Suzuki Ignis biru melesat zig-zag di antara beberapa mobil yang berjalan lambat karena macet. Bajingan kecil ini hampir seperti motor roda dua di ruas jalan berkapasitas empat baris. Mobil yang cocok dengan kebutuhan Iman yang harus segera sampai di kantor cabang utama tempatnya bekerja sebelum pegawainya bubar jalan habis makan siang. Ini mobil ke tiga Iman setelah dua sebelumnya ndak mampu mengimbangi kesibukannya.
Iman hapal betul, tuntutannya ndak bakal diproses kantor pusat tanpa otorisasi kantor cabang utama. Kantor cabang utama ndak akan dengar tanpa restu kantor cabang pembantu. Dan cabang pembantu ogah repot kalau ndak disetujui pihak operasional kantornya. Perusahaan thogut ini pantas bubar, pikir Iman. Mau didengar saja berbelit-belit.
Iman sedang goyang. Pasalnya sekretaris baru bosnya pakai rok mini. Ndak bisa dibiarkan. Bukan hanya bisa mengotori pikirannya, tapi akan mengundang bencana di lingkungan kantor Iman. Laknat yang cuma Iman yang bisa mencegahnya. Bagian personalia diam saja. Kawan satu divisinya sering pergi ke luar kota. Tinggal Iman yang bisa diandalkan. Ia harus bertindak, sekarang juga!
Iman punya enam kualitas personal yang menakjubkan. Ia percaya diri, ndak suka menunggu, teguh pendirian, kompetitif, sukar didebat dan sensitif pada lingkungannya. Dosen kuliahnya dulu menjuluki Iman sebagai mahasiswa yang paling cemerlang dan keras kepala di antara kawan-kawan satu angkatan. Ndak salah kalau karir Iman meroket. Ia tumbuh jadi manajer pemasaran paling dipercaya setelah meraih gelar Master hanya dalam waktu satu tahun sejak kelulusan sarjana strata satu. Apapun yang ia jual, pasti ada yang beli. Laku keras. Ia sentuh kayu, kayu jadi emas. Sentuh emas, emas jadi berlian. Pencapaian luar biasa yang tak terbandingkan, bahkan oleh atasannya sendiri.
Kualitas setara Iman tentu saja jadi aset vital perusahaan. Ialah ujung tombak saat perusahaan mau memperluas pasarnya. Atau memperkenalkan produk baru, entah dibutuhkan maupun ndak oleh orang banyak. Tingkat kepercayaan pelanggan pada Iman sudah menembus batas nalar. Beberapa bahkan rela menggadaikan semua milik mereka. Sekarang ini, bualan imanpun akan diamini banyak pelanggan.
Suzuki Ignis biru sudah sampai di gerbang masuk. Satpam kantor cabang utama siap siaga tiap kali bajingan kecil ini datang. Ia tiup peluit keras-keras memanggil petugas valet yang berjarak sekitar lima puluh meter di dekat pilar lobby. Seketika petugas valet berhamburan menghampiri Suzuki Ignis biru. Iman keluar dengan wajah bertekuk menandakan tingkat kegentingan yang ndak bisa ditunda lagi. Melemparkan kunci ke salah satu petugas terdekat. Lalu masuk melalui pintu VIP tanpa mesin pemindai keamanan. Iman ndak punya waktu untuk memperhatikan bahwa petugas yang menerima lemparan kuncinya bukan petugas valet, melainkan petugas kebersihan yang baru saja selesai mengemasi sampah di lobby. Ia tercekat sesaat, sampai seseorang meraih kunci tersebut dari tangannya.
“Ayo cepet ngucap. Untung Pak Iman lagi buru-buru. Bisa kena marah kamu sembarangan pegang kuncinya…”
“Loh, wong Pak Iman sendiri yang salah lempar kok…”
“Udah diem kamu! Dikasih tau kok malah balik nyalahin Pak Iman. Dipecat kamu nanti.”
Iman memasuki salah satu dari enam elevator yang saling berhadapan tiga-tiga. Empat orang di belakangnya mengurungkan niat untuk naik satu tarikan dengan Iman. Mereka pilih menunggu elevator lain. Iman ndak pikir lama, ia tekan tombol 7 diikuti tombol tutup pintu meninggalkan keempat orang tadi saling berpandangan di hadapan elevator.
“Mbak Teges, saya mau melaporkan Cinta, sekretaris baru yang pakai rok pendek. Kalau bisa dikeluarkan segera. Hal seperti ini nggak bisa dibiarkan.”
“Pak Iman. Baru kemarin lusa lho kami memproses pak Sabar atas laporan bapak soal nyanyian Pak Sabar di toilet.”
“Ini beda!”
“Seminggu lalu pak Adil juga keluar karena Pak Iman keberatan sama lukisan beliau.”
“Gambar Palu Arit dilarang!”
“Mas Tentrem juga baru…”
“Sesat si Tentrem itu. Kejawen!”
Iman menandatangani laporannya dengan harapan Cinta segera angkat kaki seperti Sabar, Adil, Tentrem dan lainnya yang sudah berhasil ia singkirkan. Perusahaan tempat ia mengabdi haruslah bersih dari perilaku-perilaku meresahkan, ndak sesuai tatanan atau menyimpang. Ia tancap gas lagi sebelum macet semakin parah. Ndak sampai satu jam Iman sudah sampai di apartemennya. Menunggu cemas jawaban dari kantor pusat atas keluhannya barusan.
Baru saja Iman mau menghubungi Mbak Teges lagi menanyakan kelanjutan laporannya, sebuah e-mail berkedip di layar ponsel. Dari kantor pusat.
“Kepada YTH Iman,
Kalau betul kamu Iman yang sesungguhnya, apapun yang dilakukan orang lain di atas bumi ini tidak akan menggoyahkanmu. Perusahaan tidak membutuhkan Iman yang mudah luntur hanya karena nyanyian, lukisan, apalagi rok mini
Tabik,
Direktur Utama dan Satu-Satunya.
Catatan: Kembalikan Suzuki Ignis biru karena cicilannya belum lunas.”
mantap lo man..
SukaSuka