Gunaydin.
Sudah seminggu saya berada di Turki. Tepatnya kota Istanbul. Urusan pekerjaan. Mengikuti seminar yang diselenggarakan oleh Bank Sentral Turki. Urusan pekerjaan hanya empat hari. Sisanya saya menambah hari dengan mengajukan izin cuti.
Ada perbedaan mendasar ketika kita tiba di negara lain sebagai tamu, menginap di hotel berbintang, makan-makanan yang memang telah disesuaikan dengan lidah “tamu”, dan berkumpul dengan orang-orang berbahasa internasional.
Kita tetap berjarak.
Maka dua hari lanjutan yang dibiayai sendiri, saya cabut dari hotel tempat penyelenggara menyediakan peserta seminar. Saya menuju salah satu rumah warga Turki yang disewakan melalui aplikasi AirBnB. Biaya sewanya 40 Turkish Lira, kira-kira 150 ribu per malam. Pemiliknya seorang Ibu yang saya terka berusia 60-an tahun dan “no english” (sembari menggerakan tangan seperti dadah-dadah). Yang memasukkan rumahnya ke dalam aplikasi AirBnB adalah anaknya. Menggunakan Bahasa Inggris yang jelas, dan sangat komunikatif. God Bless lah buat anak cowoknya ini.Kamar yang disewakan hanya dua. Satu kamar milik mendiang Ayahnya. Kamar ini sudah disewa oleh pasangan Meksiko sejak dua minggu lalu. Sedangkan saya menempati kamar adik perempuannya yang sedang sekolah Bisnis di Berlin atas beasiswa Pemerintah Turki.
Hal yang menarik adalah rumah Yasar, nama sang anak, berada di dekat Masjid Sultan Ahmet, atau orang-orang sering menyebutnya Blue Mosque. Rupanya daerah ini mirip Tanah Abang dan Thamrin City. Siang hari sibuk dengan toko grosiran penjual tekstil dan sepatu. Pria-pria kekar, setengah kekar dan bahkan sudah renta sibuk mengangkut barang bertumpuk berisi dagangan yang akan diantar ke atas truk atau kios penyelenggara pengiriman barang. Untungnya saya membawa sepeda saya kesini, sehingga untuk yang berjarak dekat saya selalu gunakan sepeda. Sejatinya lebih tepat jika sepeda yang minta ditemani kemana-mana oleh saya. 🙂
Warga Istanbul tentu saja memiliki sejarah dan tantangannya sendiri. Urusan transportasi jauh lebih ringan dibanding Jakarta. Ada Metro (seperti MRT) yang terintegrasi dengan Trem, dan Bus. Satu kartu bisa digunakan untuk semua moda. Warganya telah terbiasa dengan yang asing. Sebagai daerah hub, antara Eropa dan Asia (bahkan kotanya sendiri terbelah di dua benua), mereka terbiasa untuk melihat perbedaan dengan begitu nyaman. Rok mini dan Cadar duduk bersebelahan tanpa saling jambak.
Setiap pagi saya, oleh Yasar, disuguhi Cay, semacam teh lokal. Lalu dia lebih banyak bertanya tentang Indonesia dibanding dia bercerita tentang negerinya.
“Istanbul seperti ini, biar kamu menilai sendiri.”.
“Jangan ke Grand Bazaar. Mahal. Saya tidak pernah belanja di sana”.
“Jakarta dingin?”
“Di Jakarta ada gunung meletus?”
“Indonesia banyak hutan ya. Ularnya besar. Bisa makan orang bukan?”
Di balik perbedaan antara Yasar dan saya adalah soal lahir dan bahasa ibu. Sisanya sama. Saya berkomunikasi dengan ibunya dengan cara yang aneh. Ibunya hanya bisa bahasa Turki dan saya tak mengerti. Saya timpali dengan bahasa Inggris seadanya. Dia tak mengerti. Maka pertemuannya adalah Bahasa Arab yang dia kuasai dan sebuah kalkulator. Dia rupanya, jika saya tak salah terka, menasehati saya tak usah belanja di sekitar sini. Mahal. Dia bandingkan dengan daerah lain. Dia ambil kalkulator. Lalu dengan bahasa arab, semacam Khomsah, Arbaa, dan jemari yang memencet angka, saya mulai paham maksud dia adalah jika membeli di daerah sini, menawar pun rugi, karena harga barang, lebih mahal empat kali lipat. Jika mau makan pun lebih baik dekat rumah. Jangan di pinggir jalanan besar yang sering dilalui turis. Petuah dari tipikal ibu-ibu dimanapun di seluruh dunia.
Dalam obrolan kami, dan Yasar (yang akhirnya ikut nimbrung), mereka memahami bahwa pembawaan kerendahhatian, sikap yang baik bisa terlihat dari berbagai macam tamu. Tentu saja terasuk sifat buruk. Mereka menyebut beberapa negara. Saya mendebatnya. Itu tergantung manusia. Mereka menolaknya. “Ini soal budaya”, kata mereka. Ada ciri khas negara tertentu yang begitu melekat. Saya mengangguk-angguk sebagai penghormatan. Walau saya tetap menolak dalil itu.
Tapi kita sama-sama sepakat soal lainnya.
Tuhan sengaja memberikan macam-macam variasi manusia, agar kita layaknya lingkaran dalam diagram venn. Kita akan tahu bahwa sesungguhnya sekian ratus miliar lingkaran dari masing-masing individu memiliki satu irisan. Terdapat satu wilayah arsiran yang dimiliki semua manusia. Itulah kesamaan kita. Dan itu kita ketahui jika kita selalu menempatkan diri sebagai manusia yang terbuka, toleran, dan rendah hati.
Apakah itu?
salam anget,
Roy
(jika anda ingin melihat beberapa ilustrasi tulisan ini dan beberapa hal menarik lainnya bisa follow instagram saya)
:)))))))
Haloo mas saya nemu linimasa malah dari steller dulu. Karena saya merasa gila dengan tulisan – tulisannya (sm mas glen juga) lalu saya cari tau IG nya mas roy, makanya saya ketemu linimasa (dulu saya udah follow ig mas roy, entah mengapa skrg jd unfollow) trs sekarang jd tiap hari buka linimasa. Suka excited sendiri setiap inget linimasa “hari ini bahas apa ya?”
Beneran jd obat capek & penat sih..
Kayak sekarang penat abis pulang kerja, mampir ke kefece beli minum trs buka hape sambil baca2 linimasa, di depan ada lampu2 mall yg cantik.
Duh, enak~
Makasih.
*note : approve ig aku ya mas Roy
SukaSuka
Iya uda aku epruf. aku seneng loh kalo kamu bisa nikmatin tulisan di linimasa. denger gitu aja uda cukup.
SukaSuka
Halo mas, saya pembaca setia linimasa sejak lama. Klik sekali rasanya dengan hampir semua artikel di blog ini. Barusan saya follow akun IG Nya mas. Mohon accept ya.
Salam anget
Kianlee,
SukaSuka
udah diepruf. makasih ya.
SukaSuka
Terimakasih mas.
SukaSuka
IG nya digembok..
SukaSuka
ya ntar aku epruf lah kak
SukaSuka