Selfie Bukan Selalu Untuk Everybody

Minggu lalu saya menyempatkan menonton film berjudul Film Stars Don’t Die in Liverpool di bioskop.
Film ini diangkat dari buku berjudul sama, yang merupakan kisah nyata tahun-tahun terakhir aktris Hollywood ternama tahun 1950-an bernama Gloria Grahame. Alkisah, Gloria Grahame memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya setelah divonis kanker dengan live the life to its fullest. Ini termasuk jatuh cinta dengan pria yang usianya puluhan tahun lebih muda dari Gloria, menghabiskan banyak waktu di Liverpool, meskipun akhirnya dia menyerah terhadap penyakitnya dan dibawa pulang ke New York.

Film ini baru saja mendapat 3 nominasi di British Academy Film Awards, atau biasa disingkat BAFTA, yaitu Oscar-nya industri perfilman di Inggris. Ketiga nominasi itu untuk skenario adaptasi terbaik (walaupun gaya penceritaannya tidak istimewa untuk cerita di layar yang sudah cenderung paper thin), pemeran utama pria terbaik untuk Jamie Bell (yang berperan sebagai “si brondong” baik hati pemikat Gloria Grahame), dan pemeran utama wanita terbaik untuk Annette Bening sebagai Gloria Grahame yang bermain terlalu cemerlang, melebihi kualitas film itu sendiri.

Namun tulisan ini tidak bermaksud untuk menganalisa film tersebut.

Di beberapa bagian film, ada adegan di mana Gloria Grahame selalu menanyakan pertanyaan sama terhadap kekasihnya, “How do I look?” Pertanyaan itu diungkapkan dengan tatapan bak anak kucing yang meminta belas kasihan majikannya. Dan pertanyaan itu selalu dijawab sang kekasih dengan, “You look beautiful”. Nadanya terdengar mantap, seakan memberikan kepastian.

Setelah film usai, saya membaca singkat biografi aktris klasik ini.
Ternyata sepanjang hidupnya, Gloria Grahame selalu diliputi rasa tidak percaya diri terhadap tampilan fisiknya. Dia merasa, bibirnya terlalu tipis. Dia selalu terobsesi membuat bibirnya tampak terlihat penuh untuk memberikan kesan sensual. Segala cara ditempuhnya, sampai membuat risih lawan mainnya ketika beradegan ciuman. Dalam kehidupan nyata, seberapa sering orang-orang mengatakan langsung kalau dia cantik, Gloria Grahame tidak pernah percaya. Dia selalu merasa dirinya jelek. Perasaan insecure ini yang membuatnya ‘sulit’ beradaptasi, baik dengan perkembangan jaman, dengan rekan kerja, dengan keluarga, atau dengan dirinya sendiri.

Seusai membaca biografi singkat di atas, lalu membayangkan adegan di dua paragraf sebelumnya, terus terang saya trenyuh. Persoalan mengenai rasa tidak percaya diri terhadap tubuh masing-masing rasanya akan menjadi hal yang selalu terpatri, terlebih bagi siapa pun yang pernah merasakan di-bully atas tampilan fisik.

Beberapa hari setelah film usai, saya bertemu seorang teman lama. Ngobrol ngalor ngidul saling catch up satu sama lain, sampai ke urusan kehidupan pribadi terkait percintaan.
Saya bilang ke teman saya, kalau dia dengan good looks yang dia punya, tentunya tidak pernah punya masalah dalam memikat perhatian orang.

Sambil berterima kasih, dia tertawa kecil, dan berkata, “You know ‘kan, kalau kita gak pernah ngerasa good looking enough,?”

“Maksudnya?”

“Elo buka deh, whatever dating apps you have. Gak ada yang jelek. Sama sekali. Everybody seems good looking, from the threatening ones to regular ones. Just because people say how good looking you are, then you open the apps, boom! Everybody else is better looking than you.

Saya manggut-manggut. Memahami sekaligus mengamini pernyataan teman saya.

Dia melanjutkan, “So yeah, I get that compliment. Over my so-called good looks. But deep down, I’m still that chubby, awkward teenager who is bullied over my weight. So those compliments, they mean nothing. You were once overweight, too, right?

