“Eh, sebagai orang paling romantis yang pernah gue kenal, apakah elo …”
Saya tersedak, literally, sambil menahan ketawa.
“Maksud lo?”
“Dengerin dulu. Sebagai orang paling romantis yang pernah gue kenal, yang selalu come up dengan quotable quotes, tulisan blog galau dan segala macem lovey dopey notes, gue mau tanya, did you ever score anyone with those? Lebih spesifik lagi. Did you ever score anyone in town with those?”
Saya menyerah, dan meletakkan minuman saya sambil tertawa keras-keras. Demikian pula dengan dua teman saya. Kebetulan kami bisa bertemu di sebuah kedai kopi di kota tempat kami semua mudik. Padahal kami tinggal di satu kota, cuma kesibukan masing-masing membuat kami jarang ketemu. Sometimes it does take an out-of-town trip to meet your friends of the same town.
“Ayo ngaku! Ketawa mlulu.”
“Iya nih. Ada yang berhasil nggak?”
Saya menyeka bekas isapan kopi di bibir. Tentu saja sambil memberi diri waktu untuk berpikir.
“Ya gue nulis kan gak nyari perhatian kayak gitu juga. I write to express, not to impress.”
“Sambit pake cobek elo ya, masih aja pake kata-kata quotable gituan.”
Kami semua tertawa.
“Jadi ada yang nyangkut nggak, nih?”
“Gak. Tuh udah gue jawab. Singkat, jelas.”
“Nah, berarti bener kan dugaan dan pendapat gue selama ini.”
“Dugaan dan pendapat apaan?”
“Menurut gue, udah gak ada lagi orang romantis di Jakarta.”
“Eh, gimana?”
“Maksud lo apa nih?”
Sekarang giliran teman kami yang dengan sengaja minum kopinya pelan-pelan.
“Woi, mikrolet kelamaan ngetem, woi!”
“Sabar, bencong. Ya menurut gue, orang-orang yang so-called romantic ini, yang jago merangkai kata-kata indah, mengungkapkan lewat tulisan-tulisan yang mem-ba-ha-na dan meng-ge-lo-ra ya, pada akhirnya ya mentok aja gitu di tulisan dan kata-kata yang tadi dia bilang to express and not to impress. Sementara hidup di Jakarta kan keras. Mau nafas di KRL aja susah. Mau jalan kaki di trotoar aja pake diteriakin ojek gila. Mau ngantri busway aja sibuk megangin kantong dan tas biar gak kecopetan hp dan dompet. Boro-boro dikasih kata-kata romantis, udah gak kepikir kalo di jalan. Kalau dulu pas kita masih di sini kita suka mikir hujan itu romantis, hujan itu bikin kangen, sekarang ngeliat mendung dikit dari jendela kantor gue di Gatsu? Gue langsung mikir, anjir! Susah nih dapet ojek.”
Kami spontan tertawa kencang, tidak memedulikan lagi keberadaan pengunjung lain.
“Jadi menurut elo nih, Mr. Cynical …”
“Eits, bukan sinis. Tapi realistis.”
“Oke. Jadi menurut Bapak Realistis, orang Jakarta nggak perlu orang yang romantis, tapi perlu orang yang, seperti nama elo, realistis …”
“… dan pragmatis …”
“… drama-free alias praktis …”
“… tidak mistis …”
“… bolehlah manis …”
“Tahu petis?”
“Tahu petis. Oh itu pesenan saya ya, mbak? Makasih.”
Kami terkekeh. Lalu mencocol tahu goreng yang masih panas ke saus petis yang hitam mengkilap. Cocok menemani udara sore hari yang basah karena hujan, di saat Jakarta sedang panas terik berdasarkan keluhan cukup banyak orang di Twitter.
“Kalau memang tidak perlu ada orang romantis di Jakarta karena orang Jakarta tidak perlu buaian kata-kata, terus apa dong yang masih … No, I mean, yang bisa laku?”
“Laku, lho, pilihan katanya! Orientasinya jelas ya.”
“Kayak yang tadi kita bahas. Pragmatis dan praktis. Be practical. If you like someone, just tell. Show the affection, give attention. Kalau gak lanjut, next.”
“Ngomong gampang, oncom.”
“Emang. And that’s the truth. Don’t waste time, honey. Cukuplah waktu elo habis di jalan kena aturan ganjil-genap plus konstruksi MRT, jangan dihabisin lagi buat ngarep ke orang yang belum tentu suka ama elo, dan ngeladenin orang yang gak jelas juga.”
Kali ini kami semua terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Mungkin sama-sama berpikir, is Jakarta that tough?
Seperti menebak isi pikiran saya, teman saya berkata:
“Jakarta emang sih keras. Tapi kerasnya Jakarta somehow bikin kita, well, at least gue, kuat. Kalaupun dibayar dengan tidak adanya keromantisan yang elo bilang tadi, ya itu juga karena gue emang gak romantis juga pada dasarnya.”
