DEMI memperoleh kebahagiaan, kita diajarkan untuk selalu bersikap positif terhadap kehidupan… dan bersyukur adalah salah satu cara utamanya. Namun banyak dari kita yang justru terjebak dalam kesombongan. Rasa syukur yang semestinya murni, tulus, dan meringankan batin malah membuat kita tanpa sadar menjadi lebih picik lagi pamrih. Menjadi tak sebaik yang kita kira.
Secara sederhana, rasa syukur kita maknai sebagai sikap berterima kasih yang bernuansa spiritual. Karena ekspresi bersyukur identik dengan kondisi-kondisi dalam kehidupan kita saat ini; berkah serta anugerah; maupun hal-hal yang dirasa terlampau besar untuk diberikan atau dilakukan oleh sesama manusia. Itu sebabnya, rasa syukur diekspresikan kepada tuhan, dewata, atau pun alam semesta. Tergantung keyakinan masing-masing.
Bila ditelaah lebih dalam, rasa syukur memiliki beberapa aspek.
- Bersyukur: berterima kasih atas semua hal baik yang baru diperoleh.
- Bersyukur: berterima kasih dan merasa cukup atas semua hal baik yang telah dimiliki.
- Bersyukur: berterima kasih dan tidak mengeluhkan semua hal baik yang belum diperoleh.
- Bersyukur: berterima kasih karena tidak kehilangan hal-hal baik yang telah dimiliki.
- Bersyukur: berterima kasih karena tetap mendapatkan hal-hal baik, setelah kehilangan beberapa hal baik lainnya.
- Bersyukur: berterima kasih karena masih mendapatkan kesempatan untuk hidup.
Dari poin-poin di atas, semuanya menempatkan diri kita di posisi penerima, yang mendapatkan pemberian apa pun bentuknya. Kendati demikian, kita kerap mencemarinya dengan pengukuran: lebih tinggi-setara-lebih rendah-tidak ada, lebih besar-sama-lebih kecil-tidak ada, lebih banyak-imbang-lebih sedikit-tidak ada, enak-biasa saja-tidak enak-tidak ada, lebih bagus-kurang lebih-lebih jelek-tidak ada, untung-impas-rugi/sukses-gagal, baik-buruk, dan pada akhirnya hidup-mati.
Lantaran keterbatasan batin untuk melihat segalanya secara lebih bijaksana, faktor-faktor tersebut awalnya dijadikan parameter untuk bisa memunculkan dan mengembangkan rasa terima kasih. Semacam alat bantu. Menggunakan kekurangan dan kemalangan orang lain sebagai tolok ukur. Akan tetapi pengaplikasiannya kebablasan, sampai menyebabkan kekeliruan dalam bersikap.
Contohnya sebagai berikut.
lebih tinggi-setara-lebih rendah-tidak ada
“Ya sudahlah, bersyukur aja Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2018 sebesar Rp 3.648.035 per bulan. Daripada UMP di NTT, misalnya. Cuma Rp 1.600.000,” atau
“Ya sudahlah, bersyukur aja Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2018 sebesar Rp 3.648.035 per bulan. Daripada menganggur, tidak ada penghasilan.”
Sekilas, tidak ada yang aneh dari dua kalimat di atas. Terdengar wajar, terkesan positif, dan memberikan dorongan semangat kepada lawan bicara. Hanya saja, ada pengukuran dan pembandingan di situ, bahwa kaum buruh di DKI Jakarta jauh lebih baik ketimbang di NTT, terlebih dengan para pengangguran. Ada alasan untuk berbesar hati, yang saking besarnya bisa berubah jadi kesombongan yang sangat halus.

lebih besar-sama-lebih kecil-tidak ada
“Ya sudahlah, tetap bersyukur masih dapat tanah warisan biarpun agak kecil. Setidaknya tidak sekecil yang didapat adikmu yang perempuan.”
Kalimat penyemangat ini jelas-jelas politically incorrect dan seksisme, tetapi masih sering terjadi di Indonesia. Ketika perbedaan perlakuan karena jenis kelamin masih dianggap wajar. Rasa syukur yang dibuat-buat.
lebih banyak-imbang-lebih sedikit-tidak ada
“Ya sudahlah, tetap bersyukur karena berkesempatan menyumbang untuk rumah ibadah ini biarpun cuma sedikit. Banyak orang di luar sana yang bahkan masih tersesat, belum menemukan jalan kebenaran seperti ajaran agama kita ini.”