Saya terkekeh sambil mengangguk, mengingat lagi masa-masa awal kuliah dulu.

Teman saya ikut tertawa. “See? I guess overcoming being overweight humbles you. At least that’s how it is for me.

Saya kembali terdiam. Ingin menyanggah, tapi dalam diam, saya terpaksa mengamini.

Mungkin saya pernah menulis di sini, kalau di tahun pertama dan kedua saya kuliah, saya sempat mengalami reckless stress eating. Awalnya karena mengikuti ajakan teman makan malam-malam, tepatnya di atas jam 12 malam. Lalu lama-lama jadi kebiasaan: makan nasi lemak atau prata dan minum soda sambil belajar sampai jam 4 pagi. Akhirnya berat badan melambung. Teman-teman kaget melihat perubahan badan yang menggembung. Tak lama kemudian, sering jadi bahan cemoohan.

Pelan-pelan, saya mengurangi porsi makan, sambil mulai rajin jogging. Setelah beberapa tahun, berat badan mulai menurun. Lalu setelah lulus kuliah dan mulai bekerja, alih-alih makan, justru saya sering skip makan karena pekerjaan yang datang bertubi-tubi. Berat badan saya turun drastis. Sampai-sampai dikhawatirkan sedang sekarat, karena baju anak kecil ukuran M sempat muat di badan. Lagi-lagi, dari kekhawatiran, sempat jadi bahan cemoohan.

Lalu dari situ, saya mulai olahraga lagi, dan makan normal lagi. Sekarang sudah mulai biasa menghadapi siklus naik turun badan: kalau terlalu rajin cardio exercise, pasti berat badan akan turun; sementara kalau terlalu malas olahraga dua minggu, pasti celana sudah terasa sempit.
Tapi nyatanya, level “terbiasa” saya sebatas sampai di situ.

Sampai sekarang, saya masih segan dan belum nyaman untuk (terlalu banyak) mengunggah foto diri, termasuk selfie, ke sosial media. Cukup seperlunya saja bila diperlukan, misalnya untuk dating apps (yang belum laku juga), tapi tidak untuk media sosial umum yang terbuka untuk publik.

Lagi-lagi karena deep down, I am still that overweight college guy who thinks himself as ugly duckling. Kenangan karena cemoohan ternyata masih terekam dengan baik, meskipun kita sudah berusaha sekuat tenaga untuk menguburnya dalam-dalam.

Toh saya melakukannya dengan penuh kesadaran. Sesadar pula bahwa tidak ada orang yang bisa menjatuhkan kita hanya karena menjelek-jelekkan keadaan fisik kita.

Are there more good looking people than us? Yes.
Are there less good looking people than us? Yes.
Are there anyone who can love us more than ourselves? No.

Saya pernah membaca sebuah status di satu media sosial yang menyatakan bahwa once we accept how we look, we can work on the rest. Menerima,yang berarti menjaga dengan baik, memang perlu waktu.

But if we’re not the one who can start accepting ourselves, who else can?

18 respons untuk ‘Selfie Bukan Selalu Untuk Everybody

  1. Damn, you’re good looking! Meskipun aku tahu sih pendapat orang nggak terlalu ngaruh dibanding apa yang kita rasa terhadap diri sendiri
    tidak bermaksud flirting
    just stating the fact ✌🏻✌🏻

    Suka

  2. Sama kayak saya… Dalam kurun waktu 4 tahun, selfie di hp cuma 5 biji. Jgn harap nemu foto selfie saya di medsos, plg cuma foto profil aja. Upload foto liburan rame2 juga gak pernah, paling ditag temen. Saya jg korban bully, jd takut dibully lagi kalo upload selfie 😂

    Suka

  3. Mungkin harus diubah mindsetnya menjadi, good looking is a matter of taste… Kalau tanya orang narcissistic, mereka akan bilang they have the best looking. Like “mirror mirror on the wall, who is the prettiest of all?”

    Suka

    1. A matter of acquired taste, or a matter of low-brow taste? And I wonder if good looking people actually say the mantra in front of the mirror …

      Suka

      1. Hahaha… Anything… Whatever it is, again it’s a matter of choice. Yes, indeed, some of them was an ugly duckling, fueled by praised, and growing the narcissism seeds. Some sow it more than the others

        Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s