Apa yang membuat kita bisa terus tertarik dengan pekerjaan kita?
Pertanyaan ini bergelanyut di benak saya saat sedang membaca dan menyelesaikan bacaan terakhir, yaitu The Kill Bill Diary: The Making of a Tarantino Classic as Seen Through the Eyes of a Screen Legend oleh David Carradine.
Sesuai dengan judul bukunya, buku ini berisi cukilan dari jurnal yang ditulis oleh almarhum David Carradine, saat dia mempersiapkan diri untuk membintangi film Kill Bill, saat syuting film tersebut, dan saat mempromosikan film tersebut waktu dirilis.
Perjalanan film Kill Bill sendiri sangat panjang. Di buku ini terungkap, bahwa keputusan untuk memilih David Carradine sebagai Bill sudah dimulai dari awal 2002. Lalu di tahun yang sama, sudah dimulai persiapan latihan fisik sebelum syuting selama 3 bulan. Setelah itu, mulai syuting di beberapa lokasi, dari Los Angeles sampai Beijing sampai pertengahan 2003. Lalu saat filmnya dirasa terlalu panjang, film ini pun dipecah menjadi dua bagian: bagian pertama dirilis menjelang akhir 2003, lalu bagian kedua dirilis pada kwartal pertama tahun 2004.

Artinya, David Carradine tidak menerima proyek lain untuk mempersiapkan, menjalani dan mempromosikan film ini dari awal tahun 2002 sampai pertengahan 2004. Lebih dari dua tahun. Semua perjalanan terekam dengan baik di buku ini, lengkap dengan insight information dan anekdot yang menghibur.
Lelah? Di beberapa bagian buku, dia mengakui hal itu. Latihan fisik yang terus menerus selama beberapa bulan, waktu syuting yang kadang-kadang tertunda, sampai jadwal bepergian untuk kepentingan film yang tak mengenal waktu. Uang yang didapat pun, menurut pengakuannya, tidak seberapa. Film Kill Bill dibuat dengan semangat independen. Bayarannya pun tidak sebesar dibanding dengan produksi film studio besar Hollywood, katanya.
Lalu apa yang membuat David bertahan? Menurut beliau, kesempatan bermain di film Quentin Tarantino tidak akan datang dua kali. Apalagi dengan umur David, yang saat itu sudah menginjak 66 tahun, kesempatan bermain film di tangan sutradara handal semakin jarang didapatkan. Latihan fisik untuk persiapan syuting membuat David tampil dalam kondisi tubuh yang prima. Setelah Kill Bill, nama David Carradine mulai terdengar lagi. Banyak tawaran film yang datang kepadanya.
Kepuasan artistik yang membuat David bertahan.

Apa yang dialami David Carradine berlaku di produksi film manapun. Demikian juga di bidang pekerjaan apapun, yang membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan satu misi tertentu.
Di beberapa produksi film yang saya ikuti dari awal, kadang ada perasaan “why am I here?”, atau “am I doing the right thing?“, terutama saat proyek tersebut sudah berjalan selama beberapa bulan, namun cahaya di ujung terowongan yang gelap dan panjang belum kelihatan juga. Kalau sudah begitu, saya berpaling ke rekan-rekan sekerja saya, mendekatkan diri dengan mereka. Paling tidak, kalau perjalanan panjang dilalui bersama-sama, akan terasa lebih ringan dibanding berjaan sendirian.
Saat membaca buku David Carradine tersebut, saya juga teringat dengan sosok sutradara asal India, Sanjay Leela Bhansali. Dia terkenal atas film-film berbahasa Hindi dengan set yang extravaganza dan gambar-gambar cantik. Banyak orang menyebutnya sebagai Baz Luhrmann versi Bollywood masa kini. Padahal Baz Luhrmann sendiri terinspirasi dari film-film Hindi.
Film terakhir Sanjay Leela Bhansali yang dirilis dua tahun lalu, Bajirao Mastani, mempunyai jadwal pengambilan gambar selama lebih dari 200 hari. Tidak berturut-turut, sehingga jadwal tersebut melintasi waktu selama hampir 3 tahun. Mulai dari pembuatan set abad ke-14 yang rumit, pengambilan gambar yang teliti, sehingga sehari hanya bisa mengambil gambar untuk satu adegan saja, sampai jadwal para pemeran utamanya yang terkorbankan.
Priyanka Chopra, salah satu pemerannya, harus terbang dari Montreal ke Mumbai setiap akhir pekan selama beberapa bulan, hanya untuk mengambil gambar 4 sampai 5 adegan. Dari Senin sampai Kamis dia syuting untuk serial televisi “Quantico” di Montreal, lalu Jumat sampai Minggu malam di Mumbai untuk syuting film Bajirao Mastani.
Di beberapa wawancara yang saya baca, Priyanka hanya mengatakan, itu resiko pekerjaan sebagai aktor yang sudah terikat kontrak dan harus menyelesaikan kontraknya. Apa yang membuatnya bertahan? Salah satunya karena dia percaya visi yang dibawa Sanjay Leela Bhansali untuk film tersebut.

Baik film Kill Bill maupun Bajirao Mastani sama sekali tidak mengecewakan. Keduanya adalah pencapaian artistik tertinggi dari masing-masing pembuatnya. Keduanya juga bisa dibilang contoh film-film terbaik dalam dua dekade ini.
Mempertahankan interest atau ketertarikan untuk sebuah proyek pekerjaan yang berlangsung lama memang tidak mudah. Selalu akan ada godaan untuk menyerah, berhenti di tengah jalan, atau mundur. Tidak ada yang menjamin bahwa hasil akhir yang dicapai akan bagus atau memuaskan.
Namun ada satu hal yang tidak bisa dipungkiri hati: a sense of completion. Perasaan puas saat kita sudah menyelesaikan satu tugas, satu misi, atau satu pekerjaan. Perasaan lega saat semuanya berakhir. Apapun hasilnya, kepuasan bahwa kita telah sampai di garis finish bisa melegakan hati.
Toh kalau hasilnya tidak sesuai harapan, tidak masalah. Kita tinggal bilang:
“Okay, next!”
Terima kasih atas tulisan ini. Bikin semangat berkarya dan bekerja makin tinggi.
SukaSuka
Terima kasih juga sudah membacanya 🙂
SukaSuka