Ini pengakuan jujur khusus buat anda: dua film terakhir yang saya tonton di bioskop sebenarnya ditonton karena ada faktor X.
Apakah faktor X itu? Tak lain dan tak bukan adalah kontroversi di balik layar yang menyelimuti dua film ini.
Memang, sebelum kontroversinya hadir, sudah ada niat untuk menonton kedua film ini bila dirilis di bioskop. Tapi huru-hara dan pemberitaan yang sensasional tentang kedua film ini, mau tidak mau, menambah dan memperbesar keinginan untuk sesegera mungkin menontonnya.
Ibarat sudah ngidam makan nasi goreng kambing, lalu mendengar selentingan kabar kalau kambing segera ditarik keberadaannya karena akan dinyatakan haram, maka makin besar keinginan kita bisa makan nasi goreng kambing untuk, bisa jadi, terakhir kalinya.
Kedua film tersebut adalah All The Money In The World dan Padmaavat.
Film pertama, seperti kita ketahui, sudah selesai proses paska produksinya, sehingga film sudah dibungkus rapi sejak September, dan siap tayang di bioskop bulan Desember. Tiba-tiba meledak kasus pelecehan seksual oleh Kevin Spacey. Padahal dia aktor dengan peran besar dan penting di film ini, sebagai milyuner J. Paul Getty. Kevin Spacey pun sudah digadang-gadang oleh studio pembuat film untuk siap dikampanyekan sebagai kandidat pemeran pendukung pria di musim penghargaan film kali ini.
Tanpa tedeng aling-aling, sutradara sekaligus salah satu produser film ini, Ridley Scott, memutuskan untuk syuting ulang. Semua adegan Kevin Spacey diganti oleh Christopher Plummer. Syuting ulang 9 hari di bulan November. Semua aktor yang berinteraksi dengan peran J. Paul Getty dipanggil untuk syuting ulang, termasuk kedua pemeran utama, yaitu Michelle Williams dan Mark Wahlberg.

Saya penasaran: bagaimana mungkin bisa membongkar film yang sudah jadi, syuting ulang kurang dari dua minggu, masa paska produksi cuma sebulan lebih sedikit, dan jadwal film cuma mundur tiga hari dari jadwal awal? Mengikuti berita film ini, saya cuma bisa membayangkan betapa seluruh kru film harus kerja keras dalam waktu singkat. Padahal mungkin mereka sudah terikat kontrak film lain. Atau yang lagi in between proyek lain, mental bekerja untuk proyek film ini sudah selesai.
Yang saya tangkap dari berbagai berita ini adalah, produser tidak mau kehilangan investasi. Kalau film tidak disyuting ulang, film yang sudah selesai itu bisa jadi tidak akan dirilis. Kalaupun dirilis, karena berita pelecehan seksual sudah menyebar luas, maka film itu akan dijauhi penonton. Terpaksa resiko syuting ulang dengan biaya jutaan dolar ditempuh, dengan pemikiran jangka panjang, yaitu filmnya akan menjadi film yang utuh. Film yang bisa ditonton di bioskop, lalu di pesawat, televisi, streaming dan sebagainya. Artinya, filmnya bisa dijual kembali.
Saat saya menonton, terus terang saya kaget.
Kaget yang pertama adalah, ternyata filmnya tidak seistimewa sensasi pemberitaan seputar syuting ulang tersebut. “Bencana” yang menimpa Kevin Spacey akhirnya menjadi publisitas tersendiri yang, meskipun awalnya tidak bisa dihindari, malah akhirnya bisa menarik penonton-penonton penasaran seperti saya. (Eh, istilah ‘penonton-penonton penasaran’ lucu juga ya?)
Kaget yang kedua adalah, ternyata the best thing dari film ini justru Christopher Plummer sendiri. Aktor senior yang direkrut sebagai pemain tempelan, karena menggantikan aktor lain, malah bermain paling cemerlang. Memang layak diganjar nominasi Oscar sebagai pemeran pendukung pria terbaik tahun ini. Padahal persiapannya, tentu saja, sangat mepet. Atau bisa jadi tidak ada.

