“MAKANNYA kok enggak habis? Nanti nasinya nangis, lho…”
Ini yang biasanya kita dengar waktu masih kecil, ketika sedang malas-malasan atau susah makan.
Ada juga cara lain–yang barangkali terlalu keras untuk diterapkan saat ini–supaya kita segera menghabiskan makanan. Mulai dari diimingi hadiah atau akan diajak jalan-jalan, diomeli dan dimarahi, ditakut-takuti, bahkan sampai dicubit serta tindakan pemaksaan lainnya. Termasuk menggunakan argumentasi yang tak logis, mengandung logical fallacy. Jangankan dipahami anak-anak, orang dewasa pun banyak yang keliru dalam memahaminya. Juga emotional blackmail.
“Kenapa enggak dimakan sih? Di Afrika sana banyak anak-anak seperti kamu yang mau makan tetapi kesusahan.”
“Kenapa enggak dimakan sih? Kamu enggak kasihan sama mama, sudah capek-capek bikinin makanan buat kamu begini.”
Padahal ada banyak alasan dan cara lain yang dapat disampaikan kepada anak-anak, agar mau menghabiskan makanannya. Bisa dengan menjelaskan konsep mubazir, membagi makanan dalam porsi yang lebih kecil dengan frekuensi lebih sering, berkreasi dengan hidangan yang digemari, dan masih banyak lagi cara lainnya.
Tujuan mereka melakukan itu semua adalah agar si kecil melahap habis sajian yang ada, sehingga mendapatkan asupan nutrisi yang cukup. Itu sebabnya, selalu ada pujian dan apresiasi khusus bagi anak-anak dengan nafsu makan yang tinggi, dan sanggup menuntaskan santapannya.
Bagaimana sekarang, setelah kita dewasa?
Selalu muncul perasaan sebal saat melihat orang-orang yang tidak menghabiskan makanannya, apalagi jika yang disisakan masih setengah porsi atau lebih. Mereka memesan atau mengambil makanan seolah tanpa mampu menakar kemampuan sendiri, seperti baru pertama kali. Karena merasa kebanyakan, lalu dibiarkan dan ditinggalkan begitu saja.
Bukan cuma saya, beberapa teman juga merasakan kekesalan yang sama. Terutama di restoran yang menyediakan sajian all you can eat, atau salad bar. Berikut contohnya, salad Pizza Hut.

Alih-alih memesan salad untuk setiap orang pada waktu makan bareng, si teman tadi akan datang membawa ini. Cukup untuk digado sampai empat orang sekaligus di luar menu utama. Tak berselang lama ada dua cewek yang masing-masing memesan salad. Sekembalinya dari salad bar, mangkuk mereka tidak terlihat penuh. Sepulangnya mereka, isi mangkuk salad masih tersisa seperempatnya. Si teman tadi pun geregetan, dan agak bersungut-sungut.
“Paling males kalau lihat makanan dibuang-buang begitu,” kata dia, yang kemudian dilanjutkan dengan pengalamannya sebagai pramusaji di Belanda selama dua tahun.
Rasa sebal itu tentu cuma bisa saya telan sendiri. Makanan tersebut adalah hak mereka sepenuhnya; entah dihabiskan, dibuang, dibeli hanya untuk difoto-foto, atau diberikan kepada orang lain. Bukan kewajiban saya pula untuk bersikap bak orang tua ala Indonesia; menasihati mereka tentang apa yang patut dan tidak, atau pun menegur. Saya baru berhak mengekspresikan kemarahan atau luapan emosi yang terjadi, apabila sisa makanan itu dilemparkan ke muka saya.
Di sisi lain, siapa tahu ada alasan khusus yang tidak saya ketahui. Mendadak sakit perut atau tidak enak badan misalnya, makanannya tidak cocok dengan selera, maupun ada panggilan darurat yang membuat mereka tidak sempat meminta pelayan membungkus sisa makanan. Jadi, pada akhirnya, ya sudahlah. Biarkan saja. Kemubaziran yang terjadi tak bisa dibatalkan lagi.
Sekilas, hal ini terkesan remeh dan sepele. Cenderung diabaikan lantaran bukan masalah penting yang perlu diperhatikan secara khusus, macam khilafah, utang negara, LGBTIQ, Asian Games 2018, Pemilu 2019, aplikasi goblok dan tetew-tetew-nya, atau fanatisme terhadap apa saja (dari agama, klub sepak bola, sampai veganisme dan faux-mindfulness movement, serta lain sebagainya). Hanya saja, hal yang remeh dan sepele ini “berhasil” menjadikan warga Indonesia sebagai orang-orang tak tahu diuntung kedua setelah … Arab Saudi.

Setiap orang di Indonesia rata-rata membuang atau memubazirkan 300 kg makanan setiap tahun. Bisa jadi termasuk mbak-mbak di Pizza Hut tadi.
Dari data di atas, namanya juga rata-rata. Total makanan terbuang dibagi jumlah penduduk. Kendati dari jumlah penduduk tersebut pasti ada yang berkecukupan, ada juga yang rentan kelaparan. Ada yang banyak makan, dan ada yang “lambungnya kecil”. Makannya sedikit-sedikit. Total makanan terbuang pun pasti terdiri dari konsumsi rumah tangga, komersial, massal, dan kegiatan atau pesta.
Sebagai individu, apa yang bisa kita lakukan?
Mulailah dengan ambil secukupnya, dan habiskan.
Kalau kurang, toh bisa tambah lagi selama masih ada. Setidaknya mengurangi potensi makanan yang tidak habis dan terbuang.
Apabila sudah mampu dan memiliki sumber dayanya, barulah lakukan cara lain. Misalnya begini.
Bukan sok pas-pasan atau ogah rugi, melainkan bersikap cermat.
[]

Tinggalkan komentar