NIKMAT itu… ketika boker saat sedang kebelet-kebeletnya. “BRUAK!” Melegakan, dan tentu saja menyenangkan, bisa membebaskan perut dari beban muatan, sisa-sisa pencernaan.
Nikmat itu… ketika air putih sejuk mengucur ke tenggorokan setelah 15 menit berjalan kaki langsung di bawah teriknya matahari. Beberapa mililiter cairan bening tanpa rasa, warna, dan aroma itu menjadi penawar tiga kondisi sekaligus: panas, haus, dan kering.
Nikmat itu… ketika akhirnya bisa pipis juga setelah menahan cengkeraman kantung kemih gara-gara macet sejam lamanya. Apalagi kalau sambil berdiri tidak kebagian tempat duduk di dalam bus atau kereta dalam kota.
Nikmat itu… ketika bisa kentut dengan nyaman. Kentut dilepaskan secara alamiah, dengan tekanan dan bunyi yang apa adanya. Bebas. Lepas. Tanpa juga merasa terganggu dengan aroma yang menguar beberapa saat setelahnya. Tidak ditahan-tahan, karena kita sendirian, atau tidak ada orang asing di sekitar kita. Tidak pula dipaksakan, yang berarti kompartemen-kompartemen di dalam perut kita berfungsi sebagaimana mestinya. Toh, sepertinya tidak ada yang mau dapat “bonus” saat melakukan aktivitas yang satu ini.
Nikmat itu… ketika menyantap hidangan kesukaan. Cita rasa favorit yang selalu berhasil memunculkan perasaan menyenangkan, dikunyah dan dilumat sedemikian rupa, sebelum akhirnya ditelan dan meluncur ke dalam perut melalui kerongkongan. Tanpa tersedak. Tanpa terhambat.
Nikmat itu… ketika kita berserdawa, entah gara-gara kenyang, masuk angin, atau sekadar sensasi setelah minum minuman bersoda. Lagi-lagi, rasanya melegakan. Setelah gas yang berjejal menekan dinding saluran cerna berhasil dibebaskan. Lengkap dengan hawanya, aroma sisa santapan sebelumnya. Begitu pula yang terjadi ketika mabuk perjalanan, atau mabuk benaran. Kelegaan hadir setelah isi perut dimuntahkan semua. Termasuk angin, memuntahkan kehampaan.
Nikmat itu… ketika merasakan kelegaan setelah bersin dengan sempurna, atau saat menguap, memberi sinyal bahwa sedang mengantuk maupun bosan. Kedua aktivitas tersebut memang saling bertolak belakang. Yang satu berusaha untuk membersihkan, ada udara yang dikeluarkan cukup keras. Sedangkan yang satu lagi berusaha untuk mengumpulkan oksigen sebanyak-banyaknya.
Nikmat itu… ketika mengupil dan berhasil mengangkat kerak yang ada, yang bercokol di ceruk-ceruk misterius dalam rongga hidung. Belum lagi kalau ukurannya agak besar, berasa sangat sukses dan berhasil melakukan “penggalian harta karun”.
Nikmat itu… juga ketika berhasil mendorong ingus maupun lendir sejenisnya keluar melalui rongga hidung, dengan mengembuskan napas sekuat-kuatnya. Tak lupa pakai trik menutup salah satu lubang hidung dengan jari, biar “tembakan” udara bisa berkali lipat lebih kuat. Terbebas dari keadaan mampet.
Nikmat itu… khususnya bagi sebagian orang, adalah ketika berhasil mendahak. Terlebih saat sedang batuk atau sakit tenggorokan. Dahak yang menggantung di pangkal leher tentunya terasa menyebalkan. Begitu cairan tersebut berhasil dikeluarkan, langsung plong rasanya.
Nikmat itu… juga bagi sebagian orang, adalah ketika mengucek mata saat gatal-gatalnya. Kucek-kucek, kucek-kucek, bahkan terkadang sampai mengeluarkan suara “ck… ck… ck…” Menyenangkan rasanya, walaupun malah jadi iritasi sesudahnya.
Nikmat itu… ketika berhasil membersihkan tahi telinga dengan pengorek besi antikarat, mengeruk dan mengangkat lapisan serupa lilin yang memenuhi dinding rongga bagian luar. Adakalanya substansi itu telanjur mengeras, menjadi kerak yang mengganjal dan mengganggu pendengaran. Lagi-lagi, rasa plong adalah sensasi yang paling dinantikan. Ada pula yang menggemari sensasi geli, ketika membersihkan bagian terluar rongga telinga dengan tangkai berkapas. Balita dan anak kecil sekalipun.
Nikmat itu… ketika berhasil mengeluarkan sebum, lemak di kulit wajah yang menyebabkan komedo. Sama seperti jerawat, atau bisul, diupayakan sedemikian rupa sampai “matanya” keluar. Penyumbat pori-pori. Kadang kala berbentuk lonjong, berwarna kekuningan agak keruh. Seperti butiran beras berukuran sepersekiannya.
