Sesama Manusia, Apalagi Kepada Hewan dan Binatang

EH, ini kadal kalau disate rasanya gimana, ya?

Refleks saya langsung bereaksi selepas mendengar celetukan itu; berhenti mengunyah potongan daging ayam bakar Jumat siang dua pekan lalu. Mendadak cemplang rasanya, tak lagi gurih, manis, pedas, yang beraroma agak hangus.

Bercelana pendek, mereka kemungkinan besar masih murid SD atau baru masuk SMP. Berjumlah sekitar empat orang, salah satunya terlihat sedang memegang kadal berukuran tanggung dari ekornya. Panjangnya terlihat lebih dari 20 cm, warnanya kecokelatan, spesies tipikal yang kerap ditemui di kebun maupun pemukiman warga.

Kadal
Itu kadalnya
Takut kadal
Takut kadal

Berjalan dari arah seberang warung ayam bakar, para bocah tadi rupanya baru bubaran sekolah, menjelang salat Jumat. Bukan tanpa alasan mereka membawa-bawa kadal tersebut entah dari mana asalnya, untuk kemudian duduk berhimpun dan menongkrong di depan warung. Setiap ada yang lewat, terutama siswi dan anak-anak sebaya, mereka gunakan kadal yang tersungsang itu untuk menakut-nakuti. Banyak cewek yang teriak, bahkan berlari menghindari si pembawa kadal sampai ke jalan raya. Untungnya cuma nyaris terjadi kecelakaan. Setelah kurang lebih 15 menit, si bocah kadal bersama teman-temannya pun beranjak. Mendapat teguran, barangkali.

Antara sudah bisa merasa lega atau masih khawatir, saya berharap semoga si kadal tadi terlepas dari tangan anak-anak tersebut, berhasil melarikan diri, dan akhirnya mendapat lokasi menetap yang relatif lebih aman. Kalaupun sudah saatnya untuk mati, semoga kadal tersebut mati akibat hal-hal alamiah dan apa adanya (juga mencakup mati dimangsa, mati terjepit, mati terjatuh, mati terbakar bukan dibakar, dan sebagainya), bukan lantaran disiksa atau dijadikan mainan oleh manusia. Misalnya saja, dimutilasi hidup-hidup, diputar-putarkan macam laso dari buntut, dibakar hidup-hidup, ditusuk, serta skenario-skenario kejam lainnya—yang hampir semuanya lazim terlintas di benak anak-anak Indonesia.

Perihal yang satu ini, soal kekejaman terhadap binatang, judul di atas memang berpotensi tidak adil. Tak semua orang yang kejam terhadap binatang juga punya kecenderungan bersikap jahat kepada manusia lainnya. Begitu pula sebaliknya, ada sebagian orang yang bisa lebih lemah lembut dan berperasaan terhadap binatang, tetapi malah benci sekali kepada manusia lain.

Di sisi lain, tanpa terlampau menggampangkan perkara dan langsung menuding manusia sebagai sang antagonisnya, urusan kekejaman terhadap binatang ini didorong oleh banyak hal. Sebut saja adat dan budaya, sejumlah pandangan agama, tabiat, keingintahuan, keserakahan industrial dan uang, dan sebagainya. Hal-hal itu bukan hanya diajarkan sejak kecil, diteruskan dari generasi ke generasi, sengaja dilakukan secara sadar setelah dewasa, dan dengan kontra argumentasi yang relatif minim. Memunculkan, menguatkan, lantas mengekalkan anggapan keliru bahwa:

Itu tidak salah, kok… Di mana kesalahannya?

Ini menjadi masalah utama. Bagaimana memperbaiki, mengubah, mengkoreksi sesuatu yang tidak dianggap salah oleh pelakunya. Namun, sebelum kita bicarakan lebih lanjut, ada batasan-batasan persepsi—menurut saya—agar tidak menggantung dan melayang tak tentu arah.

> Setiap makhluk hidup (manusia dan binatang) pasti akan mati.
> Ada banyak faktor penyebab dan pendorong terjadinya kematian.
> Ada kematian yang tidak disebabkan oleh makhluk lain (insiden, sakit).
> Ada kematian yang disebabkan oleh makhluk lain.
> Hanya manusia yang memiliki kemampuan berpikir.
> Setiap kematian makhluk lain yang disebabkan oleh manusia, pasti memiliki motif dan alasan (mulai untuk bertahan hidup secara langsung, sampai sekadar iseng).
> Setiap kematian makhluk lain yang disebabkan oleh binatang, selalu karena insting.
> Kondisi “sengaja/tidak sengaja” hanya ada pada tindakan manusia.
> “Sengaja” berarti punya niat melakukannya, dan dilakukan secara sadar.
> “Tidak sengaja” berarti tidak punya niat melakukannya, atau malah tak disadari.
> Kondisi “puas” dan “nikmat” hanya bisa dirasakan oleh manusia.

