Seorang aktris sebesar Christine Hakim tidak pernah tahu ke mana batinnya akan menuju saat dia mengatakan “ya” pada sebuah peran. Ini yang pernah saya dengarkan langsung saat dia menuturkan persiapannya menjadi Ngasirah, ibu kandung Kartini, dalam film Kartini. Dia bilang bahwa awalnya dia termasuk yang antipati terhadap Kartini. Itu karena dia tidak tahu banyak tentang pahlawan wanita ini.
Lalu dia pergi ke Jepara dan Rembang, menelusuri jejak Kartini. Lalu dia menghabiskan waktu lebih lama di lokasi syuting, termasuk menginap, membersihkan set, untuk bisa lebih “dekat” dengan tokoh nyata yang harus dia reka-reka di depan kamera.
Apakah dia tahu apa yang harus dia lakukan setelah menelusuri rekam jejak Kartini dan menghabiskan waktu berhari-hari lebih lama di lokasi syuting? Jawabannya, tidak tahu. Dia cuma menuruti perintah sutradara, dalam hal ini Hanung Bramantyo, yang baru pertama kali bekerja sama dengannya.
Namun Christine Hakim mengatakan, dia sadar, dia tidak bisa berjalan sendiri. Setekun-tekunnya dia mempersiapkan diri, sebuah karya seni adalah hasil kolaborasi antar manusia. Kalau di film, seorang aktor harus berinteraksi dengan aktor lain, tidak sebaiknya egois mau tampil baik sendiri, dan kalaupun tampil baik tanpa didukung kemampuan penata kamera, editor, penata kostum yang baik, hasilnya akan sia-sia. Seorang Christine Hakim tidak tahu apa hasil akhir sebuah karya yang sedang dikerjakan.
Beberapa hari lalu, saya menonton wawancara di Youtube antara jurnalis film India, Anupama Chopra, dengan seorang aktor populer di kawasan India Selatan, terutama untuk film-film berbahasa Telugu, yaitu Mahesh Babu. Level kepopuleran Mahesh Babu bisa disetarakan dengan dua Ryan: Gosling dan Reynolds. Artinya, sama-sama tampan, sama-sama produktif membuat dan merilis film, sama-sama sering menghasilkan film-film laris.
Di bagian awal wawancara, sang jurnalis bertanya tentang hubungan aktor dengan sutradara. Lalu pertanyaan itu berkembang mengenai kemungkinan apakah seorang aktor bisa merasakan saat film yang mereka kerjakan ini akan berjalan dengan baik, atau tidak. Jawabannya cukup mengagetkan buat saya: Mahesh menjawab, “Ya, saya tahu film ini akan bekerja dengan baik, atau tidak, setelah 5-6 hari di lokasi.”
“Really?”
“Yes, any true actor can feel that.”
“So what keeps you going then?”
“That’s why I trust the director as the captain of the ship. You hope as you go along the way, you can fix it. Or you can fool yourself by ignoring your premonition. But it’s not just about your intuition. You can tell if a film you make is going to be successful or not. It’s from the energy you share between you and director, between other actors, among the crews, the lighting men. The vibe on the set is important to make sure everyone do their best. You can tell. You can feel it.”
Meraba-raba perasaan menjadi penentu yang paling bisa diandalkan saat kita menghadapi karya seni. Menghadapi di sini bisa berarti membuat, atau juga bisa mengapresiasi.
Saya termasuk orang yang jarang sekali datang ke pameran seni rupa atau seni instalasi. Ada sedikit ketakutan kalau nanti tidak bisa memahami karya-karya yang dipamerkan. Atau tidak familiar dengan para seniman yang memamerkan karya-karyanya.
Namun sering kali ketakutan akan ketidaktahuan ini justru berkembang menjadi rasa penasaran yang luar biasa. Penasaran yang akhirnya membawa saya datang juga ke pameran-pameran itu, dan mengandalkan informasi yang terpampang di samping karya yang dipajang.
Informasi yang bisa memandu saya memahami apa yang kira-kira dimaui pembuatnya. Kalaupun saya masih tidak paham, akhirnya saya memilih untuk tetap tidak tahu. Saya memilih untuk menuruti apa yang saya rasakan. Kalau suka, bisa jadi akan menghabiskan waktu cukup lama di depan satu karya. Kalau tidak suka, biasanya cukup dilihat sebentar saja.
Saya percaya kalau apa yang kita baca, apa yang kita tonton, apa yang dengar, sampai apa yang kita makan, semuanya mempengaruhi pemahaman kita terhadap seni, dan juga sekeliling kita. Apa yang kita bicarakan dengan teman, apa yang kita pilih untuk kita bicarakan dengan orang lain, membantu kita memahami apa yang belum kita tahu sebelumnya.
Malam ini saya datang ke pembukaan pameran Indonesian Contemporary Art and Design (ICAD) yang sudah diselenggarakan sebanyak 8 kali. Terus terang banyak karya yang membuat saya mengangguk-angguk sambil berusaha memahami, beberapa karya yang saya lewati, dan sebagian karya yang saya perhatikan sampai detil.
Silakan Anda menilai sendiri lewat beberapa jepretan foto yang saya tampilkan di sepanjang tulisan ini. Mungkin banyak yang Anda belum tahu atau belum pernah lihat sebelumnya.
Silakan datang juga ke pamerannya secara langsung untuk melihat, membandingkan dan berusaha memahami secara langsung.
Toh saat kita tidak tahu, lalu kita mencari tahu apa yang kita perlu, that is the beginning of every possible thing to happen.
Jadi ingat beberapa waktu lalu saat jadi bagian yang ngurusin ICAD.
Ke sana aaahhh
SukaSuka
Dari semua… Yang paling menarik hati itu foto Mice “Pelawan Arus”
SukaSuka
Gaya bercerita dan desain Mice emang selalu konsisten dari dulu.
SukaSuka