Pidana itu bukan soal dana. Perdata pun. Dia bukan soal data.
Pidana adalah soal perbuatan apa saja yang menurut negara dilarang dan negara akan mengurusnya untuk warga. Secara sederhana: “Mengadulah pada negara jika ada yang membuatmu merasa tidak nyaman, tidak aman, dan merasa dirugikan”. Bedakan dengan urusan perdata, dimana kamu berurusan sesama warga tidak jauh dari urusan bisnis, janji, dan hal lain berkaitan dengan keluarga dan harta kekayaan. Jika ada masalah, silakan urus baik-baik. Negara tak ikut campur. Jika masih belum selesai, maka hadapilah di pengadilan. Dan pengadilan dalam hal ini bukanlah representasi negara. Bukan wakil negara.
Sejatinya Pidana itu soal rasa. Pidana itu tertib bersama. Ajaibnya lagi Pidana itu begitu penting, karena semua orang dewasa akan terlibat didalamnya. Barangsiapa. Siapapun Anda, tak peduli siapa anda, sepanjang memenuhi perbuatan yang dilarang, maka anda “seharusnya” dijerat hukum.
Adakah soal pidana yang paling utama?
Tentu saja soal hak azasi manusia. Sebuah hak universal yang berlaku dimanapun anda berada. Berhak untuk hidup. Berhak untuk memperjuangkan hidup. Berhak untuk mempertahankan hak-haknya.
Lantas bagaimana ceritanya sebuah ketentuan pidana yang sedang dirumuskan menjadi buah bibir. Niatnya baik, menyempurnakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang sudah lapuk dan warisan penjajah. Ada baiknya diganti dengan beberapa alasan: 1) Karena kita sudah merdeka 2) Perlu disesuaikan dengan nafas dan semangat zaman.
Sayangnya atas hangatnya topik pembahasan RUU KUHP, beberapa ahli hukum terlalu semangat mengajak masyarakat untuk aktif berpartisipasi tanpa memberikan petunjuk bagaimana sebaiknya disikapi. Semuanya sibuk mencari dukungan, tanpa pernah mengalah sejenak untuk memberikan sebuah aturan pakai. Semua sibuk ngecap dan berjualan obat
Mari kita tengok Naskah Akademis dari Undang-Undang ini. Secara singkat dapat dikatakan naskah akademis adalah gambar rancang bangun, atau bestek, atau corat-coret, atau sketsa mau dibikin seperti apa struktur bangunan yang akan dibikin. Naskah akademis utamanya berisi dasar filosofis, dasar sosiologis dan juga dasar hukumnya (yuridis). Orang hukum membayangkan Undang-undang sama halnya gedung. Ada pondasi, ada ruang, ada tiang, ada lantai, ada atap, ada tujuan gedung itu dibangun. Namun seuanya berwujud tak kasat mata. Sulit diraba hanya dirasa. Sebuah bangunan sosial. Bukan fisik.
Saya sempatkan membaca beberapa paragraf naskah akademis akan dibuatnya RUU KUHP ini. Respon singkat di awal membaca: saya mengucap syukur. Mengapa? Karena indah sekali bunyinya:
Dengan kata lain pembaharuan hukum pidana harus menjadi sarana untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. (halaman 162)
Kalimat pertamanya ndak kuku. “Sarana-melindungi-segenap-bangsa-Indonesia-dan-seluruh-tumpah-darah-indonesia”.
Jika itu yang benar-benar dikedepankan, kita tak perlu kuatir dengan keberlangsungan proses pembentukan RUU KUHP. Jika amanah maka semua warga dijamin untuk terlindungi oleh negara. Negara akan melindungi korban perbuatan pidana, termasuk dalam hal ini mencakup pula korban “abuse of power”, yang harus memperoleh perlindunganberupa “access to justice and fair treatment, restitution, compensation and assistance”.
Salah satu peningkatan signifikan atas perkembangan hukum pidana di negeri ini adalah putusan Mahkamah Konstitusi soal Penghinaan kepada Presiden. Sekarang sudah menjadi delik aduan. Sehingga sepanjang Pak Presiden ndak masalah, maka warga dapat membuat lelucon soal dirinya tanpa takut tercyduk.
Permasalahan utama yang cukup besar saat ini adalah niat pembuat Undang-undang untuk mengumpulkan seluruh soal pidana dalam RUU KUHP ini agar menjadi satu kesatuan. Selama ini semakin berserakan di banyak ketentuan lain. Misal ketentuan soal korupsi dimana, psikotropika dimana, soal kejahatan dan kekerasan rumah tangga dimana. Pembuat undang-undang KUHP ingin mengumpulkannya dan menjadikannya induk.
Menurut saya: repot.
Biarkan banyak ketentuan pidana khusus lain masih hidup damai dengan UU lain. RUU KUHP harus dibuat dengan semangat blockchain kudunya. Tersebar tapi masih satu backbone. Pilinan dan jalinan ketentuan yang saling mengisi masih satu semangat antar ketentuan.
Banyak hal yang masih perlu diatur dan disesuaikan dengan semangat zaman. Soal kebebasan pers, Soal berita bohong, Soal tindak pidana ekonomi, Soal perlindungan Saksi, Bahkan jika perlu dan berani, tindak kejahatan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah.
Perihal bumbu-bumbu desa mengenai LGBT, soal kontrasepsi, soal lain yang saat ini terus menjadi hangat, sebetulnya soal nomer delapan. Pembahasan utama tentunya soal apakah hukuman mati masih berlaku di negeri ini? Apakah arti kejahatan dan arti pelanggaran masih dibedakan seperti KUHP yang saat ini berlaku? Siapakah yang sudah mengumpulkan seluruh keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah norma hukum di tengah jalan dan menjadi pijakan seluruh penegak hukum?
Inflasi ekonomi bisa menjalar menjadi inflasi hukum. Overcriminalization, ketika banyak ketentuan selalu obral larangan dan sanksi, yang ternyata penegakkan hukumnya ndak jelas. Atau malah kebalik, banyak hal belum jelas, tapi sudah diseret dan dilaporkan ke penegak hukum.
Pidana harus dikembalikan ke tempat paling mendasar, dan ditanya secara perlahan:
“Mengapa negara melarang perbuatan ini?”
“Apakah perbuatan ini meresahkan masyarakat?”
Juga sebaliknya atas norma pidana, perlu ditanya?
“Apakah pidana ini dibuat karena sesuai dengan anjuran agama tertentu?”
“apakah pidana ini telah melindungi seluruh warga negara?”
Empat pertanyaan awal yang menjadi pintu sorga pembuka diskusi, sebaiknya kita merancang bangun soal pidana ke depannya.
Pidana itu soal rasa malu, soal dijebloskannya seseorang ke ruang tahanan, bahkan soalnya hilangnya nyawa akibat hukuman mati.
Siapapun yang bermusyawarah merumuskannya, semoga berposisi sebagai manusia biasa, bukan wakil tuhan di dunia, bukan jelmaan malaikat, apalagi utusan negeri unta.
🙂
salam anget,
Roy