Dari poin-poin di atas saja, sudah bisa menjelaskan adanya istilah animal cruelty, kekejaman (manusia) terhadap binatang, dan bukan kekejaman (binatang) terhadap manusia. Yang ada justru kekejaman manusia terhadap sesama manusia. 😓

“Manusia Adalah Makhluk Termulia”

Pernyataan ini berkutub ganda. Benar, jika dimaksudkan bahwa manusia adalah makhluk dengan fitur-fitur hidup yang canggih. Terutama mampu berpikir dan merenung, serta menindaklanjuti hasil pemikiran dan perenungan tersebut menghasilkan sesuatu. Oleh karena itu, manusia bisa “menjadi ikan” tanpa insang dan sirip; bisa “menjadi burung” tanpa sayap dan tungkai. Manusia membuat perubahan pada alam, bukan diubah secara natural oleh alam.

Keliru, jika dimaksudkan bahwa gara-gara kemuliaannya, manusia merasa berhak melakukan apa saja terhadap makhluk lain, yang dianggap rendah dan tak bernilai. Pokoknya, semua makhluk (selain sesama manusia, idealnya) dapat dijadikan objek untuk memenuhi kebutuhan, keinginan, serta “kesejahteraan” manusia semata. Dianggap hidangan lezat yang bikin candu, musuh atau monster, sampai dianggap sebagai mainan, persis seperti yang dilakukan bocah dan kadal tadi, atau para juragan topeng monyet, atau para pemburu gajah, atau para penjual gantungan kunci ikan hidup … menghela napas panjang

Topeng monyet
Pemandangan dalam perjalanan menuju Tangkuban Perahu, dua tahun lalu. Kasihan, ya.

Kenapa pandangan kedua disebut keliru? Sebab berpotensi menyebabkan malapetaka lingkungan, dan justru mengarahkan manusia menuju sifat-sifat negatif. Berikut ilustrasinya.

Manusia mengkonsumsi daging hewan: wajar (untuk nutrisi).
Manusia menjagal hewan secara massal karena ingin makan daging tiga kali sehari seumur hidup: serakah (tak mau/tak punya pengendalian diri).

Manusia melempar tombak pada buaya: wajar (mempertahankan diri).
Manusia membasmi semua buaya: benci (menunjukkan superioritas).

Cuplikan dari Time.

Manusia menghalau belalang: wajar (merasa terganggu)
Manusia menangkap belalang dan memutus tungkainya satu per satu: jahat (menghibur? Tak jelas) malah terkesan bodoh.

Manusia mengusir biawak: wajar (menjaga lingkungan)
Manusia menangkap biawak, mengikatnya, melemparkannya ke jalan agar dilindas: berlebihan (balas dendam? Tak jelas) juga terkesan bodoh.

Sebagai penjaga atau penguasa alam, silakan pilih peran yang tepat bagi manusia.

Manusia Berhak Menjadi Algojo bagi Makhluk Lain?

Sejatinya, manusia membunuh makhluk lain untuk tiga alasan: bahan makanan, mempertahankan diri, dan keperluan lain di luar dua hal tersebut. Pertanyaannya, mengapa manusia berhak melakukannya?

Oh, saya ubah sedikit pertanyaannya, apakah manusia berhak melakukannya?

Lagi-lagi, manusia sejatinya adalah binatang yang berpikir dan emosional. Jauh sebelum membangun peradaban dan kebudayaan, manusia telah melihat bagaimana kolega spesies mereka di planet ini—binatang-binatang lain—mencari makanan. Termasuk memangsa makhluk lain. Sedari awal, manusia mengetahui bahwa mereka adalah omnivora. Saat mengalami perasaan tidak nyaman di perut, mereka dapat menyantap daging dan tumbuhan. Di situasi yang ekstrem, bahkan bisa melakukan kanibalisme. Jadilah manusia makhluk pelahap flora, fauna, dan sesama manusia (secara harfiah).

Pengalaman mereka bertumbuh seiring pengetahuan. Beberapa di antaranya, menyantap daging segar lebih baik dibanding daging bangkai, bisa menyebabkan sakit perut dan muntah-muntah; api bisa membuat daging mengeluarkan aroma berbeda yang menarik, dan membuat daging lebih mudah dikunyah; lalu terus berkembang sampai sekarang bersama seperangkat standar maupun aturan tata boga.

Sama halnya dalam upaya mempertahankan diri, dan keperluan lain (pakaian, kesehatan dan kecantikan, interior, rumah tangga, dan lain-lain). Hanya manusia yang berkemampuan memanfaatkan makhluk lain guna berbagai tujuan, selain dimakan.

Hemat saya, ketika seorang manusia menyantap daging ayam, ikan, sapi, kambing, babi, atau jenis binatang-binatang lain, idealnya sama seperti ular memangsa kodok, elang memangsa ikan, harimau memangsa rusa, dan sebagainya. Persoalan muncul saat manusia tak lagi memangsa hewan lain, tetapi menguasai mereka. Beternak, mengembangbiakkan hewan-hewan konsumsi sedemikian rupa, mengkondisikan hewan-hewan tersebut agar hidup bukan demi kehidupan itu sendiri, melainkan untuk dimakan pada akhirnya. Bukan hanya itu, hewan-hewan tersebut pun disediakan untuk dijual, untuk mendapatkan uang, untuk memenuhi berbagai keinginan. Termasuk yang bernuansa ibadah.

