Ndak ada yang sevulgar Maicih dalam menjual pedas. Dalam website resmi Keripik Pedas Maicih karya Bob Merdeka, diceritakan bahwa ia ndak punya strategi khusus kecuali menjual keripik pedas seunik dan sekreatif mungkin. Unik dan kreatif yang kemudian diimplementasikan dalam kemasan, jenis produk dan cara pemasarannya. Tanpa menyebutkan secara kronologis, ada juga ramen aneka level, mie aneka level, nasi pedas, serba sambal, sampai tahu jeletot yang semuanya pakai bendera PEDAS!

Bob dan para pionir kuliner Nusantara ini ngerti banget kebiasaan orang Indonesia, selain “belum makan, kalau belum nasi.” Belakangan, pedas juga berarti enak. Enak yang tadinya bermakna luas dan subjektif, tiba-tiba menyempit jadi pedas.
“Cobain beli ayam penyetnya deh, enak.”
“Oya?”
“Iya, pedes gitu.”
Kenapa orang Indonesia sampai gini banget sih sama pedes? Pertama, tentu saja kebiasaan. Ketahanan pedas seseorang sangat dipengaruhi oleh jam terbang mulutnya mengunyah bahan makanan yang memberi sensasi itu. Sebagai orang Asia, kepedasan melimpah. Ndak kurang sedikitpun. Bukan cuma cabai; juga jahe, bawang putih, lada, pala, kunyit, wasabi, dan lainnya yang panjang sekali daftarnya.
Kedua, pedas bukan bagian dari rasa. Lidah kita ndak punya reseptor rasa pedas seperti halnya manis, getir, asin, asam dan gurih. Pedas adalah sensasi panas yang timbul karena stimulus makanan yang kita konsumsi. Sensasi ini yang diidam-idamkan banyak orang. Sekarang pertanyaannya bergeser menjadi: kenapa mulut kebakar gitu pada suka sih?
Seperti cinta, patah hati dan kebiasaan menyakiti diri sendiri (self-injury). Pertanyaan ini bisa dijawab oleh biokimia.
Kebakaran yang bikin panik karena cabai berasal dari senyawa capsaicinoids; yang paling terkenal adalah capsaicin. Lucunya, capsaicinoids merupakan turunan senyawa vanillin, yang memberi rasa dan bau vanila yang lezat itu. Semua jenis cabai di bumi ini punya capsaicin dalam konsetrasi berbeda-beda. Antara paprika sampai bhut jolokia (cabai terpedas asal India).
Ketika mereka mencapai lidah, capsaicinoids berinteraksi dengan protein Transient Receptor Potential Cation Channel Subfamily V Member 1 (ampun lah panjang banget, kita singkat aja jadi TRPV1 ya) yang terletak di permukaan sel saraf. TRPV1 bertindak sebagai sensor sel yang memberikan informasi tentang dunia luar. Biasanya, TRPV1 diaktifkan oleh panas fisik, seperti api atau air dengan suhu di atas 43˚C. Sinyal ini akan diteruskan sel saraf (neuron) satu dan lainnya hingga pesannya sampai ke otak untuk merespon suhu tinggi tadi (bayangkan neuron kita sedang bermain pesan berantai). Ketika capsaicinoids berinteraksi dengan TRPV1 mereka juga menyebabkan sinyal yang sama dengan panas, meskipun ndak ada kandungan panas yang nyata. Catatan: TRPV1 ini tersebar pada sel-sel saraf di banyak lokasi di tubuh sehingga sensasi terbakar bisa saja dialami di tempat lain. Makannya, selalu cuci tangan setelah berurusan dengan cabai, terutama sebelum pegang mata atau kelamin!
Capsaicinoids menipu otak sehingga ia berpikir sedang terjadi kebakaran, yang juga menyakitkan. Ingat, neuron kita sedang bermain pesan berantai. Salah satu pesan yang dihasilkan oleh capsaicinoids adalah zat P (neuropeptida dari residu 11 asam amino), yang mentransmisikan sinyal nyeri. Respon darurat otak kita terhadap zat P adalah menetralkan suhu di pusat kebakaran. Maka keluarlah segala keringat, ingus, air mata dan muka jadi merah padam. Untuk kasus kebakaran fisik, konsentrasi cairan tubuh ini akan berujung pada lepuhan. Maka jangan heran, kalau pedas juga bisa bikin bibir terasa bengkak dan mati rasa. Kita akan membahas soal mati rasa ini di bawah.
Respon yang lebih lambat dari otak kita adalah dengan melepaskan jenis neurotransmiter lain yang dikenal sebagai endorfin dan dopamin. Endorfin adalah cara alami tubuh untuk menghilangkan rasa sakit dengan cara menghalangi kemampuan saraf untuk mengirimkan sinyal nyeri. Ya, mati rasa tadi. Sedangkan dopamin yang bertanggung jawab atas rasa kepuasan dan kesenangan. Kedua neurotransmitter inilah yang menyumbangkan efek singkat kesenangan psikotik, yang bisa saja bikin beberapa orang ketagihan. Singkatnya, bagi sebagian orang yang makan makanan pedas memicu rasa euforia yang mirip dengan “runner’s high” atau senyawa psikotropika ringan lainnya.
Berarti berbahaya dong? Ndak juga.
Oh, ya berbahaya kalau dikonsumsi dalam jumlah besar dan waktu yang lama. Tapi apa sih yang ndak berbahaya kalau berlebihan?
Uniknya, TRPV1 tadi lama-lama jadi kebal. Kepekaannya berkurang karena kerja neurotransmitter berbahan kalsium (calcineurin) yang dilepaskan dari tulang untuk membantu dua kawannya di atas menyelesaikan kebakaran yang dirasakan TRPV1. Hal ini menyebabkan orang naik level kepedasan. Ramen level 3 udah ndak lucu lagi. Ia pesan level 7 yang diimpor langsung dari neraka! Ia butuh lebih banyak capsaicin agar TRPV1 berfungsi lagi sehingga endorfin dan dopamin bisa disintesa secara normal. Sampai titik tertentu, hingga TRPV1 jadi betul-betul jenuh dengan tipuan panas ini. Ia butuh istirahat beberapa waktu agar bisa menghadirkan sensasi itu kembali.
Lagi pula, sebelum TRPV1 jenuh, perut kita akan teriak lebih dulu. Kebakaran juga dirasakan dinding usus karena paparan capsaicin. Osmosis terbalik terjadi. Cairan masuk ke dinding usus sebagai bentuk respon darurat. Alhasil, mencret, sakit perut dan dubur panas. Beberapa kasus bahkan menyebabkan demam dan tukak lambung. Rupanya bolak-balik ke WC bisa mengalahkan ketagihan. Minimal kapok sampai pencernaan kembali normal. Antara 3 sampai 7 hari, tergantung tingkat ketahanan tubuh masing-masing. Lalu kita mesti mulai lagi dari awal. Pesen level 1.
Wow, sangat informatif!
SukaSuka
sudah kuduga siapa penulisnya! sungguh analisis yang sangat dalam 🙂
SukaSuka
Surga di mulut, ga damai di perut, berabe pas muncrut…
SukaSuka