SAMA-SAMA tergantung dan diarahkan oleh interpretasi manusia, para penganutnya. Baik yang termasuk (1) golongan orang-orang terpilih, para ulama, para pandit, para pembabar ajaran, dan mereka yang mendalami segala aspek dalil-dalilnya agar bisa lebih mudah dipahami oleh; (2) umat awam sebagai golongan pendengar dan pelaksana, yang jumlahnya akan selalu lebih banyak dibanding para pemuka.
Kendati berasal dari tuhan langsung, keterlibatan manusia berperan penting dalam pembentukan agama. Pasalnya, setiap manusia diciptakan dengan pemahaman spiritual yang berbeda-beda. Agak disayangkan, agama tidak diturunkan tuhan berupa seperangkat sistem utuh, terstruktur, dan sistematik. Melainkan potongan demi potongan yang mesti disatukan sendiri.
Apa pun karakteristiknya—berasal dari wahyu maupun non-wahyu, petunjuk dari tuhan atau pengalaman adikodrati—yang kemudian dijadikan agama—pada awalnya pasti disampaikan kepada atau dialami perorangan. Kala itu, detail peristiwa atau interaksi antara pencipta dan ciptaannya hanya benar-benar diketahui oleh yang terlibat di dalamnya. Ya … oleh tuhan dan manusia pilihannya tersebut. Termasuk firman ilahi yang disampaikan atau berbunyi secara verbatim, kata per kata.
Beberapa waktu setelahnya, barulah pengalaman ilahiah tersebut dibagikan kepada orang lain. Umumnya orang-orang dari lingkar terdekat sang manusia pilihan tersebut. Entah nabi atau guru. Misalnya, antara Yesus dan 12 muridnya, atau antara Buddha dan Pancavagiya (lima petapa yang jadi pengikut pertamanya). Dari sinilah interpretasi manusia mulai berpengaruh dalam pemaknaan landasan agama.
Terbagi atas sejumlah fase.
Diawali dengan pencatatan pengalaman atau kejadian ilahian tadi. Sang manusia pilihan akan bertutur, orang-orang lain dari lingkar terdekatnya pun akan berusaha mengingat, atau bahkan mencatatnya ke medium tertulis. Menghasilkan catatan suci dan dikultuskan, lantaran diutarakan oleh atau melalui manusia pilihan, manusia yang pernah berhubungan langsung dengan tuhan. Tujuan dasarnya adalah sebagai bentuk penghargaan, keyakinan dan keimanan, serta selalu diingat dan diteruskan ke generasi berikutnya. Dari perspektif sejarah, tidak ada satu pun kitab suci yang langsung diturunkan berwujud buku; bersampul, berjilid, berhalaman-halaman, dan seterusnya. Setebal atau setipis apa pun kitab suci sebuah agama, tetap merupakan hasil pencatatan ulang. Katakanlah Mazmur (Psalm atau Zabur) memang berasal dari Daud, sang raja dan nabi dalam tiga agama samawi utama, tetapi bukan Daud yang mencatat dan membukukannya.
Selain itu, hanya ada sedikit nabi atau guru yang berkemampuan untuk mencatatnya sendiri. Contohnya Laozi, pendiri ajaran Daoisme, atau Konfusius, nabi ajaran Konghucu. Keduanya menulis buku-buku yang selanjutnya dianggap sebagai kitab suci ajaran masing-masing.

Catatan-catatan suci tidak dihasilkan dalam bentuk yang mudah dipahami begitu saja. Seringkali berbentuk syair, atau pernyataan-pernyataan bernuansa sastrawi yang perlu ditelaah lebih lanjut. Ditambah lagi keterbatasan akses publik di masa itu, ketika rakyat jelata yang buta huruf mustahil menyentuh apalagi membacanya kembali. Sehingga di fase berikutnya, para pemikir dan pembelajar agama menyampaikan buah-buah pikiran mereka, baik untuk tujuan keilmuan maupun mempermudah ibadah dan perilaku religius dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah mengkaji serta mendalami catatan-catatan suci, mereka menggariskan intisari, penjelasan tafsir, dan komentar guna memperjelas ayat demi ayat yang ada. Karena berkaitan dengan hal-hal yang disukai dan dibenci tuhan, ada juga sejumlah cendekiawan yang merumuskan peraturan. Poin-poin ini yang diajarkan dan disosialisasikan kepada umat awam, dengan tujuan penyederhanaan, kemudahan, dan kepraktisan menerapkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Mereka seakan-akan berujar: “Daripada kebingungan, keliru, dan tidak sanggup mengkaji sendiri, nih, saya sudah bikin formulasinya. Cukup jalankan saja yang ini.”
Setiap buah pikiran yang disampaikan tentu tidak diterima bulat-bulat begitu saja. Ada mekanisme verifikasi yang dijalankan oleh sesama ahli agama. Mana yang dianggap cocok, pantas, dan patut akan disebarluaskan, bahkan diajarkan kepada masyarakat. Sebaliknya, yang dianggap bertentangan, tercemar, dan menyesatkan akan diberedel, disita, dan terlarang untuk dipublikasikan. Itulah sebabnya ada empat Injil dalam Alkitab Perjanjian Baru, serta menempatkan Injil-Injil lainnya sebagai Apokrifa, atau pun proses kategorisasi hadis yang sahih, hasan, dan daif.

