Masa undangan pernikahan setiap akhir pekan untuk saya sudah lewat. Kecuali beberapa dari kolega dan sahabat yang lebih muda, saya sekarang jarang sekali harus dandan beberapa jam untuk mengantre dan salaman kurang lebih setengah jam, berkeliling buffet yang sebagian besar sudah habis 15 menit, kemudian menyerah dan berjalan pulang. Tetapi yang sampai sekarang (terutama sekarang) tidak pernah ketinggalan, saya dan Dini – partner in crime sekaligus kolega – selalu mengingatkan para calon mempelai untuk menunda memiliki anak. Sambil bercanda tentunya. Tapi kami serius. Sudah diduga banyak dari mereka tidak menganggap kami serius dan beranak anyway. Saya baru bekerja kurang dari dua tahun di tempat yang sekarang ini, dan semasa saya di sini, sudah mengalami (soon to be) 4 ibu baru dan kurang lebih 3 atau 4 bapak baru. Padahal kantor saya ukurannya termasuk mini. Kurang dari 100 orang.
Tapi anak muda tak apalah berprokreasi, memang itu waktu mereka. Yang kadang membuat berang adalah beberapa teman angkatan saya masih suka berandai-andai ingin punya bayi, dan beberapa dari mereka malah jadi beneran. Memang hak orang sih, dan saya tidak akan menghakimi kalau ini adalah anak pertama atau kedua mereka. Tetapi kalau anak sudah dua, tiga, bahkan empat dan ingin menambah lagi di usia lebih dari 40an hanya dengan alasan belum punya anak laki-laki? I will most definitely judge you.
“Loh, memang kenapa kan duit duit mereka nanti yang bayarin, bukan minta duit elu, lei!”
Bukan masalah uang sih. Bukan itu saja. Tetapi apa bertanggung jawab untuk memiliki keturunan lebih dari jumlah orang tuanya, di populasi dunia yang lebih dari 7 milyar ini? Apakah menurut kita bumi sanggup menampung pertumbuhan populasi sampai tak terhingga? Menurut worldpopulationhistory.org, dengan jejak ekologis yang kita miliki sekarang, seharusnya butuh satu setengah bumi untuk menampung populasi sekarang, dan jika tren pertumbuhan penduduk seperti sekarang terus bertahan di tahun 2050 kita akan membutuhkan 3 bumi untuk menampung manusia yang ada ketika itu.
Lalu kalau tidak beranak pinak apa dong, yang kita bisa lakukan? Menurut ahli biologi matematika Joel Cohen di bukunya How Many People Can the Earth Support? solusi yang ada sekarang bisa diklasifikasikan menjadi tiga paradigma. Yang mencari “kue yang lebih besar” (teknologi), yang melakukan advokasi “sendok lebih sedikit” (mengurangi lajunya pertumbuhan penduduk), dan yang berusaha memperbaiki pengambilan keputusan dengan “perilaku yang lebih baik”. Per satuannya penting, kata Joel Cohen, tetapi tidak bisa berdiri sendiri tanpa yang lainnya dan penting dilakukan secara bersamaan untuk menghadapi bumi yang sebentar lagi akan tambah “senggol bacok” ini.
Karena itu kampanye saya dan Dini seperti divalidasi, dan sudah benar arahnya. Sayang jalan menuju masyarakat yang tercerahkan dengan hal ini sangat panjang dan berliku. Karena semakin hari saya lihat, semakin kuat pengaruh agama yang menyebutkan bahwa kontrasepsi itu dosa dan mengingkari nikmat sang pencipta (paradigma kedua ditolak). Sayangnya lagi, mereka yang giat beranak pinak ini juga banyak irisan dengan yang menolak vaksin karena teori konspirasinya, sampai akhirnya penyakit yang sudah dua atau tiga generasi hilang pun jadi timbul kembali karena gagal dicapainya persentase minimum penduduk yang terimunisasi (paradigma ketiga tampak jauh dari kenyataan). Yang anaknya banyak dan berada di tingkat ekonomi yang sebenarnya kurang memadai untuk memberikan sarana untuk anaknya tumbuh kembang dan memiliki pendidikan optimal, besar kemungkinan menghasilkan generasi muda dengan pendidikan minimum dan kerja hanya di level kerah biru. Menurunkan kemungkinan mencetak generasi muda yang akan melakukan inovasi di bidang teknologi demi umat manusia (paradigma pertama, sulit terjadi).
Proyeksi seperti ini membuat saya sedikit bersyukur saya sudah cukup berumur dan kemungkinan besar sudah lepas dengan badan fisik di tahun 2050.
Kalau menggunakan kontrasepsi itu dosa, jika mau dipikirkan lebih panjang lagi, lebih dosa mana dari menyianyiakan sebuah kehidupan yang kita lahirkan? Lebih dosa mana dari merusak planet yang kita dapatkan dengan keadaan baik? Jika kita bilang, kalau “umat” kita tidak beranak pinak, nanti “umat” yang sono beranak pinak dan mereka akan jadi mayoritas dan menguasai dunia, bagaimana nasib anak cucu kita? Newsflash, cintaku, anak cucu kita belum tentu berpikir sama persis seperti kita, suka apa yang kita suka, mau apa yang kita mau. Jika kita bekali dengan ilmu dan survival guide yang baik, mereka juga akan baik-baik saja. Yang penting adalah meninggalkan mereka dengan sumberdaya yang masih mencukupi, paling tidak bisa diperbaharui, bukan dengan pikiran-pikiran cupet dan tertutup dan penuh curiga.
jd inget film inferno yg beberapa wkt kebetulan baru nonton ulang d salah satu stasiun TV
SukaSuka
Ah iya, Inferno! Aku mulai baca karena bisa empati sama motivasi villain-nya tapi sayang bukunya tidak seseru serial Langdon yang lain ya. Filmnya malah belum (lupa) ditonton. Terima kasih diingatkan!
SukaSuka
iya, khusus inferno, aq lebih suka nonton filmnya dibanding baca bukunya. beda sama serial langdon lainnya.
SukaSuka
well noted!
SukaSuka