Persamaan Virgil dan Dia

Di sebuah masa 30-40 tahun yang lalu, para orang tua berbelanja barang fesyen berkualitas untuk keluarganya. Berkualitas saat itu dimaknai sebagai tahan lama. Awet. Inget sepatu Kickers atau sepatu sendal Birkenstock misalnya. Atau celana jeans Levi’s 501, yang menjanjikan bisa dipakai ratusan tahun. Ah, saya sudah lupa label yang lain. Yang pasti, nasehat orang tua untuk rela mengeluarkan uang sedikit asal tahan lama, menempel dan kemudian menjadi panutan.

Maju ke depan ke tahun 2000-an, hadirlah label-label macam Zara yang menawarkan desain. Zara tidak pernah menjanjikan kualitas tahan lama. Tapi desain yang mengikuti zaman, atau lebih tepatnya desain pakaian yang sedang dikenakan peragawati untuk dikeluarkan di musim berikutnya, Zara pun akan menawarkan desain serupa. Perlahan, awet dilupakan. Kalau kebetulan awet ya alhamdulillah, enggak juga gapapa.

Pemikirannya sederhana, buat apa beli barang fesyen yang tahan lama. Sebentar lagi juga akan ketinggalan zaman. Ganti tren, tinggal beli baru lagi. Begitu seterusnya sampai menumpuk di lemari pakaian. Kemudian Marie Kando, ratu bebenah asal Jepang, mengajarkan untuk bebenah dan meniadakan barang-barang tak terpakai di rumah. Beramai-ramailah masyarakat kekinian melepas barang-barang fesyennya yang tak lagi bisa dipakai. Tentunya, memberikan ruang kosong di lemari pakaian untuk diisi dengan benda fesyen baru lagi. Gitu aja terus lah sampai Indonesia menang Piala Dunia.

2012, Virgil Abloh mengeluarkan label OFF.WHITE yang berkembang di kalangan pencinta street-wear dan dikenakan oleh para selebriti dunia macam Rihanna, Beyonce, Justin Bieber, Kendall & Kylie Jenner dan lain-lain. Virgil dan Kanye West pernah sama-sama magang di rumah fesyen FENDI. Mereka terus berteman dan sekarang masing-masing punya label pakaian yang ngehits. Kanye dengan sepatu Yeezy dan Virgil dengan OFF.WHITE.

Kehadiran Off.White ditanggapi dengan sinis oleh tak hanya oleh para pencinta fesyen tapi dunia desain pada umumnya. Mereka sama-sama merasa tak ada nilai desain yang pantas untuk dihargai mahal. Dan semuanya adalah hasil kerja keras marketing, bukan karena nilai desain.

Terserah setuju atau tidak setuju, yang pasti sekarang bisa disebut sebagai era desain. Desain menentukan apakah sebuah produk bisa laku atau tidak. Strategi marketing tentu membantu, tapi akan berhenti di suatu titik saat desainnya tidak bisa diterima. Ada banyak contoh kerja keras marketing yang gagal mengangkat sebuah karya desain yang tak diterima. Mau teriak sampai jontor kalo jelek ya jelek aja.

Sejak memulai jualan tote mangkok ayam 4 tahun yang lalu karena iseng-iseng, belakangan saya banyak belajar soal desain yang bisa diterima oleh pembeli. Tak semua produk langsung laris. Ada yang pergerakannya lamban. Dari situ saya belajar desain seperti apa yang digemari orang. Karenanya, mengapa produk-produk saya jual di toko off-line seperti Aksara, JKT Creative, dan terakhir Museum Macan karena saya percaya dari sanalah saya bisa belajar sesungguhnya.

Di toko, barang produksi saya tak berjualan sendirian seperti di akun Instagram, tapi berdampingan dengan banyak produk karya lain. Di toko pula, orang lalu-lalang dan kemudian berhenti untuk melihat, memegang, merasakan sebelum memutuskan untuk membeli. Dan di toko pula, kata sold-out menjadi terukur. Kalau dagang di Instagram bilang sold-out tak ada yang pernah tau berapa stock yang disediakan. Jangan-jangan cuma setengah lusin. Tapi di toko, ada catatan berapa barang masuk dan berapa barang keluar.

Berjualan di toko, juga membungkam prasangka kalau pembelinya hanya teman-teman penjualnya. Yang lalu lalang di toko kan bisa dibilang “masyarakat umum” yang kemungkinan besar tidak tahu siapa kreatornya kecuali artis yang biasanya malah sengaja mencantumkan namanya sebagai daya jual.

Kemudian saya iseng memposting desain tas ini di IG Story dengan polling YAY or NAY. Bisa diduga 80% bilang Nay. Tak sedikit yang langsung DM dan dengan keras melarang untuk memproduksinya. Secara garis besar alasannya sama, desain yang gak ok. Ikut-ikutan. Gak asik. Keluar dari pakem Mangkok Ayam selama ini. Sampai ada yang mengancam kalau diproduksi akan memboikot HAHAHAHAHAHA. Tentunya semua pendapat tadi menarik. Karena sekarang semua bicara soal desain. Dan hanya desain. Bukan fungsi. Bukan kualitas.

Kan tidak ada yang bertanya tas itu terbuat dari bahan apa? Ukurannya berapa? Ada warna lain gak? Harganya berapa? Semua membicarakan desain. Buat saya, tentu ini menjadi menarik. Saya harus berterima kasih kepada semua yang selama ini sudah menghadirkan beragam kejadian yang membuat masyarakat semakin mencintai desain.

Ini menjadi penting dan berguna di era keragaman seperti sekarang. Kok jauh amat? Ya karena semakin dekat dengan desain, maka kita akan semakin paham kalau desain itu sangat obyektif. Dan karena obyektif maka tidak ada yang benar dan salah. Sama seperti pemahaman soal agama, cinta, dan Tuhan. Bayakan, kembang hasil desain Tuhan saja, bisa ada yang suka dan ada yang tidak. Apalagi desain seorang Virgil Abloh. Mungkin lewat desain bunga, Tuhan mengajarkan makna toleransi.

 

Satu respons untuk “Persamaan Virgil dan Dia

  1. “Ya karena semakin dekat dengan desain, maka kita akan semakin paham kalau desain itu sangat obyektif.”

    ini maksudnya beneran “obyektif” atau “subjektif”, sih, Ko Glenn?

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s