Secara pribadi saya beranggapan Stephen Hawking ndak bakal setuju dibilang bahwa ia Meninggal. Bagi fisikawan sejati semacam dirinya, dia hanya sudah kehabisan energi yang berpindah dan menguap ke jagad raya.
Bisa dibilang kebetulan. Sekarang saya sedang membaca “Origin“, novel Dan Brown. Eh dapat kabar Stephen Hawking menutup usia. Kenapa kebetulan? Karena dalam novel Origin, tokoh utama selain Robert Langdon adalah Edmond Kirsch, ilmuwan nyentrik yang kaya raya, humoris, juga atheis. Sosok ilmuwan yang begitu menghayati keilmuwannya.
Sebuah kebetulan yang menarik. Origin ini bicara soal dunia sains sekaligus kisah Katolik. Bicara dua pertanyaan besar manusia:
“dari mana kita berasal?”
“kemana kita hendak pergi”.
Bagi ilmuwan, semacam Stephen, bukan mati namanya. Dia sudah habis saja energinya. Lalu tubuhnya akan membusuk dan sisa energi yang ada beralih kepada jasad renik lain yang menggerogoti tubuhnya. Atau jika ia dibakar maka energinya menjadi kalor dan menyeruak ke udara luas.
Sepanjang hayatnya ia bagai lubang hitam jagad raya. Menarik perhatian dunia. Tidak hanya di kalangan akademisi namun juga awam. Menulis banyak soal “dari mana jagad raya berasal”.
Sama halnya dengan Stephen, seorang Edmond Kirsch, ilmuwan komputer yang flamboyan juga meneliti soal ini. Dan Brown berhasil menciptakan sosok campuran antara Steve Jobs, Sergey Brin, Elon Musk, dan Mark Zuckerberg dijadikan menjadi satu tokoh.
Salah satu hal yang asing tapi takut diselami oleh kita adalah soal ketidakpercayaan seseorang kepada sang Pencipta. Secara mudah kita menyebutnya kaum Atheis. Namun, ada yang berbeda dari kaum atheis yang dipedomani kaum ilmuwan dibandingkan dengan atheis lainnya:
“Mereka bukan benci tuhan, hanya saja belum dapat membuktikan kehadiran Tuhan dari perhitungan teoritis yang mereka lakukan dan fakta empirik yang mereka temui. Sehingga sikap skeptis bawaan khas ilmuwan menjadikannya “menunda” kehadiran Tuhan dan terbukti telah ikut campur tangan dalam hidup mereka. Hal ini berbeda dengan atheis yang diperoleh dari kekecewaan pada agama-agama yang ada. Atheis karena kecewa. Sedangkan ilmuwan adalah atheis yang skeptis. Akan percaya jika sudah dapat membuktikannya.
Dalam buku Dan Brown, Edmond Kirsch adalah sosok ilmuwan muda yang belum meyakini benar adanya Tuhan. Justru “kebelumpercayaannya” itulah yang menjadikan ia gigih untuk terus mencari jawaban atas dua pertanyaan diatas.
“dari mana kita berasal?”
“kemana kita hendak pergi”.
Pendekatan yang ia lakukan adalah sesuai keahliannya di bidang komputasi. Secara mandiri ia membangun teknologi baru dan canggih (dalam bukunya disebutkan sebagai teknologi yang lebih canggih dari teknologi NASA dan google) sekadar untuk memastikan masyarakat dunia paham dan yakin bahwa manusia dapat melakukan terobosan yang belum terjawab hingga saat ini. Edmond berhasil menggetarkan dunia. Tiga pemimpin agama besar di dunia menjadi ketakutan atas hasil temuannya.
Edmond Kirsch sejatinya adalah anak muda yang mengagumi sang tokoh utama, Robert Langdon, pakar simbol dan kode. Salah satu fundamental pikiran yang dipercaya oleh Edmond adalah kuliah Robert soal “ketidaktahuan manusia atas sesuatu dan ketidakyakinan atas sesuatu yang mendorong manusia “menciptakan sesuatu” yang lebih luhur untuk mengganjal ketidaktahuannya.” Cara mengganjalnya pun bermacam-macam. Dewa dewi diciptakan. Diyakini. Lalu Tuhan diciptakan untuk menjawab atas fenomena hidup mereka. Agama semacam sesuatu yang menjadi pengisi ruang tanda tanya pikiran manusia.
Dewa laut diciptakan. Ketika manusia telah menaklukkan laut, Dewa laut mulai tak menjadi idola lagi. Satu demi satu dewa-dewi yang dulu sedemikian ditakuti menjadi tak memiliki daya magis. Masyarakat mulai meninggalkan. Lalu muncul agama. Dipercayai dan dilakoni. Kemudian muncul pengetahuan ilmiah yang lebih rigid dan mumpuni. Bumi itu bulat. Matahari adalah pusat dan bumi mengitarinya. Martir banyak yang “terlenjur” berguguran ketika teori baru yang lebih ilmiah ditentang oleh keyakinan “lama”.
Pertanyaan sekaligus pernyataan berani yang diajukan dalam novel Dan Brown kali ini adalah bahwasanya manusia yang sejatinya menciptakan Tuhan. Sesuatu yang diciptakan menjadi agung, yang dijadikan yang paling sempurna, dan menjawab pertanyaan atas segala sesuatu yang belum diketahui manusia. Oleh karenanya beranikan diri untuk menerima fakta baru yang terbukti ilmiah dan mulailah meninggalkan atas sesuatu yang diyakini namun tidak dapat dibuktikan.
Namun dengan bijak, pada akhirnya Dan Brown menyajikan penutup yang manis. Bahwa bukan sekadar soal logika otak yang indah dalam menjalani hidup. Juga bukan soal ketenangan batin untuk menyerahkan segalanya kepada yang luhur yang disebut manusia sebagai “Pencipta”. Bukan hanya logika atau iman yang menjadikan kehidupan di dunia dijalani penuh dinamika. Namun ada soal lain.
Soal hati. Soal cinta. Soal pengorbanan. Soal menyukai sesuatu dan mempertaruhkan segalanya. Origin beralih dari soal ketuhanan, menjadi soal kemanusiaan. Novel humanis yang diakhiri secara manis.
“the dark religions are departed and sweet science reigns”
Akhir kata, selamat menikmati Sabtu.
salam anget selalu.
Roy Langdon
Dan Brown konsisten dengan gayanya, yg pada satu titik seakan wajar bisa memunculkan kelompok “penganut kepercayaannya” sendiri. Dan-Brownian. Soalnya, dari novel populer pertamanya, poin-poin pemikiran yg disajikan masuk akal. Tentu saja di luar plot dan drama cerita ya.
Lah, kok ndilalah, beberapa hari setelah kelar membaca e-book “Origin” ini, Stephen Hawking meninggal. Sama seperti waktu baca “Angels and Demons”, waktu itu Paus Yohanes Paulus II juga baru meninggal. Kebetulan yg kebetulan.
SukaSuka