Inilah penandanya, bahwa manusia telah menjadi algojo bagi makhluk lain. Penentu kehidupan, dan kematian. Sebuah efek samping dari anugerah kemampuan berpikir dan bersiasat. Itu sebabnya, kebiasaan atau perilaku berterima kasih “kepada” hewan yang kita santap sungguhlah terpuji. Bagi mereka yang religius, rezeki dan makanan enak memang berkah dari tuhan. Hanya saja, jangan lupa bahwa tetap ada penyembelihan, perebusan hidup-hidup, penggetokkan agar makanan enak tersebut hadir di hadapan kita.

Realitasnya, ada profesi bernama “tukang jagal”, dan kita masih berada dalam lingkungan sosial ekonomi dengan permintaan terhadap daging serta produk-produk hewani. Apakah pada hari itu kita membeli daging atau pun tidak, sang jagal tetap akan menjajakan dagangannya, dan PASTI ada yang membelinya. Dunia tanpa penjagal boleh dikata hampir utopia.

Apa yang dapat kita lakukan untuk menuju ke sana, atau setidaknya mengurangi arus permintaan daging (supaya mengurangi kematian)? Kendalikan diri, makan seperlunya, tak usahlah kemaruk.

Sanggup berdiet vegetarian? Jadilah seorang vegetarian, asal jangan bikin risi dan menganggap rendah orang lain yang masih mengkonsumsi daging. Lagipula, Anda bervegetarian atas dasar belas kasihan dan lingkungan, kan? Bukan ikrar keagamaan (iya, ada kok). Pasalnya…

Belas Kasihan Berlaku Menyeluruh

Teramat mudah bagi kita merasa iba, kasihan, dan peduli kepada kucing atau anjing, terlebih jika mereka masih kecil, daripada kepada … katakanlah kadal dalam kejadian di atas. Soalnya, anak kucing atau anak anjing terlihat lebih lucu dibanding anak kadal.

Namanya juga makhluk hidup, sehingga hak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meneruskan kehidupan (melalui generasi berikutnya) berlaku tanpa terkecuali. Apakah itu seekor gajah, seekor ular, seekor anak kucing, seekor tikus, seekor cacing, atau pun seekor nyamuk. Sebesar atau sekecil apa pun; sejinak atau seliar apa pun; selucu atau semenakutkan apa pun; seaman atau semengganggu apa pun makhluk tersebut, kita seyogianya tidak mematikan mereka. Apalagi kalau sampai merasakan kesenangan, kepuasan, serta keriaan waktu melakukan pembunuhan.

Bisa saja muncul pertanyaan: “Lho, jadi kalau ada binatang yang berbahaya, kita diam saja? Pasrah? Biar digigit, lalu malah kita yang mati. Bagaimana kalau ada hama, menyerang tanaman kita, lalu gagal panen, kita rugi, kita kekurangan bahan makanan…

Di sinilah bedanya. Sebagai makhluk yang lebih mulia dan pandai, kita punya pilihan untuk tidak melakukan pembunuhan. Terutama pembunuhan tanpa alasan dan latar belakang yang jelas, atau yang sekadar iseng. Alih-alih mematikan binatang lain, kita mampu memikirkan beragam metode untuk menghalau, menghindari kontak, dan mengurangi potensi gangguan yang dapat ditimbulkan. Lebih jauh lagi, kita bisa mencari tahu apa penyebab kemunculan binatang-binatang itu, dan mencegahnya. Di situlah ilmu biologi beserta percabangannya berfungsi bagi kebaikan semua.

Contoh, nyamuk betina mengisap darah manusia untuk bereproduksi. Rentang hidupnya pun sangat singkat, dengan risiko mati ditepuk, terinjak, dilahap cecak atau katak, dan lain-lain. Sebagai manusia, kita tentu terganggu dengan dengung nyamuk dan rasa gatal yang disebabkannya. Agar kita dijauhkan dari nyamuk saat tidur, digunakanlah kelambu. Praktis, kita tak perlu membunuh nyamuk saat itu. Akan lebih cerdas lagi bila kita mencari sumber-sumber genangan, dan membersihkannya supaya nyamuk betina tak bisa bertelur di sana. Lagi-lagi, kita tidak melakukan pembunuhan, karena jentik-jentiknya saja belum sempat ditetaskan.

Hindarilah pembunuhan semaksimal mungkin; hanya jika benar-benar terpaksa, bukan suka-suka dan sengaja. Kecuali bila Anda memilih berprofesi sebagai penjagal, tukang daging, peternak, dan sejenisnya. Profesi yang bertumpu pada kehidupan dan kematian makhluk lain. Paling tidak, kita jangan sampai jadi manusia yang menggemari penyiksaan dan menyenangi kematian makhluk lain.

Sementara itu, tak perlulah kita beralih dari satu ekstrem ke ekstrem yang lain. Dari seorang “pembantai”, menjadi seseorang yang sangat kaku, terisolasi, dan terlalu memaksa. Carilah jalan tengahnya dan tetap menapak ke bumi.

[]

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s