Seorang teman lama pernah berkata di salah satu akun media sosialnya, “You are not a grown up until you have to bathe your parents.”
Waktu membaca tulisan itu pertama kali, belum pernah terbayang di kepala saya bahwa pada satu titik dalam hidup, kita akan mengalami hal itu. Atau akan melakukan hal yang serupa. Dan di saat kita berada tepat dalam keadaan seperti itu, tidak ada pilihan lain selain melakukan apa yang selayaknya dilakukan. You man up. Suddenly, you grow up.
Di sela-sela kisah mudik Lebaran dari teman-teman terdekat yang diisi dengan keceriaan bercengkerama lagi dengan sanak saudara, atau saling berbagi pengalaman menghindar dari pertanyaan-pertanyaan “kepo” yang menusuk ranah pribadi tanpa tedeng aling-aling, tak urung muncul juga beberapa kisah yang sedikit menyesakkan.
Salah satu teman saya bercerita, “Libur Lebaran kali ini membuka mata gue bahwa orang tua gue, well, semakin menua. Nyokap, yang selama ini keukeuh masak berbagai macam makanan buat Lebaran, tiba-tiba kemarin gak mau masak. Setelah gue ama kakak-kakak gue cari tahu penyebabnya, kita baru tahu kalau selama ini nyokap udah gak pernah masak sendiri. Selalu dibantu sama pembantu. Nah, kebetulan kemarin pembantu pulang lebih cepet karena ada saudaranya yang meninggal. Begitu gue sampe rumah, H minus 3, masih belum ada apa-apa dong. Sama sekali. Gue panik. Gue tanya, perlu dibantu nggak. Nyokap malah jadi kayak tersinggung gitu. Ya udah, gue tanya resepnya apa. Dia nggak ngasih tahu. Untung nyokap selama ini simpan semua resep dari jaman dulu. Gue baca lagi resepnya, terus bagi tugas sama kakak dan ipar, mulai dari belanja bahan sampai di dapur. Nah, nyokap kadang ngawasin. Tapi tiap gue tanya ini masaknya udah bener apa belum, dia malah nanya balik, “Ini kita lagi masak apa ya?” Aduh, kalo nggak karena ada deadline harus jadi semua makanan sebelum Lebaran, gue udah ngembeng. Asli. Ya udah, akhirnya gue suruh nyokap duduk aja di sofa, sambil nonton TV. Gue, yang elo tahu sendiri selalu pesen GoFood tiap hari, akhirnya bisa lho masak 6 jenis makanan Lebaran khas keluarga besar gue. Sholat Ied bablas sih, abis harus ngaduk terus supaya sayurnya gak basi. Cuma ya itu, di situ gue sadar kalo nyokap udah makin tua. Dan seriously, I’m afraid to think that time is soon to be no longer on my side, man.”
Mendengar cerita teman saya, terus terang saya tercenung. Pertama, karena sebelum bertemu dengan teman ini, saya bertemu dengan teman lain, yang menceritakan bahwa dia menghabiskan malam takbiran kelliling apotik di kota kecil tempat dia mudik, untuk mencari obat buat orang tuanya yang mendadak sakit. Kedua, cerita tersebut mau tidak mau menjadi pengingat buat saya.
Kesehatan ayah saya bisa dibilang fluktuatif selama beberapa tahun terakhir. Meskipun secara umum dia masih terlihat bugar, namun ada beberapa episode di mana level kesehatannya menurun. Pertama kali terjadi serangan terhadap daya tubuhnya, kami sekeluarga panik. Termasuk saya, karena waktu itu pertama kali saya harus memegang tubuh ayah saya yang tidak berdaya di rumah sakit, termasuk mengganti pakaian dan merawatnya. Saat itu terjadi, saya tidak berpikir apa-apa lagi, hanya bersyukur karena masih bisa berada di situ untuk menangani langsung.
Setelah kejadian tersebut, ada beberapa kejadian serupa lagi dengan frekuensi waktu yang cukup jarang, sehingga saya dan anggota keluarga lain lebih siap untuk bereaksi dan bertindak.
Namun tak urung juga ada beberapa saat di mana saya bertanya, “Am I ready for what’s to come?”
Saat ini saya bukan orang tua yang mempunyai anak. Namun dari semua cerita teman-teman yang menjadi orang tua, hampir semuanya berkata sama, “You are never ready to be parents until you hold your baby on your hands. That’s when the real scary s**t starts!”
Demikian pula dengan mereka yang harus ditinggalkan orang tuanya. Semuanya pasti berkata. “You are never ready, until you are there, often unwillingly.”
Selain anak, faktor keberadaan dan keadaan orang tua sering kali menentukan rencana hidup kita. Seorang teman terpaksa menunda rencananya untuk pindah ke luar kota dan mengembangkan usahanya, karena “nyokap sudah sering sakit-sakitan. Kalau gue pindah, siapa yang bisa ditelpon dan langsung datang saat itu juga?” Sementara teman lain juga memilih untuk pindah kembali ke rumah orang tuanya, dengan alasan yang sama.
Menerima kenyataan bahwa orang tua kita pada akhirnya menjadi orang yang tua dan perlu perhatian khusus sering kali tidak mudah. Mungkin tidak akan pernah mudah. Semua rencana yang sudah kita atur, sering kali harus berganti total saat kita akhirnya harus menjaga orang tua kita.
Saya ingat cerita “Sabtu Bersama Bapak” karya Aditya Mulya, yang juga diamini oleh orang tua saya, bahwa orang tua yang baik tidak pernah ingin merepotkan anak-anaknya. Saat orang tua mengajari anak-anaknya untuk jadi mandiri, tanpa sering disadari orang tua juga sedang mengajari diri mereka untuk jadi mandiri juga, siap untuk melepas anak-anaknya menjalani kehidupan sendiri.
But then blood runs thicker than water. Apalagi darah kekeluargaan. Tak urung kita sebagai anak yang akhirnya melakukan pilihan untuk bersama orang tua selama masih bisa.
Sebelum akhirnya orang tua menjadi memori, sebisa mungkin mereka bisa kita temani. Baik dalam pertemuan langsung, atau lewat rutinitas menelpon mereka secara berkala.
Dan kalaupun sudah menjadi memori, mereka tak pernah pergi dalam doa kita.
And that’s when we finally grow up.
❤
SukaSuka