Anak Kecil Wajib Punya Ayah

Ketika saya masih kecil, yang penting itu saat saya merengek minta jajan, ayah saya sanggup membelikannya. Ndak penting ayah punya uang atau ndak. Saya ndak peduli ayah kerjanya jadi karyawan swasta, dokter, atau berjualan kupat tahu depan rumah. Saya ndak peduli. Apa yang saya butuhkan cuma satu: ayah saya menyanggupi kebutuhan keinginan saya. Mau ayah saya bolos bekerja. Mau ayah saya kerjanya siang malam, dari pagi hingga larut malam, atau kaki jadi kepala dan kepala jadi entah apa.

Children-Come-First-56a25fc65f9b58b7d0c9724d

Anggap saja profesi ayah saya adalah “Agama”. Maka saat itu saya ndak peduli Ayah beragama apa. Mau dalam beragama Ayah saya sering bolos, atau siang malam jalankan ritual ibadah, saya ndak tau menahu. Tetap yang jadi nomor satu adalah: saat mau beli mainan, saya dibelikan. Titik.

Anggap saja saya adalah “Orang sekitar”. Maka bagi orang sekitar, jalankan agama atau tidak itu ndak penting. Selama orang sekitar terpenuhi kebutuhannya. Merasa senang, sudah cukup. Orang sekitar ndak peduli apakah agama itu dianut benar-benar atau sekadar simbol saja.

Anggap saja kebutuhan keinginan saya adalah “Kehidupan bermasyarakat”. Maka Orang sekitar itu ndak peduli soal agama. Hal terpenting adalah saat menjalani kehidupan bermasyarakat dapat merasa senang dan bahagia. Sudah. Itu saja cukup.

Maka sejatinya orang sekitar kita itu ndak peduli sejatinya agama saya dijalankan dengan baik atau tidak, selama saya dapat menjalankan kehidupan bermasyarakat sesuai keinginan orang sekitar, maka tugas agama selesai.

Seorang anak kecil ndak mungkin nuntut ayahnya harus jadi dokter. Atau merengek minta ayahnya berganti profesi sebagai nelayan yang rajin tangkap ikan pakai jala dan sekaligus dilarang pakai kail. Sesuatu yang berlebihan. Biarkan seorang ayah memilih sendiri profesi apa dan bagaimana menjalani profesinya.

Dalam bernegara itu ndak penting anda sholat atau tidak. Ndak penting anda itu rajin ke mesjid atau ndak. Yang penting adalah hasilnya. Bentuk turunan lanjutan dari beragama yaitu perilaku. Orang sekitar lebih memilih dan menyukai agama yang menelorkan kehidupan masyarakat yang kalau naik motor pakai helm. Orang sekitar lebih mengharapkan pengendara mobil itu saat ada lampu merah ndak dilanggar. Orang sekitar berharap saat mengantre tidak diserobot. Berharap toilet duduk itu ndak kotor karena dijongkokin pemakai sebelumnya.

Menjadi berlebihan, ketika seorang anak kecil bukannya sibuk belajar, tapi malah sibuk mengurusi profesi ayahnya. Ayah kudu rajin kerja. Tugas kantor ayah sudah dikerjakan belom. Anak kecil yang baik itu lebih baik merengek saja. Menjadi anak kecil yang sejati. Ndak mikir apa-apa kecuali dibelikan mainan dan berpuas diri.

Demikian juga dalam masyarakat madani. Masyarakat ndak membutuhkan hal primer berupa agama dalam bentuknya yang masih RAW. Bukan agama mentah yang  memamerkan wujud ibadahnya kepada Tuhan. Justru yang dibutuhkan adalah hasil olahan dalam beragama. Produk jadi yang siap dipasarkan dan dinikmati publik. Yaitu akhlak dan perilaku yang sesuai dengan kehidupan bermasyarakat.

Anak kecil ndak butuh seorang ayah yang dokter dan mengenakan stetoskop kemana-mana, atau sibuk mendiagnosis pasien, atau suntik sana suntik sini. Njus. Njus. Njus. Anak kecil lebih butuh duit jajan dan bayaran uang sekolah yang memadai. Oleh karenanya orang sekitar kita pun demikian. Ndak peduli kita pakai kopiah atau selalu mengucapkan salam, tapi kita tetap malas diajak kerja bakti, korupsi duit negara, atau dengan sengaja dan tanpa perasaan bersalah duduk di korsi ibu hamil di sebuah moda transportasi yang kebetulan sesak.

Sudah saatnya simbol agama dan religius bukan lagi dianggap menjadi sebuah kemuliaan paling hakiki. Melainkan dicerminkan oleh hasil olahan dalam beragama itu. Menjadi warga yang santun, baik budi pekerti dan tepa salira.

Orang sekitar ndak peduli kamu itu sholat apa ndak. Ngapain anak kecil tau bapaknya dokter yang super sibuk tapi uang sekolah ndak pernah dibayarkan. Minta duit jajan ndak pernah diberikan. Orang sekitar lebih butuh kehidupan bermasyarakat yang nyaman.

Bahkan bisa jadi Ayah ndak perlu bekerja. Uang jajan bisa saja ada tersedia tanpa bekerja. Uang warisan, utang mertua, atau punya usaha dimana mana dan lancar dividennya. Anak kecil ndak perlu pusing darimana duit ayah berasal. Tapi untungnya masih ada Ketuhanan yang Maha Esa. Artinya:

Anak kecil harus punya Ayah. Menjadi warga negara wajib beragama.

Ayah boleh bekerja atau tidak, asal punya uang untuk anaknya. Agama silakan dijalankan secara religius atau tidak, ndak jadi soal. Yang penting, kehidupan bermasyarakat yang gemah ripah loh jinawi bagi orang sekitar.

Sudah itu saja.

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s