Entah apakah ada yang berpikiran demikian atau tidak, kalimat penyemangat seperti ini berpotensi menumbuhkan kebanggaan berlebih dan membuta.
enak-biasa saja-tidak enak-tidak ada
“Udah, jangan ngeluh. Makan seadanya, disyukuri aja. Untung masih ada nasi, tahu, tempe, sama telor. Di Afrika sana, banyak yang mati kelaperan tau?!”
Khas mak-mak banget.
lebih bagus-kurang lebih-lebih jelek-tidak ada
“Ya sudahlah, bersyukur aja kamu sudah menikah dan dapat suami kayak dia. Memang enggak ganteng, yang penting orangnya baik, mau bekerja, setia dan sayang. Setidaknya lebih baik daripada tetangga. Suaminya cacat, atau aku, jomlo parah, enggak ada yang mau.”
Menyodorkan kemalangan orang lain, dan self-pity untuk membuat orang lain merasa agak mendingan itu bukan sesuatu yang sehat, kan?
untung-impas-rugi/sukses-gagal
“Ya sudahlah, disyukuri aja. Kamu masih menang taruhan bola, biarpun tipis. Jagoanku kalah, rugi bandar. Nanti coba lagi aja.”
Judi! Menjanjikan kemenangan… dan kebangkrutan.
baik-buruk
“Ya sudahlah, disyukuri aja punya anak kayak begitu. Biar pemalas atau boros tapi masih laki. Daripada tetangga sebelah, anaknya cakep dan pinter cari uang tapi homo.”
HAHAHAHA! 😂
hidup-mati
“Ya sudahlah, cacat habis diamputasi jangan disesali terus-terusan. Namanya juga musibah. Untung kamu masih hidup, yang lainnya kan tewas!”
Optimisme khas orang Indonesia, selalu ada hal yang patut disyukuri dibalik segala macam bencana dan kemalangan. Di antara semua, hanya parameter ini yang paling pamungkas.
Kesombongan yang dihasilkan dari parameter-parameter rasa syukur di atas juga berkaitan dengan ilusi spiritual. Gara-gara (kebetulan) mendapatkan banyak hal baik, kita bisa sangat ge-er dan merasa menjadi umat pilihan tuhan. Lebih beruntung ketimbang orang lain. Anggapan seperti ini kemudian bisa merembet ke urusan dosa, pahala, amal ibadah, sampai bawa-bawa derajat keimanan.
Kita jamak mendengar komentar seperti ini: “Tuhan pasti berkenan dengan amal ibadah dan kedermawanan Bapak, makanya selalu diberkahi dengan keberhasilan dan kesuksesan.”
Apabila yang bersangkutan overwhelm dengan segala pujian tersebut, tak menutup kemungkinan jadi tinggi hati. Merasa istimewa, yakin pasti masuk surga.
Agar terhindar dari pandangan keliru begini, silakan berlatih untuk menanggalkan segala bentuk pengukuran dan parameter pada waktu bersyukur. Berusahalah semaksimal mungkin supaya berhasil mendapatkan yang terbaik, lalu berterima kasihlah sesudahnya. Cukup sampai di situ. Tidak perlu pakai embel-embel “lebih baik daripada” atau “masih mending ketimbang”. Sebab itu merupakan pembenaran, dan kita belum benar-benar ikhlas menerima kenyataan.
Kita, karena saya juga masih begitu. 😅
[]
#Blessed
SukaSuka
May you always be… 🙂
SukaSuka
Leh ugha bang…. Susah, susah, sulit.
SukaSuka
Dicoba-coba selalu dicoba. Haha…
SukaSuka
ada poin2 yg ku ketawa ngakak bacanya. makasih utk rabu paginya gon…
SukaSuka
Terima kasih kembali, Mbak. Hehehe…
SukaSuka
Ilmu bersyukur dan ikhlas memang harus dipelajari sepanjang hidup. Terima kasih atas tulisannya, Mas Naga.
SukaSuka
Terima kasih juga sudah membaca.
SukaSuka