FERLY, sebut saja demikian. 26 tahun usianya saat ini.
Dilihat dari feed Instagram dan foto-fotonya di Facebook, Ferly memiliki kehidupan yang tampak hampir sempurna. Tidak hanya yang menampilkan dirinya di tengah-tengah pesta, di lokasi-lokasi bergengsi penuh gaya, ada banyak foto lain yang menunjukkan bahwa karier Ferly sedang gemilang-gemilangnya.
Sesekali, ia membagikan posting-an inspirasional melalui akun LinkedIn. Berisi empat-lima paragraf komentar lugas mengenai isu-isu terkini yang berkaitan dengan bidang profesinya. Maklum saja, ia seorang manajer perusahaan FMCG terkemuka. Sudah cukup dikenal berwawasan luas dan cerdas, tepat bertindak, luwes bergaul, dan punya visi yang kuat. Semua itu membuat Ferly selalu jadi incaran perusahaan-perusahaan lain yang ingin “membajaknya”.
Kepribadian Ferly yang hangat dan bersahabat tidak hanya ditunjukkan kala berinteraksi dengan khalayak. Di mata para teman, terlebih keluarga, Ferly adalah seseorang yang sangat menyenangkan. Penuh perhatian, dan selalu punya tenaga yang cukup untuk mencurahkan luapan perhatian tersebut.
Membahas tentang Ferly, kurang lengkap bila belum berbicara tentang seleranya terhadap seni dan gaya.
Fisik Ferly memudahkannya dalam penampilan; bermacam model pakaian cocok dikenakannya. Elegan saat memberikan presentasi bisnis kepada mitra dan kolega, keren saat berbaur dalam pesta maupun aktivitas sosial lainnya. Ia juga memiliki kecintaan khusus pada seni kontemporer. Terlihat dari bagaimana caranya mengapresiasi lukisan dan kriya pahatan maupun logam dari seniman-seniman Indonesia. Ia tidak sok-sokan mengharamkan diri dari berswafoto di depan karya, tetapi juga memiliki referensi dan kedalaman argumentasi saat memberikan apresiasi. Apa dan bagaimana cara dia menjelaskan pandangan artistiknya, mengesima.
Kita cukupkan sampai di sini.
“Tuhan itu adil.” Demikian ungkapan yang populer di pendengaran kita sejauh ini. Namun, maknanya ganda.
Bisa diutarakan sebagai bentuk kemakluman, bahwa tiada seseorang pun yang sempurna. Di balik segudang kelebihan, keutamaan, dan anugerah, ternyata tersimpan sejumlah ketidakberuntungan.
… atau sebenarnya malah menjadi tanda bahwa kita iri dan dengki terhadap yang bersangkutan. Diam-diam berharap ada satu atau dua kekurangan dan kondisi tidak beruntung yang terjadi pada seseorang tersebut. Tidak bisa benar-benar menerima keadaan diri sendiri, dengan kekurangan di sana sini.
“Ah, pasti ada kurangnya kok. Kita belum tahu aja.”
Demikianlah cara kerja jebakan pembandingan (comparison trap). Sesuatu yang menjauhkan kita dari rasa bersyukur, mengaburkan kita dari semua potensi dan kelebihan yang sebenarnya kita miliki, serta menciptakan ilusi jarak antara kita dengan kebahagiaan kita sendiri.
Bukan masalah si Ferly, apabila kehidupannya penuh dengan kebaikan, kualitas, anugerah, dan keberuntungan. Melainkan jadi masalah bagi orang-orang lain, yang mengeluhkan keadaan dirinya sendiri saat dibandingkan dengan kehidupan Ferly. Terlepas dari sesederhana dan sebersahaja apa pun Ferly ingin bersikap dalam menjalani kehidupannya, tetap bisa terlihat enviable, bikin iri dan kepingin juga.
Begitu pula sebaliknya, bukan keharusan bagi si Ferly untuk turut mengekspose kemalangan dan kekurangan yang ia alami. Bukan juga kewajiban orang-orang lain untuk turut dibebani dengan sekumpulan problemnya si Ferly. Jadi, tidak salah bila gambaran kehidupan Ferly yang dibagikannya ialah yang baik-baiknya saja. Penuh senyum dan tawa, yang indah-indah dan menyenangkan siapa pun pemirsanya.

Apakah kunci kebahagiaan dalam hidup?
Bagi banyak orang zaman sekarang adalah … uninstall Instagram, mute Twitter, dan menutup akun Facebook. Alias berusaha menghindarkan diri dari segala media yang secara terus menerus menyediakan gambaran baik nan indah orang-orang lain di luar sana. Sebab pada kenyataannya, kita belum tentu sanggup menerima semua gempuran tersebut. Tidak semua dari kita dibekali kebijaksanaan dan kemampuan untuk melihat segala sesuatu dengan sebagaimana mestinya, apalagi memanfaatkannya dengan maksimal.
Upaya membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain memang memiliki dua orientasi, ke atas, dan di bawah. Hanya saja, kita cenderung lebih memilih untuk terlena dengan semua yang ada di atas, serta sengaja mengabaikan pandangan kita ke bawah. Idealnya, semua bergantung pada bagaimana cara kita mengolah informasi yang diterima; dalam hal ini, informasi mengenai segala hal yang baik dalam hidup si orang lain tersebut. Motivasi untuk melakukan perbaikan diri, upaya untuk mencapai perkembangan dan kemajuan dalam hidup, muncul sebagai dampak positif dari perbandingan ke atas.
Berkebalikan dengan itu, dampak negatif dari perbandingan ke atas seringkali—dan utamanya—dipengaruhi pandangan serba kekurangan terhadap diri sendiri. Self-esteem yang rendah kerap disebut sebagai sebuah ramalan yang sahih, yang pasti akan jadi kenyataan. “Ramalan” tersebut dipatuhi dan diiyakan, self-fulfilling prophecies, sehingga segala kekurangan yang muncul dianggap sebagai sebuah kewajaran yang tak terhindarkan. Akan menjadi sangat berbahaya bila pandangan tersebut selalu diakomodasi, lantaran dapat mengantarkan seseorang kepada risiko mental. Di satu titik, hingga menuju ambang risiko depresi.
Lalu, harus bagaimana untuk menanganinya?
Bakal ada lusinan jawaban berbeda, dengan pendekatan yang beragam pula. Yang jelas, kuncinya adalah motivasi dan keinginan dari dalam diri. Benar-benar muncul dan berpengaruh mengubah semuanya secara drastis. Pandangan hidup, pandangan terhadap diri sendiri, tindakan dan sikap hidup menanggapi sesuatu.
Teorinya, terdapat berbagai faktor yang bisa menimbulkan dorongan dan keinginan berubah dari dalam diri setiap orang. Misalnya, ada yang sadar setelah memahami alasannya: “Kenapa aku begini, padahal aku bisa begitu?” yang memungkinkan terjadinya dialog dengan diri sendiri; ada yang baru tergerak atas desakan dan pengaruh dari seseorang; setelah adanya kejadian yang mengejutkan; dan masih banyak lagi.
Silakan cari dan temukan sendiri. Yang penting, jangan asal memasang-masangkan standar kebahagiaan maupun penderitaan. Kebahagiaan kita berbeda dengan kebahagiaan orang lain. Begitupun penderitaan kita tidak mesti sama dengan penderitaan orang lain.
[]