Selain Plummer, yang bermain gemilang adalah Michelle Williams. Meskipun tentu saja, sebagian besar adegan Williams sudah dibuat jauh sebelum kasus meruak. Tapi saya tidak habis pikir, apakah dengan syuting ulang di beberapa adegan, Michelle Wiliams malah punya kesempatan untuk memperbaiki aktingnya?
Sementara film kedua, Padmaavat, kontroversinya jauh lebih menyeramkan. Literally.
Seperti kata Ranveer Singh, salah satu pemeran utama film ini, di wawancara terakhirnya dia bilang, “India is a very sensitive country.”
Film ini berkisah tentang Rani Padmavati, ratu kaisar kerajaan Rajput yang berusaha mengelakkan diri dari serangan kerajaan Islam yang terobsesi dengan kecantikan dirinya. Kisah ini sendiri berawal dari sebuah puisi. Namun puisi ini secara turun-temurun berabad-abad lamanya telah dipercaya sebagian penganut aliran tertentu di India sebagai media pemujaan.
Lalu muncul rumor bahwa film ini menghadirkan adegan percintaan terlarang antara dua pihak yang berseteru. Banyak golongan yang termakan isu ini marah-marah, lalu merusak lokasi syuting yang telah dibangun. Ini terjadi di tahun 2016.
Setahun setelah selesai syuting, saat filmnya siap ditayangkan di bulan Desember 2017, muncul lagi gelombang protes dari beberapa negara bagian di India akan film ini. Tak tanggung-tanggung, protesnya bahkan sampai mengeluarkan ancaman bagi siapa saja yang bisa membunuh sutradara, Sanjay Leela Bhansali, dan pemeran utama wanita, Deepika Padukone, mereka mendapat imbalan ratusan ribu dolar.

Akhirnya disepakati film ini ditunda perilisannya. Lalu disensor ulang, ditambah dengan disclaimer di awal film, sampai akhirnya berhasil dirilis di minggu keempat Januari 2018, alias minggu lalu. Itu pun masih ada 4 negara bagian di India yang menolak penayangan film ini, dan satu negara lain, yaitu Malaysia.
Saya menonton di hari kedua penayangan. Bioskop terisi 80% dari kapasitas. Sepanjang 2 jam 35 menit, saya tidak beranjak dari kursi, termangu di depan layar.
Ekspektasi saya terlalu tinggi rupanya. Dengan segala kontroversi yang ada, saya berharap lebih dari isi film ini. Apalagi semua film-film karya Sanjay Leela Bhansali sebelumnya, sudah saya tonton.
Meskipun kecewa dengan penceritaan yang, menurut saya, lumayan “tipis” dan terasa diulur-ulur, namun banyak sekali redeeming values dari film ini yang masih membuat betah untuk ditonton. Tata artistiknya luar biasa. Kostum dan set dibuat sangat megah. Penampilan Ranveer Singh sebagai raja yang bengis berikut Jim Sarbh sebagai asistennya yang flamboyan membuktikan akting mumpuni keduanya sebagai dua dari sedikit aktor terbaik di India.

Akhirnya Padmaavat sendiri buat saya adalah film yang baik, meskipun bukan yang terbaik.
Cerita sensasi berupa kontroversi di balik layar sebuah film yang kita tonton memang bukan barang baru. Kontroversi itu bisa saja dihadirkan dengan “sengaja” oleh pembuat film atau orang-orang yang terlibat di dalamnya waktu proses pembuatan. Contoh yang paling gampang adalah rumor-rumor cinta lokasi (cinlok) antar pemain.
Kontroversi lain, seperti kasus dua film ini, justru hadir saat filmnya sudah selesai dibuat. Dan ini pun bukan pertama kali terjadi. Ada yang ingat film Buruan Cium Gue? Film ini sempat ditarik dari peredaran karena protes Aa Gym terhadap judulnya. Lalu setelah isu mereda, beberapa bulan kemudian, filmnya diam-diam muncul di bioskop dengan judul baru, yaitu Satu Kecupan.
Semua sensasi ini sebenarnya akan meredup saat kita sudah duduk dalam diam di bioskop, saat pelan-pelan lampu dimatikan dan film dimulai. Sebagian besar emosi kita yang tercampur aduk saat terpengaruh kabar berita sensasional itu biasanya akan berakhir pada, “Oh, jadi filmnya gini doang? So what the fuss is all about?”
Exactly.
Mungkin memang gelas sengaja dipecahkan biar ramai, biar gaduh sampai mengaduh. Karena apalah arti kontroversi, kalau filmnya sendiri tidak bisa memikat hati.
kalau film Bajirao Mastani ga menimbulkan kontroversi ya, Mas? Bukannya ceritanya mirip juga, kisah cinta beda agama gitu?
SukaSuka
Iya, Bajirao Mastani juga sempat ada kontroversi, karena dianggap tidak representatif dengan kepercayaan tertentu. Bukan isu beda agama sih. Tapi memang kontroversinya gak “separah” Padmaavat.
SukaSuka
Overexpectation intinya
SukaSuka
Iya. Kayak ketemu ama orang yang gak mirip ama fotonya di dating app.
SukaSuka
Kalau itu tinggal aja diam diam… Hehehe
SukaSuka
Oh, so that’s your modus operandi … manggut2
SukaSuka
Hahaha… Modus operandi banyak orang kan?
SukaSuka
I don’t have the luxury of frequent experience.
SukaSuka
You just don’t try it frequent enough
SukaSuka
Because there is no one willing.
SukaSuka
There’s no such thing of no one willing. it’s the matter of self consciousness
SukaSuka