TANGGAL hari ini cantik, 6-6. “Liu-liu” bunyinya, kalau dilafalkan dalam Mandarin. Mungkin gara-gara itu banyak orang Tionghoa yang lumayan suka dengan angka 6. Meskipun rasa sukanya belum sekuat seperti pada 7, 8, dan 9, yang masing-masing ialah “qi” (dibaca: chi), “ba” (dibaca: pa), dan “jiu” (dibaca: ciu). Oh, ya, kenapa ada tulisan yang berbeda dengan cara bacanya? Karena penulisan itu adalah Pinyin, sistem transliterasi untuk memudahkan pembelajaran dan pembacaan, khususnya bagi bukan penutur bahasa Tionghoa.
“Liu”-nya angka 6 (六) punya pelafalan yang sama dengan “liu” yang berarti mengalir atau bergerak (流). Mirip juga dengan “liu”-nya sejenis pohon dedalu atau willow (柳), yang aslinya tidak sebuas whomping willow dalam cerita Harry Potter. Makanya seringkali kita mendapati lukisan-lukisan Tionghoa dengan pohon willow sebagai objek utamanya, terpasang di ruang tamu rumah maupun kantor. Supaya kehidupan di situ mengalir. Doa dan harapannya begitu. Itu sebabnya rumah orang Tionghoa penuh dengan simbolisasi, bermacam-macam rupa. Setidaknya bagi mereka yang masih mengerti dan memahami … dan masih peduli … dan masih hidup.

Oh, well, nevermind.
Air dan udara mengalir. Ini sesuai prinsip fisika. Air yang mengalir jauh lebih baik daripada genangan. Air yang mengalir berarti tidak ada yang buntu. Dari ketinggian, mengucur deras ke arah bawah. Air yang menggenang jadi tempatnya nyamuk bertelur, sumber penyakit, berlumut, dan berlendir. Kental-kental bikin geli. Bukan geli yang enak, tetapi geli yang bikin jijik.
Udara yang mengalir artinya kehidupan. Kalau udara tidak mengalir, tidak bakal ada proses pernapasan. Udara yang mengalir pun pertanda kenikmatan. Enggak percaya? Coba sekali-kali dihayati saat akan berkentut, tanpa ditahan-tahan. Nikmat, kan? Asal jangan los kentutnya saat berada di dalam lift. Kenikmatan untuk kita, jadi penderitaan bagi orang lain. Tak elok pula kalau kentutnya dipaksa-paksa. Biarlah udara yang satu itu terdorong dan keluar secara alamiah. Kalau dipaksa, nanti keluar bareng temen-temennya. Bisa berabe kalau terjadi bukan pada tempatnya.
Demikian juga soal hidup. Biarlah mengalir dan bergerak sesuai kondisinya. Ke kanan dia bergulir, ya sudah ke kanan juga kita melangkah. Ke kiri dia berbelok, ikuti arah alirannya. Ke depan dia menuju, jalani apa yang ada. Yang penting harus tetap bergerak. Tidak mentok, tidak mandek, tidak mampet.
Perkataan dan pikiran juga sebenarnya mengalir, bagi yang menyadarinya. Malah saking lancarnya, sampai-sampai lebih susah dibendung ketimbang air dan udara. Mau dibendung pakai apa pula? Perkataan dan pemikiran bisa muncul dan terus muncul pada banyak orang. Tatkala diucapkan dan disampaikan, bisa menginspirasi, mengilhami, memotivasi, dan menggerakkan lebih banyak orang lagi. Apalagi jika para pendengarnya punya antusiasme tinggi, seperti hadirin kelas filsafat tanpa biaya yang diselenggarakan di Jakarta Timur secara berkala, atau mereka-mereka yang jadi jemaat gereja-gereja keren kekinian di Jakarta Selatan: suka mencatat.
Ada yang pakai notes, ada yang pakai binder seperti anak kuliahan, ada juga yang lebih suka mengetiknya di gadget. Entah nantinya catatan itu dibaca dan diresapi kembali di saat senggang, dibagikan sebagai pengajaran bagi sesama, ataukah jadi caption di media sosial. Semua boleh saja, yang penting tidak berhenti di situ saja dan ada faedahnya. Mengalir. Dialirkan.
Manusia memang ahlinya membendung. Bukan cuma bikin bendungan lho, ya, tetapi berkemampuan untuk mengarahkan dan mengalirkan. Terutama air dan udara. Mulai dari Kaisar Yu yang pertama kalinya berhasil mengatasi banjir bandang di Tiongkok kuno, sampai ke Aang sang avatar airbender. Namun, beda keadaannya kalau sudah menyangkut perkataan dan pikiran. Bukan melulu orang lain yang mampu membendung atau mengarahkan kedua hal tersebut, melainkan si empunya perkataan dan pikiran tersebut.
Mau sekuat apa pun seseorang membendung perkataan dan pikiran orang lain, pasti bisa tetap bocor juga, atau lebih banyak bermunculan yang serupa. Hanya si pemiliknya sendiri yang dapat benar-benar membendung, mengarahkan, menahan, mengendalikan aliran perkataan dan pikiran. Sekali seseorang sudah memutuskan untuk tidak mau mengutarakan perkataan dan pikirannya, terlebih atas dasar alasan tertentu yang kuat, sudah pasti terkunci rapat. Mau dipaksa sekuat apa pun, pasti tak bisa tembus.
Terberkatilah Indonesia, tempat di mana seorang Pram dilahirkan … dan terberkatilah Pram, yang dengan karya-karyanya terus mengalirkan ide, pemikiran, semangat, serta gagasan gerakan sejauh ini. Tengah berada dalam situasi sepelik dan setidak nyaman apa pun, dia tetap menulis. Dia tetap mengalirkan pemikirannya, yang untungnya bukan jadi sekadar lisan, melainkan kumpulan tulisan. Buku, lembar-lembar catatan, sampai kertas bekas pembungkus semen yang diperlakukan laiknya artefak pustaka. Tuh, sedang dipamerkan hingga sekarang, kalau tidak salah.
Selain Pram, tak kurang-kurang tokoh Indonesia yang kita kenal terus menulis, berpidato dan memberikan kuliah terbuka, berdiskusi dengan eloknya tanpa peduli bendungan, batasan, maupun kekangan yang dipasang oleh zaman.
Andaikan mau dipikir-pikir lebih mendalam, kita saat ini sesungguhnya juga demikian. Makin bebas mengalirkan perkataan dan pemikiran tak ubahnya para figur merdeka terdahulu. Bedanya, perkataan dan pemikiran mereka bermanfaat. Bukan semata-mata hal sepele macam ngrasani wong liya, bersungut-sungut, serta bergunjing-gelinjang. Nihil batas.
Ya bisa jadi, dan jelas saja, kita memang tak semendalam, seberwawasan, sepatut, dan semulia mereka-mereka yang terdahulu. Hanya saja, lagi-lagi, mbok ya sedikit jeli saat berkata dan berpikir. Biarkanlah keduanya mengalir sebaik-baiknya keperluan, bukan malah sengaja ditumpahkan begitu saja. Mengganggu orang lain, menyebabkan kerusakan.
[]