Maaf ya, kalau terganggu dengan judul-judul yang sok berima. Tapi niatku baik kok.
Jadi istilah-istilah dan jargon-jargon korporat kekinian memang sering mengganggu, ya. Apalagi kalau jadi tren dan sering sekali disebutkan di konferensi-konferensi besar. Seolah presentasi atau pidato belum sahih jika belum dibumbui oleh jargon ini.
Tadi malam saya menonton film Gifted – yang saya akui hanya ingin saya tonton karena ada Chris Evans di situ. Karena tipe filmnya sungguh bukan yang biasa saya tonton. Ceritanya tentang anak yang jenius matematika, diurus oleh om-nya yaitu Chris Evans. Ada adegan di mana si anak bertanya.
“Is there a god?”
“I don’t know,” dijawab oleh si om.
“Just tell me.”
“I would if I could. But I don’t know. Neither does anybody else.
“Roberta knows”
“No. Roberta has faith. And it’s a great thing to have. But faith is about what you think, feel; not what you know.”
Buat saya ini percakapan yang indah sekali untuk menggambarkan arti agnostik. Sering disalahartikan sebagai seorang yang tidak bisa memutuskan di mana dia berpijak, atau seorang yang mau cari selamat saja, sesungguhnya tidak demikian. Jika seorang ateis mengatakan dengan tegas, bahwa tuhan itu tidak ada, seorang agnostik mengatakan dengan tegas, dia tidak tau, dan sepertinya tidak akan tau, bahwa tuhan itu ada. Berasal dari kata dalam bahasa Yunani kuno, a yang berarti tanpa dan gnosis yang berarti pengetahuan atau knowledge. Agnostik sendiri terucap pertama kali oleh Thomas Henry Huxley tahun 1869.
Anggap saja jika ateis tidak percaya adanya tuhan. Titik. Sementara pendekatan seorang agnostik lebih ilmiah. Hipotesa dia adalah tuhan itu tidak ada, karena tidak adanya bukti empirik bahwa tuhan itu ada. Dan tidak tau caranya bagaimana untuk membuktikan ada atau tidak adanya tuhan. Saya suka definisi Urban Dictionary mengenai agnostik;
A person who is sensible enough to admit that they have no fucking clue what is going on in the universe.
Diberi contoh penggunaan pula:
Theist: “God exists.” prays
Atheist: “God does not exist.” sips grande cappuccino
Agnostic: “We can’t know.” continues living
Lalu apa hubungannya dengan jargon korporat? Setahun belakangan ini saya mendengar sering digunakannya istilah media agnostic. Tentu setiap orang menggunakannya saya mangap-mingkem ingin protes tapi tidak tau ke siapa. Jadi istilah yang digunakan itu menggambarkan sebuah media, atau agensi yang tidak memiliki preferensi utama dalam mendistribusikan kontennya. Rupanya yang protes bukan hanya saya, banyak yang menganggap agensi atau media yang mempraktikkan this-so-called media agnosticism sebenarnya tidak tau mereka maunya apa dan berusaha menjustifikasinya dengan istilah ini.
Ada pula yang seperti saya, sebal dengan cocoklogi yang dilakukan ketika menilik etimologi dari kata agnostik. Apakah orang-orang yang mengaku media agnostic ini tidak tau dan tidak mengakui adanya media? Entahlah. Tapi yang jelas, sebisa mungkin jangan disebarkan dan ditiru ya. Sumpah, istilahnya ganggu.