Anak saya tiga. Perempuan semua. Jika ada yang bertanya, jika mereka kelak akan berumahtangga, apa syarat utama yang dimiliki yang bisa membuat saya yakin kepada calon suami mereka, maka syaratnya sebanyak jumlah peserta aksi 212.
Namun jika harus dengan satu syarat utama, maka saya akan menjawab:
tidak pelit
Mengapa?
Karena hingga saat ini, saya masih belum dapat menerima sikap pelit dalam semesta pergaulan saya sehari-hari. Pelit adalah sebuah fenomena gunung es. Di permukaan hanya terlihat pelit, dan saya yakin di bawah jiwa si pelit tersimpan karakter lainnya yang haram jadah. Lebih banyak dan lebih besar.
Bagi saya orang pelit adalah orang yang terlalu angkuh.
Bahwa rejeki yang dimilikinya adalah hasil jerih payah dan buah pikirnya sendiri. “Buat apa dibagi kepada orang lain?”
“Mereka malas saja untuk berusaha dalam memperoleh apa yang saya miliki.”
Mereka merasa bahwa apa yang dimilikinya saat ini pantas dinikmati sendiri hasil dari perjuangan gigih tak tahu waktu dan segala tenaga.
“Sudah capek, eh yang lain enaknya aja minta ini itu”.
Bagi saya pelit juga adalah sebuah bentuk ketakutan.
Kaum pelit, kikir, merki, stingy, yakin betul bahwa jika saya berikan sebagian atau seluruhnya, dia tak akan mendapatkan lagi seperti saat ini. Mereka takut hartanya berkurang. Mereka takut makanan yang ia bawa tidak akan didapatinya lagi. Mereka takut tuhan tidak akan bermurah hati lagi padanya.
Bagi saya orang pelit itu orang susah.
Bisa saja mereka kaya, tapi hati, jiwa, mentalnya, cara berpikirnya adalah cara berpikir orang susah. Mereka memendam masa lalu serba kekurangan. Ketika mereka berlebih, mereka takut kembali miskin. Mereka tak mau mengulang masa lalunya yang kelam.
Bagi saya orang pelit itu egois.
Hal paling sedih di dunia adalah ketika kita mengalami hal yang menyenangkan tapi kita merasakannya sendiri tanpa dirasakan oleh orang yang kita sayangi.
Jika si pelit sedang bahagia, dan menikmati sesuatu, dan ia tak berbagi, maka ia adalah orang yang begitu mencintai dirinya sendiri.
Baginya, dunia diciptakan hanya dan jika dia hidup. Tak perlu merasakan alam perasaan orang lain. Toh dirinya sudah gembira. Dan kebahagiaan ini yang berhak merasakan hanya dirinya. Yang lain tak boleh secara instan ikut menikmati.
Alam sosial kita mengetahui betul fenomena orang pelit. Bisa jadi si Pelit enak diajak ngobrol, tapi tak akan pernah bisa menjadi sahabat sejati.
Bisa jadi si Pelit kaya raya, dan memberi sesuatu, namun tentu saja dengan harapan ada yang lebih besar akan diperolehnya esok hari dari si penerima.
Apakah suami kita pelit? Apakah pacar kita pelit? Apakah istri kita pelit? Apakah anak kita pelit?
Mulai dari sekarang, mari berdoa di kalimat pertama, agar kita tidak menjadi orang pelit dan orang-orang yang kita cintai juga menjadi murah hati.
Jika mereka tetap pelit?
“Nak, daddy suka sama pacar kamu. Ganteng. Pinter. Sopan. Tapi daddy ndak setuju kalau kamu kelak dengan dia ya. Dia pelit. Mulai sekarang kamu cari pacar lain saja.”
Hmm… Aku pernah ditolak ortu mantan gara-gara beda status sosial. Setelah bubar malah banyak yg kasih selamat, “Untung kamu gak jadi sama dia. Dia dan keluarganya pelit banget lho.”
Hahaha
SukaSuka
YESSSS! selamat ya. ngikut nyalamin
SukaSuka
setuju. Aku catat untuk referensi masa depan kalau anakku bawa pacar.
SukaSuka
:). kenalin lah ke kita-kita barangkali malah ketauan juga soal preferensinya ternyata..
SukaSuka
pernah baca di twitter ada yang ngomong begini, “mending punya suami selingkuh daripada suami pelit.”
SukaSuka
karena susah balas dendamnya itu. ahahaha
SukaSuka