MERUPAKAN salah satu hak personal yang paling pribadi, bahwa setiap orang memiliki kebebasan yang setara dalam beragama dan menjadi religius, terlepas apa pun alasan dan tujuannya.
Hak personal ini meliputi kebebasan untuk meyakini salah satu ajaran agama atau aliran kepercayaan di Indonesia; mendapatkan akses untuk menjalankannya sesuai kemampuan masing-masing; berkesempatan untuk terus belajar, mendapatkan informasi yang sesuai dan mencukupi guna memperdalam pemahamannya; sampai memiliki sikap hidup yang dipengaruhi oleh pandangan keagamaan tersebut.
Dalam konteks sosial kemasyarakatan, kondisi ini berlaku secara umum dan universal. Hak seorang muslim menjalankan salat lima waktu secara berjemaah di masjid yang kemudian diteruskan dengan berwirid dan zikir, sama pentingnya dengan hak seorang Tionghoa tradisional yang melakukan persembahyangan menggunakan hio di depan pintu utama rumahnya setiap pagi dan petang, juga sama pentingnya dengan hak seorang Kristen yang menyelenggarakan persekutuan doa kecil di kediaman, sama pentingnya pula dengan hak seorang Hindu Indonesia yang melakoni Catur Brata Penyepian dalam keadaan benar-benar hening sesuai ketentuan.
Meski demikian, sayangnya, potensi konflik, perselisihan, masalah, dan pertikaian akan selalu ada. Sebab agama identik dengan kebenaran tunggal tertinggi. Semua agama mengklaim sebagai satu-satunya ajaran dengan tuhan; mekanisme pahala dan dosa; akhirat; kitab suci; nabi dan rasul sebagai pembawa ajaran; serta keselamatan yang sejati. Tiada lainnya.
Di sisi lain, setiap umat beragama dipersilakan untuk menjalankan ajaran masing-masing semaksimal mungkin. Saking maksimalnya, lagi-lagi, sampai bisa berbenturan dengan praktik keagamaan orang lain.
Dengan demikian, kebebasan dan kesetaraan kehidupan beragama pun memunculkan efek samping. Ditandai dengan ucapan: “Orang mau beribadah kok dihalang-halangi?” yang berlaku dalam segala hal.
“Bodoh amat dengan orang lain, yang penting aku tetap dapat pahala.”
Berikut beberapa contohnya. (Disclaimer: saya berusaha seobjektif mungkin, mohon jangan baper.)
- 2012, Wakil Presiden (Wapres) Boediono meminta agar pengeras suara di masjid dapat lebih diatur. Bukan khusus untuk panggilan azan, melainkan pemutaran rekaman-rekaman bernuansa keagamaan dengan volume maksimal secara terus menerus. Pun dalam radius jarak yang saling berdekatan.
Umat muslim secara umum, dan terutama kelompok konservatif memprotes keras imbauan tersebut. Menganggapnya sebagai tindakan yang membatasi ruang gerak keagamaan yang sudah berjalan selama ini… dan toh akhirnya tetap dilakukan hingga sekarang.

Bagaimana pun juga, pengeras suara yang sama (mohon dicatat, pengeras suaranya ya, bukan azan atau isi rekaman yang diputar), juga dapat didengar oleh kaum Buddhis yang tengah bermeditasi di rumah maupun di vihara pada hari Minggu, atau pun umat Katolik yang tengah mengkhusyukkan diri dalam misa biasa maupun sakramen tertentu.
Sudah kelihatan korelasinya? Ketika tindakan religius salah satu kelompok menyebabkan kurang lancarnya aktivitas religius kelompok lain.
Imbauan Wapres Boediono untuk mengatur pengeras suara masjid dianggap sebagai tindakan menghalang-halangi ibadah. Namun pola penggunaan pengeras suara masjid yang berlangsung selama ini juga dianggap sebagai tindakan yang mengganggu ibadah umat lain. Lalu, apa solusi terbaiknya? Secara logika, kaum Buddhis maupun umat Katolik tidak memiliki kewenangan apa pun untuk menangani persoalan pengeras suara masjid ini. Alternatif tindakan yang dapat mereka lakukan pasti berorientasi pada diri sendiri, bukan terhadap pemilik dan pemakai pengeras suara.