Nikmat itu… ketika berkeringat sejadi-jadinya saat berolahraga. Banyak yang justru merasa sangat tidak nyaman saat tak berkeringat dengan maksimal, hanya gara-gara berolahraga di ruangan berangin atau yang dipasangi pendingin udara. Makin banyak keringat yang dihasilkan, makin memuaskan rasanya. Setelah itu, mandi pun dilakukan dengan sedemikian rupa, biar bersih sebersih-bersihnya.
Nikmat itu… bagi orang-orang dengan geraham berlubang, adalah ketika berhasil mendongkel serpihan makanan yang tersangkut di gigi. Selalu ada kepuasan, tak peduli seberapa kecil dan sepelenya perasaan tersebut, setelah berhasil mengeluarkannya.
Nikmat itu… bagi sejumlah perempuan, adalah ketika mampu menyusui sang buah hati. Secara langsung, atau pun dipompa dan ditampung sebelumnya. Akan selalu terasa membahagiakan saat air susu tersedia dalam jumlah yang cukup, untuk menutrisi dan menjaga tumbuh kembang si kecil secara ekslusif.
Nikmat itu… ketika bersetubuh. Mencakup aktivitas yang paling apa adanya, naluriah, sekaligus menjadi sesi paling inti: penetrasi. Memunculkan dikotomi fungsi “dimasukkan” dan “dimasuki”. Sampai terjadinya ejakulasi sebagai sebuah konsekuensi pada laki-laki, atau adanya cairan yang memuncrat akibat kondisi fisiologis tertentu pada perempuan.
Persetubuhan itu dapat berujung pada kehamilan, munculnya kehidupan baru yang terus bertumbuh, hingga akhirnya siap dihadapkan pada dunia di luar kandungan ibunya. Apa pun metode persalinannya, sama-sama dikeluarkan melalui lubang.
Nikmat itu… ketika bebas menangis dan tertawa. Keduanya dilakukan melalui organ tubuh yang berbeda. Air mengalir dari pelupuk mata, sedangkan dari mulut keluar “hahaha…” bernada riang gembira.
Nikmat itu… ketika kita bisa bernapas dengan lancar. Menarik dan mengembuskan udara melalui hidung atau mulut. Terus dilakukan sampai kemudian tiba saatnya mesti berhenti.

…
Manusia ternyata lemah ya. Makhluk yang begitu bergantung pada lubang. Sejak dilahirkan (dikeluarkan melalui lubang), hingga akhirnya harus kembali dimasukkan ke lubang, saat sudah tak lagi bernyawa.
Sebenarnya, bukan cuma manusia. Hampir semua makhluk hidup di semesta ini membutuhkan lubang. Untuk bernapas, untuk makan, untuk membuang limbah sekresi, untuk bereproduksi, dan lain-lain. Semua dilakukan dan terjadi secara instingtif, sebagaimana adanya. Tetapi hanya manusia yang dapat menambahkan kesan “nikmat” di sana. Alih-alih alamiah, ada beberapa aktivitas melibatkan lubang yang terus dilakukan karena rasanya menyenangkan. Bisa sampai bosan.
Boleh saja dibilang: “Kan bukan lubangnya, tetapi aktivitas yang dilakukan dan zat yang melintasinya yang penting.” Akan tetapi tanpa keberadaan lubang, semua itu nyaris tak ada gunanya. Bayangkan saja bagaimana rasanya dibekap; atau penis tanpa lubang saluran uretra. Macam batang buta.
Itu sebabnya manusia benci kebuntuan.
Pasalnya, hanya Diogenes dari Sinope yang konon “sukses” menolak tunduk pada lubang. Dia adalah filsuf yang enggan bernapas, untuk kemudian meninggal karenanya. Ada pula para petapa Sadhu di bantaran Sungai Gangga, India, yang melakukan tapa menahan napas secara berkala. Sedangkan kita, mau tidak mau akan terus patuh pada ketentuan alamiah itu.
Demikianlah manusia. Fana, dengan ketergantungannya pada lubang, yang sejatinya hanyalah ruang tiada.
Sebuah kekosongan.
Jadi, ndak usah sombong.
[]
Pengabdi Lubang. Wkwkwk
SukaSuka
tepuk tangan
Keren banget, as always
SukaSuka
Terima kasih. Hehe. Tepung tangan juga deh. 😂
SukaSuka
pernah ngerasain 10 hari ga bisa kentut, hampir mati deh.
btw, utk baca tulisanmu kali ini ga sambil sarapan….hahahaha
SukaSuka
Hahaha! Ya begitulah, Mbak. Kadang memang yang blatant-blatant bikin selera makan hilang.
SukaSuka