Pokok-pokok ajaran dan aturan-aturan keagamaan baku yang diterima melalui kesepakatan golongan alim tadi, disodorkan kepada umat awam. Seyogianya supaya dijalankan dengan baik dan menyeluruh. Tokoh-tokoh agama tersebut pun memposisikan diri mereka sebagai para penjaga; menjaga agar agama dijalankan sebaik-baiknya, menjaga agar aturan agama dipatuhi sepenuhnya, serta menjaga kaidah dan mencegah munculnya penafsiran liar yang berpotensi menyesatkan. Kondisi ini menjadikan mereka cenderung konservatif, dan kerap memiliki pendapat berbeda tentang fleksibilitas dalam beragama; dalam memaknai dan pengamalan ajaran serta peraturan agama.
Namanya juga interpretasi manusia. Dalam hal ini, ada kelompok pemuka agama dengan pemahaman yang keras, ada pula kelompok yang relatif lebih luwes dalam berpendapat. Adu dalil, argumentasi, dan ayat kitab suci ada di tataran mereka. Sedangkan umat awam sebagai pengikut, sesuai kenyamanan religius mereka akan memilih mengikuti kelompok ulama yang mana. Fase inilah yang menyebabkan potensi konflik atau kisruh internal dalam semua agama. Saling menyalahkan antarsesama penganutnya sendiri. Praktik keagamaan pun menjadi bising. Ini yang menyebabkan terjadinya Great Schism, memisahkan Katolikisme dan Protestanisme.
Sekali lagi, semua bermula dari interpretasi manusia.
Agama. Dari manusia, oleh manusia, untuk manusia.
Sebuah Analogi
Biasanya, hampir semua penumpang Kereta Api Listrik (KRL) atau bus TransJakarta pasti ingin duduk selama perjalanan. Kenapa? Karena posisi duduk terasa lebih santai dan nyaman. Saking nyamannya, seringkali malah sampai berebutan atau bahkan tidak peduli keadaan orang lain. Apalagi jika bisa mendapat kursi di pojokan. Lebih enak. Duduk sambil menyandarkan punggung dan sisi tubuh.
Agama pun kurang lebih demikian, menjadi tempat bersandar sekaligus kendaraan ke pelbagai jurusan. Tidak usah melulu berdiri, menahan lelah letihnya badan sepanjang jalan. Namun bagaimanapun juga, kendaraan tetap harus ditinggalkan setibanya di tujuan.
Sebuah Intermeso
Manusia yang membutuhkan ritual agama, atau ritual agama yang membutuhkan manusia?
Saat sebuah robot di India berhasil diprogram untuk melaksanakan aarti (bagian dari prosesi pemujaan Hindu India), apakah persembahan yang dijalankannya bernilai ibadah? Ataukah justru dinilai sebagai penyimpangan?
https://twitter.com/EuropeanIndo/status/1016551074105159680
Mirip pula dengan ini.

Sebuah Penutup
Kita masih ingat, riuhnya pujian dan cercaan dari berbagai pihak kepada Kiai Haji Yahya Cholil Staquf yang hadir serta berbicara di forum American Jewish Committee (AJC), Israel.
… dan inilah yang terjadi kala seribuan umat Muslim (termasuk Kiai Haji Yahya Cholil Staquf), umat Kristen, dan umat Yahudi menyanyikan lagu bernuansa perdamaian secara massal bergantian menggunakan bahasa Inggris, bahasa Arab, dan bahasa Ibrani.
Menurut saya—yang bukan Muslim, Kristen, atau Yahudi ini, videonya bagus dan bikin merinding.
[]