… the truth is, we hardly know anything.
Seorang penulis ternama pernah menulis di akun media sosialnya, bahwa “I believe we only show 10% of our life in social media”. Kurang lebih isinya seperti itu.
Saya mengamini pendapatnya. Bahwa tidak mungkin kita menampilkan seluruh kehidupan kita, atau seluruh aktifitas seharian kita, ke media sosial untuk dilihat dan ditelaah orang-orang asing yang tidak kita kenal. Meskipun kenyataannya sekarang, jauh lebih banyak yang berusaha mati-matian untuk melakukan hal tersebut, demi viral, eksistensi, kepopuleran dan alasan-alasan lain.
Jangankan untuk media sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, kita patut bertanya, yakinkah kalau kita tahu persis kehidupan orang yang dekat dengan kita?
Saat kita berpisah dengan pasangan kita setiap hari untuk saling berangkat kerja, tahukah kita apa yang pasangan kita lihat, rasakan dan lakukan sepanjang menuju tempat kerja, di tempat kerja, dan waktu mau pulang ke rumah? Saat anak selesai mencium tangan orang tuanya dan pamit berangkat sekolah, yakinkah orang tua benar-benar tahu kegiatan anaknya, dan anak benar-benar tahu rutinitas orang tuanya?

Ada banyak sisi dalam diri kita yang mungkin sebagian dari kita sudah tahu apa saja sisi tersebut, dan mungkin ada yang belum secara penuh mengenali isi dalam diri. Adalah hak kita untuk mengungkap sisi mana yang mau kita bagi. Dan juga hak kita untuk membagi sebagian diri kita dengan orang-orang tertentu, agar ada kelompok-kelompok individu lain yang melihat sisi kita yang lain pula.
Sampai di sini apakah Anda masih bingung?
Saya mau bercerita sedikit.
Beberapa tahun lalu, salah satu teman terdekat saya akan menikah. Tentu saja saya dan beberapa teman lain ikut semangat menyiapkan diri untuk menghadiri pernikahan tersebut.
Namun beberapa hari menjelang acara besar, saya dilanda keresahan yang luar biasa. Sumber kegelisahan saya datang dari setitik keraguan mengenai hidup baru yang akan ditempuh teman saya. Dari mana keraguan itu muncul? Datangnya dari ketidaktahuan saya terhadap calon pasangan hidup teman saya tersebut.
Bukan sepenuhnya tidak tahu, hanya tidak dekat. Atau lebih tepatnya, tidak sedekat pertemanan kami.
Saya ungkapkan keraguan tersebut kepada beberapa teman lain. Semuanya memberikan tanggapan yang kurang lebih senada, yaitu agar saya wish them well saja. Tentu saja tidak meredam kegelisahan saya.
Sampailah di hari perhelatan acara.
Rangkaian prosesi pernikahan, mulai dari menyerahkan seserahan, duduk di belakang calon pengantin, semua kami ikuti sesuai aturan. Kami duduk mendengarkan petuah dari para pemuka agama, dan juga sambutan dari masing-masing orang tua. Tentu saja saya mendengarkan semuanya sambil membiarkan pikiran ini menari-nari sendiri dengan berbagai macam lamunan dan pemikiran tentang keraguan saya.
Sampai pundak saya ditepuk salah satu panitia.
“Mas, bawa kan flash disk yang dititipkan minggu lalu?”
“Oh iya. Hampir lupa. Sebentar ya.”
Saya bergegas ke mobil yang mengantar kami. Saya hampir lupa, kalau seminggu sebelumnya, ada seorang video editor yang menitipkan sebuah flash disk. Katanya itu berisi video dan foto calon pengantin. Sempat saya tanya, “Pre-wedding video?” Lalu editor itu menggeleng dan tersenyum. Katanya, “Nanti lihat saja sendiri.”
Of course saya belum sempat melihatnya dari saat menerima flash disk tersebut sampai hari pernikahan tersebut. Lalu saya serahkan flash disk tersebut ke panitia, dan kembali ke tempat duduk mengikuti rangkaian resepsi.
Sampai pada akhirnya MC memimpin pembacaan doa, lalu acara inti pernikahan selesai. Teman saya telah sah menikah, baik di mata agama maupun hukum. Para tamu mulai kasak-kusuk berdiri untuk antri foto bersama pengantin baru. Kami masih duduk-duduk santai sambil mengecek ponsel masing-masing.
Lalu MC berkata, “Sambil menikmati hidangan yang ada, kami akan memutar cuplikan video dan foto pasangan baru kita hari ini.”
Mata saya lalu beranjak ke dua layar televisi berukuran cukup besar yang sudah dipasang. Live feed sudah diganti dengan montage foto-foto teman saya dan, waktu itu, pacarnya. Saya tersenyum. Lalu cuplikan foto-foto berganti dengan video yang dibuka dengan tulisan “Sehari Bersama Mereka”.
Saya tertawa kecil sendiri, melihat teman saya memakai kaos yang pernah saya berikan sebagai hadiah ulang tahun. It looks familiar. Namun perasaan familiar tersebut hanya berhenti sampai di situ.
Saya tertegun melihat video itu. Di situ saya melihat sosok teman saya yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Yang sangat attentive dalam mendampingi pasangannya. Yang berbicara dalam nada suara yang berbeda, dan terlihat sungguh-sungguh, seakan tidak ada kamera yang mengikutinya. Yang memandang dan berbicara kepada pasangannya dengan tatapan seolah-olah tidak ada orang lain di sekitar mereka.
Yang berbeda dengan cara interaksi terhadap saya dan teman-teman kami lainnya selama lebih dari satu dekade kami berteman.
Di momen itu saya sadar bahwa seberapa lama pun kita mengenal orang lain, selalu ada bagian lain dari orang itu yang tidak pernah kita tahu sebelumnya. We never fully know a person. We can only know a glimpse of a person, and sometimes, that’s all we need to know.
Terus terang saya terharu saat video itu selesai, dan kembali memutar cuplikan foto-foto. Tidak ada yang tepuk tangan. Namun ada perasaan lega dalam hati seusai melihat video tersebut. Tiba-tiba keraguan saya hilang begitu saja. Yang ada adalah keyakinan, even just a hunch, bahwa teman saya telah memilih keputusan yang tepat. Dan akhirnya saya bisa memeluk mereka berdua di pelaminan saat sebelum kami foto bersama dan mengatakan dengan penuh keyakinan tanpa ragu, “Congratulations!”
Seperti layaknya kita tidak pernah mengetahui secara penuh jati diri orang lain, kita pun tidak bisa mengharapkan orang lain tahu keseluruhan diri kita. Tetapi kita bisa selalu memilih, apa yang kita perlu tahu dari orang lain, dan apa yang orang lain perlu tahu dari kita.
And that is enough.
Me… Me… Me…!!!
SukaSuka
Mie ayam?
SukaSuka
Gw suka yang ga halal… Hahaha
SukaSuka