Someone asked :
“Di mana tempat makan/restoran yang lo belum pernah ajak makan siapapun ke sana kecuali ‘seseorang’?”
Dan lagi-lagi wajah kamu langsung terbayang di otak saya sebagai ‘seseorang’ yang dituju.
Dari sekian tempat makan yang pernah kita singgahi bersama, saya malah menjawab warung tenda mie ayam di depan salah satu toko buku daerah Matraman, Jakarta.
Saya ingat ketika kamu berkata merindukan suasana makan mie ayam di pinggir jalan, duduk di bangku plastik, saos tomatnya yang merah nggak wajar, dan sebotol teh dingin. Sederhana.
Tapi saya lebih tidak bisa lupa berkali-kali usaha saya untuk membuatmu mewujudkannya. Mulai dari masalah waktu yang tidak kunjung ‘tepat’, kemalasan kamu untuk beranjak jauh-jauh dari kafe ber-AC dan sofa kesayangan kamu itu, sampai perdebatan transportasi menuju tempat itu – saya maunya jalan kaki atau naik angkot atau naik Transjakarta dan kamu maunya naik taksi atau bawa mobil, padahal jaraknya sangat amat dekat.
Sampai akhirnya hari itu tiba. Tiba-tiba kamu menjanjikan satu hari dengan pilihan kegiatan terserah saya dan hari itu khusus untuk saya. Ya walaupun ujung-ujungnya tetap setelah pulang kantor sih.
Film yang lagi ramai dibicarakan dan sempat kusebutkan ingin kutonton bersamamu harus mengalah oleh semangkuk mie ayam pesanan kamu. Buat saya, tidak masalah apapun yang kita lakukan untuk mengisi waktu luang asalkan dengan kamu. Yeah, I was that easy and cheap at the moment.
Saya berhasil membujuk kamu naik Transjakarta yang hanya berjarak satu halte itu. Berdiri pula. Bagi kebanyakan orang mungkin itu hal sepele, tapi bagi saya itu kepuasan tersendiri. Berhasil membujuk kamu meninggalkan kenyamanan kamu sesaat untuk bersama saya. Kemudian memesan makanan sederhana yang kamu idam-idamkan. Semuanya sesuai keinginan kamu.
Tau hal paling mewah yang pernah saya dapat dari kamu? Malam itu di balik kesederhanaan ‘kencan’ kita, saya melihat senyum kepuasan terpancar dari mata kamu. Ya, mata kamu. Sekilas saya yakin kalau kamu sangat terhibur dan melupakan tekanan yang sedang kamu alami di kantor. Itu sangat berharga buat saya. Karena cita-cita mulia saya saat itu adalah berhasil mengembalikan senyum di wajahmu yang sudah tertekuk beberapa lama akibat masalah pekerjaanmu.
Mungkin kita tidak jadi menonton film kartun ataupun komedi untuk menghilangkan stres kamu, sesuai permintaan kamu sebelumnya – iya, saya tau kamu bosan juga nonton program TV kabel berdua sama saya di apartemen, sementara saya tiduran aja. Tapi, rupanya pilihan saya malam itu berhasil menghiburmu.
Saya nggak tau siapa yang lebih beruntung malam itu. Saya atau kamu. Karena yang terjadi malah kamu juga mewujudkan permintaan saya yang bahkan sudah hampir saya lupakan, saking banyaknya rencana kita yang tidak terlaksana.
“Kalau sudah selesai makan, ayo kita lanjut jalan,” katanya spontan.
“Ha? Ngapain?”
“Bukannya kamu mau kita kencan di toko buku juga? Kan dari dulu kamu mau kita pergi ke toko buku sama-sama. Malam ini khusus untuk kamu.”
Saya tertegun. Tidak menyangka kamu masih mengingat permintaan saya yang waktu itu bercanda karena kita nggak tau tujuan bolos ngantor kita ke mana – yang akhirnya habis waktu di jalan karena macet kemudian memilih ke kafe langganan di apartemen.
Senyum saya tidak habis bertengger di wajah saya sepertinya malam itu. Jomplang-nya pilihan buku kita saat di meja kasir paket novel darimu untuk saya, punyamu majalah dan buku tentang keuangan.
Tapi, kesejukan di hati saya semakin sempurna saat saya mendapat pelajaran berharga di angkot malam itu. Ya, satu lagi kejutan. Kamu mau naik mikrolet dan apa yang kamu lakukan untuk supir angkot malam itu, sungguh mengajarkan saya arti memberi dan bersyukur.
Sisa malam itu masih panjang rupanya. Rutinitas kita yang seperti biasa – mampir ke kafe langganan, kembali ke apartemen, nonton program TV kabel sambil saya yang tiduran aja – berhasil membuat senyum permanen di wajah saya dalam tidur saya malam itu.
Malam sebelum kita harus berpisah untuk berkumpul bersama keluarga kita masing-masing dihari libur yang panjang itu. Dan tidak lupa, satu kencan lanjutan yang sudah kamu janjikan setelah kita sama-sama kembali ke Jakarta.
—
Satu pertanyaan iseng teman saya sore itu, berhasil membawa pikiran saya kembali ke kamu. Rindu itu masih ada. Saya harap kamu baik-baik saja di sana. Sehat selalu dan bahagia pastinya. Dan saat kita bertemu kembali nanti, saya tidak akan melihat duka di wajah kamu lagi ya.
“Jadi, di mana tempat makan/restoran yang lo belum pernah ajak makan siapapun ke sana kecuali ‘seseorang’?”
- Lou, Jakarta