Basa Basi (Tidak) Busuk

SESEORANG menitipkan tulisan ini.


“Apa kabar?”

Pernah merasa jengah dengan basa basi?

Sama, saya juga. Seringnya orang-orang sebenarnya tidak ingin tahu jawaban dari pertanyaan di atas. Pertanyaan itu juga biasanya dijawab dengan normatif, balasan standar satu kata yang harus dibalas dengan menanyakan pertanyaan yang sama ke penanya. Kadangkala keceplosan, penanya tadi menjawab dan menyakan kembali “lo gimana?” #seringterjadi

Bagi sebagian orang, menanyakan kabar merupakan fase pembicaraan yang harus dilalui sebelum berlanjut ke topik berikutnya. Demikian pun, ada juga yang mengambil kesempatan untuk mencurahkan isi hati terdalam tanpa permisi yang seringnya berujung jeritan hati pendengar, “Gue cuma nanya kabar hoi! Bukan kisah hidup!”

Pernah suatu kali saya berbasa basi menanyakan kabar salah satu rekan sejawat yang dijawab dengan “Gue habis berantem sama partner gue, tadi dia drop gue di kantor dan gue sama sekali gak ngomong sama dia sedikitpun! Masa dia…” Dan dilanjutkan dengan ekstra 20 menit detail hubungan mereka yang semakin dingin dan rentan masalah, yang saya simpan di kotak “Informasi kurang bermanfaat” di pikiran saya.

Seorang sahabat yang saya ceritakan mengenai kejadian itu berkelakar, “Makanya jangan bertanya open-ended questions! Itu sih cari masalah namanya!”

Baru-baru ini kita dikejutkan dengan meninggalnya Kate Spade, designer fashion kondang di Amerika. Kate ditemukan gantung diri di apartemennya di New York, dan dilaporkan sudah berjuang 5 tahun melawan depresi dan kecemasan. Suami Kate memberikan penjelasan bahwa Kate secara aktif berusaha untuk sembuh, bertemu dokter setiap minggu dan mendapatkan pengobatan untuk depresi dan kecemasan yang dia alami.

Tak kalah kaget juga waktu mendengar Anthony Bourdain ditemukan bunuh diri pada umur 61 tahun. Tidak sedikit orang yang bilang, “Enak ya kerja kayak Anthony Bourdain! Keliling dunia sambil makan-makan!” tanpa menyadari bahwa yang menjalani pun belum tentu merasa semudah dan seenak itu hidupnya. Benar, yang kita lihat makan-makan dan jalan-jalannya. Tapi bagaimana dengan sisi lain kehidupannya yang tidak pernah terekspose?

Sebelum Kate dan Tony, kita juga sudah mendengar mengenai Robin Williams, Chester Bennington dan juga pesohor-pesohor lain yang akhirnya tunduk oleh tekanan hidup dan memutuskan untuk mengakhiri hidup mereka sendiri dengan satu maupun lain cara. Berita yang tersebar, mereka memang melalui masa-masa sulit dan melawan depresi di akhir hidupnya.

Death doesn’t discriminate between the sinners and the saints.

Sialnya, demikian juga dengan penyakit kejiwaan. Tidak hanya menyerang artis-artis tapi juga rakyat jelata- karyawan kantoran, polisi, pengangguran, mahasiswa, ibu rumah tangga, pelajar juga bisa mengalami depresi atau penyakit-penyakit jiwa lainnya. Entahlah, saya sendiri masih belum yakin apa sekarang ini semakin banyak orang yang mengalaminya atau dengan pemberitaan zaman modern semakin banyak kasus yang terekspose oleh khalayak ramai. Tapi yang saya sadari, penyakit kejiwaan bukan lagi menjadi sesuatu yang asing yang kita dengar.

Death doesn’t discriminate between the sinners and the saints.

We will all live to face it eventually. Still, that does not justify you taking your own life.

Kalau kalian merasa cemas, sedih, depresi, takut dan merasa tidak normal, tolong cari bantuan. Cari orang-orang yang kenal dan peduli dengan kalian, cari bantuan profesional–there is no shame in seeking help. Tidak ada yang memalukan dari berusaha sembuh dan hidup “normal”, apa pun itu bentuknya. Tolong jangan berobat sendiri, karena asal minum obat sendiri never ends well.

