Yang Nulis Gak Punya Otak!

“Disrespect invites disrespect. Violence incites violence…” kata Meryl Streep saat menerima penghargaan Cecil B. DeMille, Golden Globes 2017.

Kekhawatiran terbesar Meryl adalah saat para penguasa mempertontonkan kesewenangannya dan menggunakan kekuasaannya untuk merendahkan, mempermalukan, menghina dan mentertawakan orang lain, maka semua akan melakukannya. Tentunya Meryl merujuk pada perilaku Presiden Amerika saat ini. Banyak yang berpendapat kekhawatiran Meryl bagai emak-emak merepet yang tak menerima kekalahannya. Bisa jadi. Tapi mari kita lihat sekitar kita saat ini.

Sekitar kita yang jauh dari negara adi daya itu. Sekitar kita yang selalu ada dalam genggaman kita. Sekitar kita yang teknologinya selalu update, tapi sayang otak dan perilaku penggunanya semakin terbelakang. Manusia-manusia kekinian yang dipenuhi oleh berita-berita rupanya mulai kehilangan filter dan pegangan tentang apa yang patut untuk dibagikan.

Seorang bintang yang baru melangsungkan pernikahan mendapat pelecehan di media sosial. Lalu apa yang dilakukan oleh para pelaku media sosial yang terhormat? Dengan riang gembira tertawa ikut merepost. Hasrat untuk menjadi pusat perhatian karena postingannya, menutupi selera humor yang rendah dan kepekaan yang menguap. Mari kita sama-sama ikut mentertawakan. Termasuk perempuan yang seringkali lebih jahat dan suka menghakimi sesama perempuan.

Ibu Negara yang mendapatkan perlakuan kurang ajar di media sosial, Instagram, mendapat sambutan dengan banyaknya postingan ulang. Bisa dibuka makian, atau ajakan untuk menghajar, atau doa-doa agar pelaku mendapat ganjaran dunia akhirat. Mungkin inilah yang kita sebut serigala berbulu domba 2.0

Sebuah survey tak resmi menyatakan Warganet Indonesia masih doyan hoax. Berita-berita hoax, mendapat ladang subur untuk tumbuh dan berkembang di tengah manusia-manusia yang suka asal posting tanpa berpikir akibatnya. Padahal sudah terbukti merugikan.

Salah satu contohnya, saat Pandji Pragiwaksono menulis pendapatnya tentang calon unggulannya di Pilkada, tentunya banyak mendapat banyak dukungan dan banyak tentangan. Yang mendukung, tentunya akan merepost. Yang tidak mendukung? Merepost juga. Bahkan lintas media sosial dan group chat. “Wat de fak Pandji?!” Begitu kurang lebih pembukaannya di Path. Teman-temannya tentu bertanya “ada apa sih?”, dilanjutkan dengan “nih baca sendiri, dasar Pandji guoblok!”

Di pikiran sehatnya tentulah semua orang akan setuju dengannya dan ikut mengumpat. Yang tak sampai di pikirannya, bahwa sesungguhnya dia telah menjadi kepanjangan dan pion-pion penulis yang dibencinya itu. Lebih panjang lagi, kemudian menjadi diskusi dan gosip mengenai Pandji. Hasilnya, tulisan Pandji semakin banyak yang membaca, dan Pandji semakin tenar.

Sandiaga Uno, saat itu sedang melakukan atraksi bangau di sebuah kampung. Berita ramai meliputnya dengan foto dari berbagai sudut. Silakan pingsan karena ternyata banyak yang memposting foto dan berita itu juga adalah Ahokers. Tujuannya hendak mentertawakan dan menghina tentunya. Yang sebenarnya sedang terjadi adalah, Ahokers sedang membantu mempromosikan Sandiaga Uno yang merupakan lawan bebuyutan. Bahkan di kolom komentar ada yang menuliskan “oh gitu mukanya sandy, baru liat nih”. Wow! Promosi gratis.