Misalnya dengan membuat vihara atau gereja yang kedap suara; menggeser kegiatan di waktu-waktu tertentu untuk menghindari distraksi dari suara rekaman; atau bahkan mendirikan maupun memindahkan tempat kegiatan ke lokasi yang jauh dari jangkauan pengeras suara masjid.
Hanya saja, semua itu adalah quick fix, solusi jangka pendek serta tidak menyentuh akarnya. Kelompok konservatif yang memprotes imbauan Wapres Boediono berhak untuk berkomentar: “Bukan urusan kami (ibadah umat agama lain merasa terganggu). Yang penting kami tetap bisa beribadah dengan maksimal.”
Bukankah ini termasuk sikap yang egois? Berlomba-lomba mengejar berkah, pahala, dan perkenan-Nya secara harfiah.
Menyisakan satu solusi paling ekstrem sekaligus mustahil: semua Buddhis dan umat Katolik pindah agama, bergabung menjadi kelompok yang tak lagi merasa terganggu dengan pengeras suara. 😅
Ada satu kelakar terkait masalah ini. Bukan sebagai ibadah, meditasi Buddhis dilakukan untuk menenangkan pikiran, mengkondisikan dan membuat situasi kondusif waktu merenungkan ajaran, serta proses untuk berkaca pada batin (refleksi dan introspeksi).
Ketika pengeras suara masjid membahana, menghantarkan suara anak-anak bergantian menyanyikan Sholawat Nariyah (vokal saja, tanpa musik) on the spot dan mengalihkan konsentrasi saat bermeditasi, tidak ubahnya seseorang yang berpuasa sedang melihat anak kecil makan es krim di hadapannya.
- Serupa tetapi tak sama, kebaktian kecil yang dilakukan di rumah-rumah juga dianggap mengganggu ketenteraman publik. Protes pun disuarakan. Baik itu penolakan terhadap kegiatannya, hingga penolakan terhadap rencana pendirian tempat ibadah.
Mengacu kepada peraturan yang berlaku, umat terkait berusaha memenuhi semua persyaratan pendirian tempat ibadah. Bila syarat-syarat tersebut tak kunjung terpenuhi, mau tidak mau kebaktian pun dilakukan di lokasi lain. Apakah membangun tempat ibadah di tempat yang lebih jauh, atau menyewa ruang publik di mal. Selebihnya, menyisakan sejumlah sengketa lahan antara umat versus pemerintah setempat. Entah, pihak mana yang egois dalam kasus ini. Pemerintah setempat sebagai si empunya kawasan, atau umat yang merasa punya dana sehingga mampu menyewa tempat publik untuk dijadikan tempat beribadah.
Ini sebenarnya urusan beragama atau adu besar-besaran batang zakar sih?
- 2016, patung Amitabha besar setinggi 6 meter “berhasil” diturunkan dari vihara, atas protes dan desakan sekelompok warga yang didukung oleh sejumlah organisasi dan Pemerintah Kota (Pemko) Tanjungbalai.
Sekelompok warga tersebut mulai merasa terusik pada 2010, setahun setelah patung figur sentral satu mazhab Buddhisme (bukan agama Buddha secara keseluruhan) itu rampung, didirikan di bagian paling atas bangunan vihara setempat.
Umat vihara setempat bisa dibilang egois, karena berani-beraninya mendirikan patung superbesar seperti itu di lingkungan mayoritas agama lain. Sebagai bentuk pertanggungjawaban, patung itu pun akhirnya mereka turunkan sendiri. Oh iya, belum lagi wangi dupa yang menyebar dan bisa tercium siapa saja.
- Ada peraturan baru setiap kali berkunjung ke Candi Borobudur di Magelang. Sejak beberapa tahun lalu, semua orang yang mengenakan celana atau rok pendek diharuskan menutup area paha ke bawah dengan kain batik. Alasannya, Candi Borobudur juga dianggap sebagai tempat ibadah agama Buddha di Indonesia. Sehingga pakaian yang kekurangan bahan tidak diperkenankan terlihat di sekitar area.

Pertanyaannya, apakah benar Candi Borobudur merupakan tempat ibadah agama Buddha? Jika demikian adanya, umat Buddha mazhab yang mana? Apakah pengambilan keputusan tersebut sudah didasarkan pada kebutuhan yang riil, atau sekadar asumsi? Pasalnya, Candi Borobudur berbeda dengan beberapa pura objek wisata di Bali, maupun cagar budaya religius di tempat asalnya Sang Buddha: India utara. Tidak ada pendeta Buddha, Bhikkhu, maupun Bhiksu yang berjaga di Candi Borobudur.