Pernah saya mendengar kabar bahwa teman satu SD, yang pernah duduk di sebelah saya pada satu masa ditemukan gantung diri di kamarnya. Menurut kabar, ia baru saja putus dengan pacarnya waktu itu dan tengah-tengah mengerjakan skripsi, bapaknya juga sedang sakit waktu itu.

Saya tercenung. Gamang waktu mendengar berita tersebut beredar di alumni sekolah kami. Dia kurang lebih seumur saya. Orang tuanya masih hidup. Dan orang tuanya harus kehilangan anak yang semestinya masih memiliki jalan panjang dalam kehidupannya. Orang tua harus menguburkan si anak. Teriring doa supaya orang tuanya tetap tabah dan terus menjalani hidup.

Saya sesungguhnya sudah tidak ada kontak semenjak kami berpisah sekolah. Bahkan waktu kami satu sekolah, saya bukan termasuk golongan teman-temannya. Tetapi saya juga bertanya-tanya, apa kira-kira akan berbeda kalau ia membuka diri dan mencari pertolongan saat ia mengalami masalahnya?

Kalau kalian merasa normal dan baik-baik saja, bersyukurlah. Sebagai yang “waras”, ingat bahwa kalian bisa ikut membantu orang-orang yang tidak seberuntung kalian dengan berusaha membangun koneksi dengan mereka. Dari pengalaman saya, banyak orang yang menderita dalam diam dan mempertanyakan kewarasan mereka dalam konteks yang tidak bercanda. Dihantui rasa takut akan kehilangan kendali akan diri. Perasaan gelap yang menghantui tanpa ada jalan keluar yang terlihat. Keengganan untuk melakukan apapun. Hati yang terasa berat. Takut tidak dimengerti. Takut ditertawakan. Takut dipermalukan. Dan banyak lagi perasaan kompleks yang tidak biasanya ada atau tidak dirasakan dengan kadar berlebih oleh orang yang “normal” pada umumnya.

A tweet snippet.

Saya juga punya pengalaman pribadi dalam hal ini–saya pernah “menyelamatkan” (dia yang bilang, bukan saya) seorang sahabat saat dia hampir bunuh diri. Dia bilang dia sudah menyiapkan semuanya, lalu saya mengontak dia melalui chat untuk menyapa dan menanyakan kabarnya. Dia batal bunuh diri karena akhirnya membalas chat saya dan masih hidup sampai sekarang. Saya sendiri tertegun waktu dia cerita ke saya. Bukan, bukan mau bilang saya ternyata bisa menyelamatkan orang. Hanya mau bilang ternyata sapaan dan perhatian itu yang kadang bisa berimbas lebih besar buat yang lebih membutuhkan.

Di Australia, ada organisasi “R U OK?” (ruok.org.au) yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran tentang orang-orang yang mungkin butuh pertolongan dan tidak bisa mencari atau memintanya.

Websitenya berisi petunjuk dan bantuan untuk memastikan orang-orang lebih sadar dan memberi perhatian lebih pada pertanyaan “Are you okay?” dan juga tindakan lanjutan apabila yang ditanya membutuhkan bantuan. Bukan hanya itu, website ini juga memberikan petunjuk supaya kita tidak asal bertanya. Sebagai salah satu tahapan, bahkan diberikan petunjuk, apakah kita siap menerima kala yang ditanya menjawab tidak baik-baik saja? Apakah kita siap membantu? Apakah kita memilih saat yang tepat? Silakan dibaca, barangkali bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari kita semua.

Akhir kata, kita bisa lebih terlibat dan membantu orang-orang di sekitar kita. Jangan anggap sepele menanyakan kabar orang lain. For better or worse, be genuinely interested in people’s life. Mungkin mereka tidak bersedia berbagi, ya tidak apa-apa.  Tapi mungkin pertanyaan itu menjadi suatu kunci, suatu terang yang ditunggu-tunggu yang ditanya untuk bisa mendapatkan bantuan atau dukungan. Yang saya sebut di atas hanyalah satu medium yang bisa mencontohkan bagaimana caranya, tapi saya yakin kita masing-masih bisa lebih punya simpati dan empati terhadap orang lain selama kita menjalani hidup kita sendiri. Or you can just not care. The choice is all yours. Eitherway, jangan menghakimi dan menertawakan orang dengan berbagai perjuangannya. Toh hidup orang lain bukan kita yang menjalani.


Sekian.

[]

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s