Ah sudahlah, jangan lagi kita membuka luka lama. Mari bahas yang #kekinian, Saracen. Yang disinyalir sebagai sindikat penyebar kebencian, sumber hoax yang membangkitkan perselisihan agama dan ras. Tak ingin membahas kebenarannya, tapi mari kita pikir bersama, apa yang sangat amat dibutuhkan oleh pembuat hoax? Ladang yang membesarkannya, yang akan membuat pembacanya beranak pinak. Apalah artinya berita hoax tanpa pembaca, kan?

“Hoax nih!” Kata seseorang saat memposting berita yang dianggapnya hoax. Apa yang terjadi selanjutnya bisa ditebak, semakin banyak yang membaca beritanya. Pembuat hoax tentu berpesta pora melihat ketololan kita beraksi. Sudah tau hoax, kenapa disebarkan? Sudah tau tak benar, kenapa ingin semua orang tau? Mengapa kita tidak memilih untuk menjadi penyebar hanya kebenaran dan kebaikan? Takut kurang populer dan sensasional?

Sebuah postingan keburukan yang pura-puranya dibungkus dengan kebaikan saat direpost, jatuhnya sama saja. Malah banyak penulis-penulis headline handal yang berhasil membuat orang lain membaca. “Bego kok dipelihara?” “Yang nulis gak punya otak!” “Sakit jiwa!” adalah “umpan headline” yang diberikan saat tulisan-tulisan yang tak disetujuinya direpost. Namanya orang kita, paling gampang terbakar, pasti akan segera membacanya juga. Lebih parah lagi, keburu komentar bahkan sebelum membaca. Luar biasa!

Kurang lebih dua tahun lagi, bangsa kita akan PEMILU. Sebelum keriuhan terjadi, ada baiknya kita berlatih. Menjadi lebih kritis saat membaca dan membagikan berita atau apa pun kontennya. Lebih memikirkan akibat yang lebih luas dari kelakuan jempol kita. Lagian, apa sih yang didapat dari memposting berita-berita atau apa pun yang berisikan keburukan? Apakah cara ini dikira bisa meraih simpati, dukungan dan lope-lope?

Lalu bagaimana kalau mau memberitahukan sebuah berita hoax ? Darah dibalas darah, harga diri dibalas harga diri, tulisan dibalas tulisan. Sampaikan pemikiran Anda. Mengapa berita itu hoax. Mengapa orang itu sinting? Mengapa tak masuk akal? Mengapa datanya salah. Tuliskan yang Anda ketahui. Data apa yang Anda miliki? Di mana Anda mengetahuinya? Dan semua hal yang mendukung apa yang Anda ketahui. Masa’ tulisan dibalas dengan cuitan umpatan di Twitter dan Facebook? Entah dari mana rumusnya.

Berat? Memang. Tapi itu satu-satunya cara.

Kalau berani mengatakan penulisnya gak punya otak, artinya mengakui punya otak. Sampaikanlah sejelas-jelasnya.

Mengatakan seseorang sakit jiwa, artinya mengakui diri lebih waras. Tuliskanlah sejernih-jernihnya.

Tak setuju dengan pendapat yang bodoh, artinya mengakui diri pintar. Utarakanlah secerdas-cerdasnya.

Masalahnya sekarang kalau ditanya alasan tidak setujunya, banyak yang cuma menjawab dengan “ya gila aja”, “kan katanya…”, “yang gue denger sih…” “kata orang-orang” dan penyanggahan tak valid lainna yang didasari asumsi dan besar kemungkinan hoax juga. Sama aja dong, Nyong! Belum lagi kalau dilengkapi dengan tuduhan tak beralasan seperti penulisnya dibayar, penulisnya goblok, penulisnya antek komunis :)))

Saat kita menjadi lebih kritis dan berhati-hati dalam menyerap berita, otomatis kita akan lebih berhati-hati saat membagikannya. Di saat itu pula, kita akan menemukan tidak ada kebenaran dan kesalahan seutuhnya. Kebenaran yang satu akan berbentrokan dengan kebenaran yang lain. Kebenaran hakiki cuma satu: Gandrasta Bangko itu Miss Universe.

2 respons untuk ‘Yang Nulis Gak Punya Otak!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s