“Ya elo kan paling lempeng dari dulu.”
“Lempeng. Lemes tapi ganteng.”
“Apaan sih?”
“Ya maksud gue, akhirnya balik lagi ke orangnya kayak gimana juga. It doesn’t hurt juga kalo elo being the lovey dopey romantic. Akhirnya kan itu ngebentuk karakter elo. It defines who you are. Dan elo bisa jadi orang yang berbeda dari orang kebanyakan. Kalo semua orang harus jadi orang yang praktis dan pragmatis, where’s the fun? Jakarta jadi tempat yang ngebosenin kalo orangnya sama semua. Sementara yang bikin kita betah di Jakarta, no matter how crazy the city is, kan orang-orangnya. So just be who you are deh.”
Kami mengangguk-angguk mendengar penjelasan teman kami tadi. Sambil menatap jendela di luar kedai yang masih basah dengan tetesan air hujan, kami hanya mengetukkan jari kami mengikuti irama musik yang sedang diputar di ruangan ini.
Teman saya melanjutkan teorinya.
“Kata-kata yang elo tulis paling nggak memberikan warna di tengah monotonnya rutinitas hidup.”
“Setuju.”
“Thank you, guys.”
“Ada kan paling nggak yang pernah bilang gitu selain gue?”
Saya mengangguk, dan menambahkan.
“But words are words. You can always fabricate them anyway. You can fabricate romance. But sincerity? Gak bisa. And that’s what the city is lacking. Ya nggak?”
Kedua teman saya mengangguk.
“Tapi meskipun begitu ya, you’re doing them, people who read your words, a great service, anyway. Lagian juga, jangan didengerin bapak realistis yang sinis dan gak manis ini …”
“Eh, mulut comberan!”
” … dia juga suka sepik-sepik di DM kok.”
“It’s supposed to be rahasia, bencong laknat!”
Kami tertawa.
“Jadi kalo elo suka ngegombalin orang lewat DM …”
“Yaolo …”
“… berarti elo jago ngegombal dong?”
“Gombalnya dia mah, paling juga “kamu suka pizza juga ya? Cobain deh pizza ABCDEF. Mau aku kirim pake ojek? Alamat kamu dong.” Ngaku!”
“Hahahaha. Amit-amit!”
“Katanya praktis dan realistis to the point.”
“Bodo! Kagak temenan lagi ama kalian, dah! Dari Cengkareng ntar gak usah nebeng gue!”
Kami semakin tertawa kencang.
Happy belated birthday, Jakarta.

ini fiksi, ‘kan?
SukaSuka
Hahahaha … Bisa fiksi, bisa non-fiksi.
SukaSuka
Jadi ini keromantisan pre-Prague-visitation
SukaSuka
Hahaha. If you say so. Have no time to write here.
SukaSuka
I always say things
SukaSuka
setuju banget sama kalimat: “Sementara yang bikin kita betah di Jakarta, no matter how crazy the city is, kan orang-orangnya. So just be who you are deh”
buat gw interaksi dengan orang-orang yg hidup di jakarta mengajarkan gw untuk berani menjadi diri sendiri, dan memang lingkungan disini memungkinkan dan mengajarkan untuk itu, untuk tetap waras kalau pada kasus gw.
mungkin banyak individu yg jadi palsu buat survive, dan gak salah juga, tapi gw harus berterima kasih sama jakarta yang menjadikan gw bisa menikmati menjadi diri sendiri.
SukaSuka
Pada akhirnya memang orang yang kuat menjalani hidup, di Jakarta atau kota lainnya, adalah yang bisa menikmati menjadi diri sendiri, seperti yang mas bilang.
SukaSuka
sebenarnya, banyak kok yang suka diromantisin, atau kasarnya, digombalin.
i personally enjoy drifting and getting swept away with sweet nothin’.
tapi, mana berani mengakui terang2an bahwa itu titik lemah saya? to survive, it’s better untuk terlihat ‘kuat’ dan tidak menanggapi keromantisan melalui gestur simpel maupun pujian sederhana gitu daripada dilihat lemah atau bahkan ‘murah’… karena salah2 nanti dimanfaatkan dan dimanipulasi oleh pihak2 greedy tanpa sincerity… yang ngga kurang2 juga kan ya, di Jakarta? 🙂
SukaSuka
Jadi apakah selama ini masih memendam hasrat untuk mengakui kalo suka digombalin? 😉
SukaSuka
Dalam rangka ketakutan ditelan bulat2 oleh kejamnya kota besar, masih.
Untungnya skrg ada yang mau (kadang2) nggombalin tanpa dikasih tau pun.
SukaSuka