Selebihnya, candi tersebut dimanfaatkan sebagai situs keagamaan hanya 1-2 kali setahun. Ketika peringatan Detik-detik Waisak yang dilaksanakan oleh Walubi, dan dalam sesi pembacaan Tipitaka selama tiga hari berturut-turut dalam peringatan hari Asadha. Itu pun di pelatarannya, bukan di dalam bangunan candinya.
Akan jauh lebih bisa diterima bila pemakaian kain batik di areal Candi Borobudur bertujuan untuk memaksimalkan pengalaman wisata, kian mempopulerkan batik kepada para pengunjung, alih-alih dijadikan ornamen pengukur moralitas. Kecuali kalau nantinya terbukti bahwa Candi Borobudur adalah peninggalan nabi, dan bukan tentang Buddhisme Nusantara sama sekali.
- Ilustrasi terakhir, kebetulan baru anniversary Sabtu kemarin.
Kembali mengacu pada hak personal di bagian pertama tulisan ini, setiap orang memiliki kebebasan untuk menjadi religius dalam pemikiran, ucapan, serta tindakan, terlepas dari apa pun alasan dan tujuannya.
Aksi 212 yang berlangsung 2 Desember 2016 lalu diselenggarakan sebagai bentuk perjuangan dan pembelaan atas agama. Itu sebabnya, peserta berdatangan dari seluruh Indonesia, bukan hanya Jakarta dan kota-kota sekitarnya. Termasuk beberapa teman dan kenalan saya dari Kalimantan.
Tentu banyak pihak yang menolak jika pengerahan massa saat itu disebut sebagai aksi politis, kendati tujuan mereka tercapai juga pada akhirnya; ada yang masuk penjara.
Ada yang menolak (disebut sebagai aksi politis) karena benar-benar yakin terhadap tujuan aksi tersebut, ada pula yang menolak karena menepis/mengesampingkan tujuan politis tersebut. Seperti yang tergambarkan dalam dialog sungguhan seorang kawan (dua-duanya muslim) kurang lebih seperti berikut.
“Kamu ngapain sih ikut-ikutan aksi begitu?”
“Ini soal kehormatan agama. Aku ikut karena ingin membela agamaku.”
“Apa kamu enggak sadar, ada motif politiknya?”
“Terserah! Pokoknya niatku adalah membela kitab suci dan agamaku. Kalaupun ternyata memang ada tujuan politiknya, itu urusan mereka (yang punya tujuan politik). Bagiku, ini tetap ibadah dan harus dilakukan.”
“Kamu buang bodi dong? Gimana kalau yang kamu lakukan ternyata berujung ke hal buruk bagi orang lain? Kamu mungkin maunya masuk surga dengan membela agama… tapi enggak peduli orang lain? You’re so selfish.”
Ya semoga saja acara reuni dan peringatan setahunnya aksi 212 Sabtu pekan lalu benar-benar bebas dari muatan politis. Sebab kasihan mereka, orang-orang religius yang niatnya tulus murni memuliakan agama, tetapi tanpa sadar malah dimanfaatkan oleh sesamanya.

Apa jangan-jangan… tuhan memang demen orang-orang yang egois?
[]
Bonus: Ternyata ada risetnya, “Religion Makes Children More Selfish, Say Scientists“
ya ego itu perlu. tapi kalau terlalu ya ndak bagus.
demo juga perlu, tapi kalau bisa mengerjakan hal lain lebih bermanfaat ya bagus.
semuanya bagus.
di sini bagus di sana bagus. dimana mana semuanya bagus.
kebebasan individu untuk meraih kegemaran dan kesenangan masing-masing.
tapi kalau mau lebih mulia, manusia mulai menanggalkan ke-aku-annya dan lebih memilih kebahagiaan bersama. saya senang anda senang. semuanya tralala trilili.
tulisan yang menarik dan menggelitik, Naga.
SukaSuka
Terus, kalau lebih baik memilih “kebahagiaan bersama”, akunya bersama siapa dong?
Terima kasih, Mas. Sudah tertarik dan tergelitik. Hahahaha!
SukaSuka