Saya sering menggoda papa saya karena hobinya membagikan video di chat group keluarga. Bisa dua atau tiga yang dikirimkan, lalu dia sering mengomel kalau ponselnya terasa lemot. Tapi hari ini girang juga rasanya, karena saya melihat video apa yang dia kirimkan ke grup kami. Video yang dibuat oleh media tempat saya kerja tentang bu Susi.
“Pa, itu videoku loh! Papa dapet dari mana?”
“Grup yang lain, lel. Oh itu tempat kamu kerja toh?”
(Jangan heran kalau papa saya — walau sudah diceritakan sampai mulut berbusa — tetap enggak pernah ngeh saya kerja di mana dan ngapain aja. I have father issue for a reason.)
Memang di kantor saya cukup girang melihat bahwa ada dua video buatan kami yang view-nya cukup menonjol dibanding yang lain. Video tentang Ibu Susi, dan satu lagi tentang Ibu Iriana Joko Widodo alias our First Lady. Sempat bertanya-tanya, kenapa kedua video itu yang banyak ditonton dan dibagikan, ya? Diskusi singkat kami menyimpulkan bahwa perempuan perlu tokoh panutan yang keren tapi apa adanya dan realistis, tidak jaim dan bukan dari kalangan ustadz/ ustadzah/ agama. Oke, yang terakhir itu tambahan saya sendiri.
Nah, kalau bicara soal panutan, saya akhirnya beberapa hari yang lalu berhasil nonton film Posesif. Sempat penasaran dan takut ketinggalan, karena khawatir hanya bertahan seminggu saja, akhirnya saya nonton di bioskop dekat rumah sepulang dari kantor. Sungguh menikmati film itu, gambarnya yang cakep, dan enak di mata. Akting yang ciamik, terutama Putri Moreno (lafff!). Gembira sekali rasanya film Indonesia ada yang bercerita mengenai subyek ini, dan diceritakannya juga dengan cara sensitif tanpa stereotip dan karakter yang hanya hitam atau putih. Tapi ada beberapa hal yang membuat saya tadinya ingin mengajak anak saya yang usia praremaja menonton, jadi urung.

Arah cerita yang menurut saya agak memihak ke abuser. Menurut pendapat pribadi ya, ini bukan plot hole (seperti yang diserukan oleh seorang selebtwit), tapi memang ceritanya saja begitu. Pertama, pihak abuser seolah diberikan alasan kenapa dia menjadi demikian. Kedua, dia sadar kalau dia bisa menyakiti the abused dan mengekspresikan kesadaran tersebut. Lalu yang membuat saya benar benar yakin sebaiknya anak saya tidak usah nonton adalah penokohan the abused yang tidak kuat, sehingga bukan dia yang mengambil keputusan yang akhirnya menyetir plot. Kembali lagi kekuasaan itu diberikan ke abuser.
Tidak salah, sih. Hanya menurut saya ini kesempatan yang hilang saja. Kesempatan apa, one might ask? Kembali lagi ke poin awal bahwa (normal, non-religious) women of Indonesia is in desperate need for a role model. Saya tadinya hanya berharap kalau film ini bisa menceritakan apa yang bisa terjadi, lalu memberikan kuasa ke tokoh perempuan, apa yang bisa dilakukan.
Oh mengenai film ini, sedikit latar belakang, kalau dulu ketika saya masih bodoh dan remaja, sempat mengalaminya. Tidak seperti film ini, pacar saya yang posesif itu tidak ada alasan melakukannya. Ibunya tidak gila. Ayahnya tidak suka memukul. Juga dia tidak sadar kalau dia bisa menyakiti saya. Kalaupun sadar dia tidak peduli, karena goal-nya hanya bahwa saya harus jadi milik dia dan tidak boleh terjamah orang lain. Adegan ketika Lala diantar ke rumah oleh teman dan Yudis melihat dari mobil yang parkir itu sungguh membuat saya bergidik, because it happened for real. Malah kalau adegan di saya adalah, dia keluar dari mobil, membentak teman saya supaya pergi dan menarik saya ke mobilnya dengan kasar. Tatut ya. Oh. Lalu menurut teman-teman saksi mata, dia sejak putus sama saya tidak lagi posesif sama pacar lainnya. Kalau sama istrinya sekarang kurang tahu ya.
Bonus: ini lho, video ibu Susi yang diteruskan oleh papa saya 🙂 tonton ya!
Di grup alumni kampus sempet dapet video itu. Tapi dibarengin komen; “Perempuan kok ngerokok?”
Maklum alumni2nya banyak yg jd ustad ama ustadzah dadakan.
SukaSuka
“sukak sukak dialah lak” pengen deh jawab gitu. hih.
SukaSuka
Kalau dibaca sepintas, judulnya jadi Bu Susi Posesif.
SukaSuka
Memang hampir itu judulnya hahaha
SukaSuka