Jadi begini ya.
Semenjak jadi remaja tanggung, entah mengapa percaya 95% sama sesuatu atau seseorang tidak pernah jadi default (not even 100%). Apalagi orang baru yang sekonyong konyong hadir dan seolah memaksakan posisinya di suatu situasi atau dekat seseorang atau diri. Atau orang baru kenal yang mendadak suka memuji. Sering benar instingnya, tetapi kalau salah, tak segan saya ubah pendapat. Karena itu jika pernah membaca kalau seorang Gemini lebih percaya orang yang mengkritisinya dan curiga ketika orang memujinya itu (tidak penting saya Gemini atau bukan) memang dirasakan benar adanya.

Yang tadinya dirasakan sebagai kekurangan dalam karakter dalam era fake news begini kok rasanya bisa jadi keuntungan. Mau itu berita baik dari tokoh yang dikagumi, atau berita buruk dari yang tak disukai, enggan rasanya menyebar berita kalau belum konfirmasi latar belakang. Malah akhir akhir ini tidak hanya fake news, tapi muncul juga fake people.
Asalnya, suatu hari yang cerah, saya mendapatkan berita dari sebuah PR agency mengenai sutradara asal Indonesia yang “membanggakan” karena film debut-nya masuk ke short list Oscar. Kurang lebih paham dengan betapa jalan menuju pencapaian seperti itu sungguh panjang dan berliku, dan sebelumnya tidak pernah sekali pun mendengar nama sang sutradara, apalagi setelah melihat trailer filmnya yang menurut saya enggak banget, saya hanya mendengus dan move on.
Kemudian beberapa hari ke depan saya tertegun melihat nama sang sutradara ini muncul di berbagai media daring. Obvs, mereka juga menerima rilis yang sama, dan langsung menelannya tanpa ditelaah lebih lanjut. Iseng, lalu menyelidiki apa sih, sebenarnya artinya short list di Academy Awards ini? Oalah, ternyata arti dari daftar ini adalah film yang sudah dikirimkan ke komite dan membayar fee yang diwajibkan untuk seleksi. Itu saja? Ya, itu saja. Seperti sudah diduga, kemudian berita mengenai film ini di ajang kompetisi Oscar pun setelah itu hilang ditiup angin. Beberapa bulan kemudian saya menerima rilis lagi yang mengatakan kalau film yang sama diputar di bioskop di Amerika Serikat. Berapa layar dan selama berapa hari, informasinya tidak lengkap, tetapi ya bombastis sekali. Kesimpulan saya sepertinya sutradara muda ini anak seorang yang kuaya ruaya.

Tentu kejadian ini timbul di ingatan ketika ramai berita soal Dwi Hartanto. Apa yang membuatnya melebih-lebihkan prestasinya, saya kurang paham, padahal untuk belajar ilmu interactive intelligence level doktorat di Delft saja menurut saya sudah cukup luar biasa. Kemudian ditarik sedikit lebih ke belakang ada tubir soal seorang pengusaha pendukung startup yang diragukan riwayat profesionalnya dan dicurigai melebih-lebihkan prestasinya. Bedanya, kalau Dwi Hartanto mengaku salah, kalau si pengusaha ini ngotot benar bahkan menuntut pihak yang mempertanyakan keabsahan klaim-klaimnya.

Tarik lagi ke belakang kurang lebih setahun yang lalu, tiba-tiba muncul menjulang nama Anniesa Hasibuan, yang mendadak menampilkan koleksinya di New York Fashion Week. Bukan yang paham fashion sampai seluk beluknya, tetapi sebelumnya tak pernah mendengar namanya. Juga cukup paham kalau di fashion week kota-kota besar, banyak sekali show sampingan yang diadakan tanpa harus masuk agenda utamanya sendiri. It’s mostly about funding. Karena bikin show di negara sendiri saja, tentu harus menanggung biaya seperti pembuatan koleksi, bayar model, sewa tempat, sound system, dekorasi, fitter, koreografer, tata musik, dan masih banyak lagi yang mungkin saya lupa dan yang terpenting: PR company, karena kalau tidak, show itu tentu seperti pohon raksasa tumbang di tengah hutan belantara; tidak ada yang mendengar. Nah kira-kira dimultiplikasi berapa ketika kita membuat show di luar negeri? Sudah banyak kok yang menghitungnya.
Ironisnya yang terjebak berita palsu dan orang palsu itu justru dari kalangan yang harusnya secara default mempraktikkan skeptisisme; ilmuwan dan jurnalis. Jadi enaknya gimana ya?
Tinggalkan Balasan ke http://gnu.org Batalkan balasan